Pesan untuk Para Ibu

“Mamah Bego.. Bego..”

Belum sampai sepuluh menit aku duduk di selasar masjid kampusku, seorang bocah laki-laki berusia sekitar 7 tahun mengalihkan pandanganku. Ucapannya sungguh kasar. Terlebih kalimat itu ditujukan untuk ibunya. Aku memperhatikan aksi ibu dan anak itu. Anaknya dalam posisi berdiri, terlihat masih tampak kesal sedangkan sang ibu duduk sambil memandang sang anak, sedih.

Sang ibu yang menyadari diriku sedang menatap ke arah mereka langsung berujar, “Maklum Mba, anak yatim. Nggak sempat dapet didikan bapaknya.”

Aku hanya tersenyum menanggapi penjelasannya. Masih tak mengerti hal apa yang menyebabkan sang anak berkata demikian. Aku pun memutuskan untuk tak terlalu peduli dan kembali ke dalam aktivitasku. Tapi ternyata keterkejutanku tak berhenti sampai di situ. —Jarak mereka yang begitu dekat dengan posisi dudukku, membuatku berulang kali menoleh ke arah mereka.—

Saat itu sang ibu meminta tolong kepada anaknya untuk dibelikan segelas kopi. Sebenarnya kopi bubuknya sudah ada. Ibu itu hanya meminta air panas pada penjual kopi yang biasanya berjualan di pinggir danau dekat kampus. Awalnya sang anak menolak. Lagi-lagi dengan bahasa yang tak sopan.

Suaranya lebih tinggi dibanding ibunya. Agak malas, akhirnya sang anak pun beranjak pula. Tapi sayang, baru sampai di dekat parkiran, sang anak kembali lagi pada ibunya. Dia bilang penjual kopinya tidak ada. Sudah diberi penjelasan oleh ibunya kalau penjualnya itu baru ada kalau si anak berjalan ke arah danau, tapi si anak justru kembali marah-marah. Dilemparnya sebungkus kopi itu ke lantai.

Ibu itu masih belum menyerah. Dicobanya kembali untuk membujuk sang anak. Berhasil. Anaknya pun hilang dari pandangan kami (berjalan menuju danau). Ibu itu pun mulai bercerita padaku tentang dirinya. Tinggal di mana, maksud dan tujuannya ke kampus, dan tentang keluarganya. Hingga beberapa menit kemudian sang anak kembali.

“Mah, gelasnya tumpah..” katanya polos.

Loh, kok bisa? Aku sungguh tak mengerti dengan kelakuan sang anak. Sedikit prasangka buruk mulai menggelayuti benakku. Menurut ceritanya, karena gelas plastik itu panas, maka ia tak kuat untuk memegangnya hingga tumpahlah kopi dalam gelas itu. Bahkan sang anak tak membawa bukti gelas yang kosong. Hanya tatapan yang meyakinkan. Entahlah. Yang pasti aku terenyuh oleh kata-kata sang ibu. Lirih.

“Coba kalo dede’ hatinya ikhlas buat ibu, jadi nggak tumpah..”

Tapi belum lama kekagumanku pada si ibu itu memasuki ruang hatiku, perasaan itu lalu berganti oleh sebab doanya yang membuatku miris.

“Biar nanti kamu celaka lama-lama kayak gitu..”

Astaghfirullah…

Duhai ibu, taukah kau bahwa doamu itu sangat mustajab? Berhati-hatilah dalam menjaga lisanmu. Seburuk apapun perangai sang anak, janganlah mendoakan yang buruk untuknya. Doakan yang terbaik. Mintalah kesabaran dan hati yang lapang. Hanya Allah yang mampu memberikan hidayah pada sang anak untuk juga mencintaimu. Untuk berbakti padamu. Hingga kemudian amalan shalihnya menjadi amal jariyah untukmu.

Jabir Ibnu Abdullah ra telah mengatakan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:
Janganlah kalian mendoakan kebinasaan terhadap anak-anak kalian; janganlah kalian mendoakan kebinasaan terhadap pelayan kalian; dan janganlah pula kalian mendoakan kemusnahan terhadap harta benda kalian agar jangan sampai kalian menjumpai suatu saat dari Allah yang di dalamnya semua permintaan diberi, kemudian (doa) kalian diperkenankan.”—HR Muslim.

Allah memberikan ujian bagi para istri yang telah ditinggal pergi suaminya. Ujian kesabaran. Ujian ketegaran. Seberapa kuat ia menjaga kehormatannya. Seberapa ia mampu mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Hingga meski sang anak tak sempat mendapat pendidikan dari bapaknya, tak lantas menjadikan sang ibu berlepas tangan dari tanggung jawab tersebut.

Jangan pernah menyalahkan keadaan yang sulit. Jangan pula mengeluhkan sikap anak yang terlihat nakal. Bukankah anak, senakal apapun, adalah amanah Allah untuk para orangtua? Titipan-Nya yang harus dididik dengan sebaik mungkin. Dan benarlah bahwa mengurus anak itu mudah, tapi mendidiknya menjadi anak yang baik itu yang sulit. Sungguh, surga menanti para ibu yang mendidik anaknya menjadi para pejuang Islam.

Aku memang belum pernah merasakan apa yang seorang ibu rasakan. Saat meregang nyawa demi kelahiran buah hatinya. Saat anaknya sakit sedang persediaan uang menipis. Saat harus menghidupi keluarganya tanpa seorang suami di sisi.

Aku hanya mencoba memahaminya. Tapi aku sadar, mudah saja bagiku untuk mengamati dan mengomentari setiap kelakuan seorang ibu. Takkan pernah bisa disamakan dengan mereka yang harus terjun langsung untuk mengurus sekaligus mendidik seorang anaknya. Tapi setidaknya, kisah di atas memberikan pelajaran yang berarti untukku. Sebuah bekal untuk menjadi ummul madrosah bagi anakku kelak. (Zahwa az Zahra)