Apakah Dalam Quran Ada Bahasa Serapan Asing?

Assalamu’alaikum… Ustadz..

Langsung saja…

Salah satu persoalan yang sampai sekarang masih diperdebatkan oleh para ahli bahasa dan sastra Arab serta mufasir al-Qur’an adalah apakah kosakata serapan Arab dari bahasa asing dipakai dalam al-Qur’an atau tidak?

Dengan kata lain, apakah semua kata yang digunakan dalam al-Qur’an adalah Arab asli atau ada juga kata-kata yang telah melalui proses pengaraban?

Misalnya:

1. سِجِّل dalam ayat:

یَومَ نَطوِي السَّمَاءَ کَطَيِّ السِّجِلِّ (Ar Ra’du:104)

Ada berbagai pendapat tentang asal-usul kata سِجِلّ; sebagian mengatakan kata itu berasal dari Abyssinia dan berarti رجل (lelaki), Ibnu Jinni mengartikannya dengan surat dan menurutnya kata ini berasal dari bahasa Parsi, Khaffaji sepakat dengan pendapat yang mengatakan kata ini berasal dari Abyssinia dan berarti surat.

Sedang Arthur Geoffrey menolak dua pendapat tersebut dan menyatakan bahwa kata ini bukan berasal dari Abyssinia dan juga bukan dari Parsi, melainkan dari bahasa Yunani yang sepadan dengan kata Latin “sigillum”.

2. قِرطَاس dalam ayat:

لَو نَزَّلنَا عَلَیکَ کِتَابًا فِي قِرطَاسٍ (Al-An’am:7)

Menurut sebagian ahli, kata قرطاس (kertas) bukan Arab asli. Penulis al-Kalimat al-Aromiyyah fil Lughotil Arobiyyah berpendapat sama bahwa kata ini bukan bahasa Arab asli dan berasal dari kata “charta” dalam bahasa Yunani sedang dalam bahasa Abyssinia adalah kartas.

Mengapa masalah ini sangat penting?

وَ لَو جَعَلنَاهُ قُرآنًا اَعجَمِیًّا لَقَالُوا لَو لَا فُصِّلَت آیَاتُهُ أأعجَمِيٌّ وَ عَرَبيٌّ

Dan sekiranya Kami jadikan al-Qur’an itu bacaan yang bukan bahasa Arab, niscaya mereka berkata “mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya? Apakah patut (al-Qur’an) itu dalam bahasa ‘Ajam (bukan bahasa Arab) sedang rasul orang arab”. (QS. 41: 44).

Mohon penjelasannya ustadz…

Jazakumullah khairan, wassalamu’alaikum.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Apa yang anda tanyakan merupakan pertanyaan yang cukup berat, meski tetap penting. Karena di sisi seperti inilah seringkali terjadi tusukan tajam tak terduga dari kalangan orientalis jahat untuk mengucilkan Islam, khususnya kitab suci Al-Quran. Kita sebagai muslim, harus sedikit lebih cerdas dari para orientalis itu, biar kita tidak dijadikan bulan-bulanan mereka.

Serapan Dari Satu Bahasa ke Bahasa Lain

Serapan dari bahasa lain adalah hal yang sangat lumrah dan pasti terjadi pada semua bahasa. Karena toh sebenarnya menurut para ahli bahasa, antara satu bahasa dengan bahasa lain saling terkait secara historis. Bahkan sebenarnya, menurut mereka, tiap-tiap bahasa punya induk dan tiap-tiap induk sebenarnya berasal dari satu sumber.

Maka bila dalam bahasa yang digunakan oleh orang Arab, ada terdapat satu dua kosa kata yang merupakan serapan dari bahasa lain, sangat logis dan masuk akal.

Malahan, boleh dibilang tidak ada satu pun bahasa di dunia ini yang tidak punya unsur serapan dari bahasa lain. Di dalam bahasa arab, ada beberapa unsur serapan dari bahasa lain termasuk bahasa Inggris. Dan sebaliknya, di dalam bahasa Inggris pasti terdapat begitu banyak serapan dari bahasa Arab.

Al-Quran Berbahasa Arab

Adanya fenomena unusr serapan dari bahasa lain, sebenanya sama sekali tidak mengganggu identitas suatu bahasa. Al-Quran tetap saja dikatakan berbahasa Arab, meski ada beberapa istilah yang oleh para ahli sejarah bahasa dikatakan bukan sebagai asli dari bahasa Arab.

Masalahnya, orang-orang Arab saat di mana Al-Quran diturunkan memang sudah menganggapnya bagian dari bahasa Arab. Walau para ahli sejarah bahasa bilang bahwa kata tersebut berasal dari unsur serapan dari bahasa lain.

Mungkin nanti perdebatan akan bergeser menjadi perdebatan sejarah bahasa. Misalnya pertanyaannya begini: Kapankah sebuahkata serapandianggap telah menjadi bahasa tertentu, karena seringkali digunakan oleh orang-orang yang menggunakan bahasa itu?

Kata Qirthas seperti yang anda sebutkan boleh saja oleh para ahli bahasa dianggap sebagai unsur serapan dari bahasa lain. Tapi masalahnya, apakah orang Arab pada saat Al-Quran diturunkan tidak tahu maknanya?

Analisa yang sederhana, mereka tahu maknanya, sehingga Al-Quran pun menggunakan istilah itu, walau dituduh bukan asli dari bahasa Arab.

Perdebatan berikutnya, apakah kalau kita bilang bahwa Al-Quran berbahasa Arab, lantas kita haramkan Al-Quran dari unsur serapan bahasa yang sudah menjadi fenomena tiap bahasa? Tentu diskusi ini akan menjadi sangat panjang dan penuh dengan berbagai argumen.

Tiga Pandangan Berbeda

Dan sejak dahulu para ulama ternyata sudah banyak mendiskusikan hal ini. Kita menangkap setidaknya ada tiga pendapat yang berkembang, pendapat pertama dan kedua saling berbeda dan pendapat ketiga agaknya ingin menyatukannya.

1. Pendapat Pertama: Quran Seluruhnya Bahasa Arab
Pendapat pertama mengatakan bahwa Al-Quran 100% berbahasa arab, tidak ada unsur serapa dari bahasa lain. Hal itu karena di dalam Al-Quran disebutkan secara tegas dan lebih dari satu kali tentang hal itu. Maka tidak pada tempatnya kalau kita mengatakan bahwa di dalam Al-Quran ada bahasa selain bahasa Arab.

إنا أنزلناه قرآناً عربياً لعلكم تعقلون

Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf: 2)

ولو جعلناه قرآناً أعجمياً لقالوا لولا فصِّلت آياته، أأعجمي وعربي، قل هو للذين آمنوا هدىً وشفاء

Dan jikalau Kami jadikan Al-Quraan itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan, "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" Apakah dalam bahasa asing sedang Arab? Katakanlah, "Al-Quraan itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mu’min.(QS. Fushshilat: 44)

Di antara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Al-Imam As-Suyuthi, Ibnu Jarir At-Thabari, Abu Ubaidah, Al-Qadhi Abu Bakar, Ibnu Faris dan juga Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah

Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan, "Di antara point penting dalam ilmu Al-Quran adalah bahwa seluruh kitabullah ini diturunkan dalam bahasa arab. Memang ada sementara kalangan yang berpendapat bahwa ada serapan bahasa lain selain bahasa arab di dalam Al-Quran, namun hal itu bertentangan dengan keterangan di dalam Al-Quran sendiri."

Asy-syafi’i menambahkan kalau ada ahli bahasa yang mengatakan bahwa di dalam Al-Quran ada lafadz selain arab, sebenarnya bukan demikian kejadiannya. Yang benar adalah bahwa ada sebagian orang Arab yang tidak tahu kalau ada lafadz bahasa arab yang demikian, lantas dia beranggapan lafadz itu bukan arab.

Padahal bahasa arab sangat banyak kosa katanya dan teramat luas cakupannya, dan tidak berarti kalau ada orang arab yang tidak mengenal satu istilah arab di dalam Al-Quran, boleh dianggap sebagai bukan dari bahasa Arab. Yang bisa menguasai dan mengenal bahasa arab secara keseluruhannya hanyalah Nabi SAW.

Atau apa yang dianggap oleh ahli bahasa sebagai lafadz bukan arab, sebenarnya secara kebetulan memang ada di dalam bahasa lain. Namun lafadz itu tetap ada dalam bahasa arab. Dan kesamaa lafadz pada dua bahasa yang berbeda bukan hal yang aneh atau mustahil.

Jadi kalau lah ahli bahasa itu bilang bahwa ada lafadz non arab di dalam Al-Quran, sebenarnya yang terjadi adalah kebetulan ada lafadz dalam Al-Quran yang ada juga di dalam bahasa lain. Padahal lafadz itu dikenal dan ada dalam bahasa Arab.

Kalau ada yang mengatakan bahwa boleh Al-Quran mengandung bahasa lain karena memang diturunkan bukan hanya untuk orang arab, Asy-Syafi’i menjawab sebaliknya. Justru diturunkannya Al-Quran dalam bahasa arab meski untuk semua manusia, tujuannya agar semua umat manusia belajar bahasa Arab. Bukan Al-Quran yang harus berisi berbagai bahasa, tetapi berbagai bangsa itulah yang harus belajar bahasa arab sebagai bahasa yang digunakan oleh Al-Quran.

Hal itu persis seperti keterangan di dalam Al-Quran sendiri:

وكذلك أوحينا إليك قرآناً عربياً لتنذر أمَّ القرى ومن حولها‏

Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al-Qur’an dalam bahasa Arab, supaya kamu memberi peringatan kepada ummul Qura dan penduduk sekelilingnya serta memberi peringatan tentang hari berkumpul yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan masuk surga, dan segolongan masuk Jahannam.(QS. Asy-Syura: 7)

قرآناً عربياً غير ذي عوج لعلهم يتقون‏

Al-Quraan dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan supaya mereka bertakwa.(QS. Az-Zumar: 28)

Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan bahwa Allah menegaskan bahwa kitab-Nya itu berbahasa arab, di semua ayat yang dibacakannya. Bahkan Allah menafikan semua bahasa yang bukan arad di dalam kitab suci-Nya itu dalam 2 ayat yang lain:

ولقد نعلم أنهم يقولون إنما يُعلِّمه بشرٌ، لسانُ الذين يُلحدون إليه أعجميٌ، وهذا لسانٌ عربيٌّ مبين

Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, "Sesungguhnya Al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya." Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘Ajam, sedang Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang.(QS. An-Nahl: 103)

ولو جعلناه قرآناً أعجمياً لقالوا لولا فصِّلت آياته، أأعجمي وعربي

Dan jikalau Kami jadikan Al-Quraan itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan, "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" Apakah dalam bahasa asing sedang Arab? Katakanlah, "Al-Quraan itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mu’min.(QS. Fushshilat: 44)

Ibnu Faris mengatakan tidak ada di dalam kitabullah lafadz selain bahasa arab. Sebab seandainya ada, pastilah akan ada tuduhan bahwa bahasa arab terlalu lemah dan tidak mampu menampung pesan yang banyak, sampai harus menggunakan bahasa lain untuk membantunya.

Dan tuduhan itu ternyata sudah dilemparkan oleh para orientalis, serta sudah dijadikan jenjang untuk sampai kepada tuduhan kelemahan Al-Quran.

Ulama Kontemporer

Ulama di zaman sekarang yang berpendapat seperti ini antara lain adalah As-Syeikh Ahmad Syakir, muhaqqiq kitab Al-Mu’arrab minal Kalamil A’jami yang ditulis oleh Al-Jawaliqi. Al-Jawaliqi dalam kitabnya itu cenderung mengatakan keberadaan serapan bahasa non arab dalam Al-Quran, namun dibantah oleh Ahmad Syakir.

Ahmad Syakir mengatakan bahwa anggapan adanya lafadz selain arab dalam Al-Quran sebenarnya hanyalah perkiraan saja. Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa para ahli bahasa itu pun tidak tahu asal muasal kata-kata itu.

Padahal harus diketahui bahwa bangsa arab adalah bangsa yang sudah ada sejak zaman dahulu sebelum sejarah ditulis. Jauh sebelum zaman Ibrahim dan Ismail. Sudah ada sebelum masa keberadaan bahasa Kaldaniyah, bahasa Ibrani, bahasa Suryaniyah dan bahasa Persia. Jadi tidak ada istilah bahasa-bahasa yang lebih muda diserap ke dalam bahasa arab.

Yang ada sebenarnya lafadz-lafadz itu asli dari bahasa arab sejak dahulu, kemudian diserap oleh bahasa lain yang lebih muda, lalu datanglah orang-orang kemudian dan beranggapan bahwa lafadz itu serapan dari bahasa lain ke bahasa arab.

Sependapat dengan logika ini Dr. Hasan Dhiyauddin ‘Ithr, di mana beliau menulis dalam makalah yang berjudul "Kesucian Al-Quran dari bahasa ajam (non arab)."

2. Pendapat Kedua: Dimungkinkan Adanya Bahasa Selain Arab dalam Al-Quran
Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, Al-Khuwayyi, Ibnu An-Naqib dan Al-Imam Asy-Syukani.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Ibnu Ikrimah, Atha’ dan lainnya dari ahli ilmu bahwa mereka telah menyatakan terdapat banyak bahasa ajam (non-arab) di dalam Al-Quran.

Di antaranya lafadz: thaha, al-yammu, at-thuur, ar-rabbaniyyuun, semuanya adalah bahasa Suryaniyah. Lafadz misykat serta kiflaini berasal dari serapan bahasa Romawi. Sedangkan lafadz shirath, qisthas, firdaus dan sejenisnya berasal dari serapan bahasa Habasyah. Semua ini adalah pendapat Abu Ubaid yang dianggap sebagai ahli ilmu dari kalangan fuqaha’.

Para ahli Nahwu (nuhat) telah bersepakat bahwa di dalam Al-Quran ada begitu banyak lafadz yang mamnu’ minas-sharf, baik karena merupakan al-‘alam (nama) atau karena kenon-araban (‘ajam), seperti lafadz Ibrahim.

Dan kalau disepakati adanya begitu banyak nama asing non arab dalam Al-Quran, maka tidak ada alasan untuk menolak adanya lafafz nijsi yang juga bukan arab.

Hikmah Non Arab

Di antara hikmah adanya lafadz non-arab dalam Al-Quran bahwa Al-Quran mencakup ilmu terdahulu dan kemudian, serta mengabarkan segala sesuatu. Maka di dalamnya harus ada petunjuk kepada bermacam bahasa dan ragam lidah manusia, agar cakupannya menjadi sempurna. Maka dipilihlah dari berbagai macam bahasa itu beberapa kata yang paling baik, mudah serta paling banyak dilafadzkan oleh orang Arab.

Ibnu An-Naqib misalnya, beliau mengatakan bahwa merupakan karakteristik Al-Quran adalah diturunkan dengan bahasa kaum yang memang kepada mereka Al-Quran ini diturunkan. Dan Al-Quran memang diturunkan bukan hanya untuk orang arab saja, tetapi untuk seluruh manusia. Maka tidak ada salahnya kalau di dalam Al-Quran ada bahasa selain bahasa arab, seperti bahasa Romawi, Persia, Habasyah dan lainnya.

Di antara ulama zaman sekarang yang berpendapat seperti ini adalah Dr. Ramadhan Abduttawwab dan Muhammad As-Sayyid Ali Al-Balasi.

Dr. Ramadhan Abduttawwab telah menuliskan pendapatnya dalam kitab berjudul Fushulun fi Fiqhil Arabiyah. Salah satu ungkapan beliau di dalamnya adalah merupakan sebuah kesalahan mengingkari adanya unsur serapan bahasa asing di bahasa arab fusha dan juga di dalam Al-Quran.

Muhammad As-Sayyid Ali Al-Balasi dalam kritiknya atas kitab Al-Muhazzab mengatakan bahwa para ulama telah sepakat mengatakan adanya kalimat ajam (non arab) di dalam Al-Quran, yang telah diarabkan oleh bangsa Arab sebelumnya.

Sehingga biar bagaimana pun tidak ada perbedaan di antara para ulama itu untuk menggunakan kalimat yang diarabkan. Dan dengan demikian juga tidak ada masalah bila kalimat yang asalnya bukan arab di terdapat di dalam Al-Quran.

3. Pendapat Ketiga: Pertengahan
Pendapat ketiga memandang bahwa hujjah yang mewakili pendapat pertama dan kedua sama-sama kuat, tidak bisa dipatahkan begitu saja. Jadi pendapat ketiga ini agaknya ingin mengkompromikan kedua pendapat yang saling berbeda.

Misalnya, mereka katakan bahwa meski suatu lafadz awalnya dianggap bukan dari bahasa arab, namun kemudian berubah menjadi bahasa arab. Sehingga ketika Al-Quran turun, lafadz itu sudah dikenal oleh bangsa arab dan sudah dianggap menjadi bagian dari bahasa arab. Maka kedua pendapat itu tidak salah dan tidak bertentangan secara hakikatnya.

Yang mengatakan bahwa lafadz itu bukan bahasa arab, tidak bisa disalahkan karena mereka bisa dari asal muasal sejarah lafadz itu yang memang bukan arab. Tapi yang mengatakan bahwa lafadz itu adalah lafadz bahasa arab juga benar, sebab pada saat Al-Quran diturunkan lafadz itu sudah menjadi bagian dari bahasa arab.

Yang termasuk berpendapat seperti ini dari kalangan ulama masa kini antara lain Dr. Thahir Hamudah.

Penutup dan Kesimpulan

Memang tidak mudah untuk memilih salah satu dari ketiga pendapat itu. Tapi rasanya yang paling mudah dan moderat sekaligus bisa menyatukan semua pendapat adalah pendapa yang ketiga. Kalau boleh memilih, kami barangkali termasuk yang agak cenderung kepada pendapat ketiga.

Pendapat ketiga ini prinsipnya tidak menyalahkan pendapat pertama atau kedua, tetapi menggabungkan semua hujjah untuk menjadi kesimpulan yang bisa disepakati bersama.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc