Belumkah Tiba Saatnya?

kelud1Oleh : Lilis Holisah, Pendidik Generasi di HSG SD Khoiru Ummah Ma’had Al-Abqary Serang – Banten

Bencana bertubi-tubi datang melanda negeri Jamrud Khatulistiwa, Indonesia. Banjir, erupsi gunung sinabung dan terakhir erupsi Gunung Kelud. Erupsi pertama Gunung Kelud terjadi pada pukul 22.50 Waktu Indonesia Barat (WIB), pada Kamis, 13 Februari 2014 lalu. Sampai detik ini, hujan abu vulkanik masih melanda daerah Gunung Kelud dan sekitarnya.

Bencana gunung meletus ini merupakan qadha Allah. Manusia tidak memiliki andil di dalamnya. Ia merupakan bagian dari ilmu Allah Yang Maha Luas. Meski bencana ini berada diluar kekuasaan manusia, namun manusia diperintahkan untuk ridha terhadap qadha Allah dan bersabar menghadapinya.

Sabar dan ridha terhadap qadha Allah merupakan sikap agung yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Tanpa memiliki kesabaran terhadap qadha ini, manusia akan sangat mudah terjerumus melakukan hal-hal yang melanggar syara’. Kesabaran dalam menghadapi cobaan dan ridha terhadap qadha Allah merupakan buah dari keimanan seseorang kepada Allah SWT.

Firman Allah SWT :

Hai orang-orang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian……” (Q.S Ali-Imran : 200)

“Sungguh, akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan, berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)

 

Rasulullah SAW bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Amr bin Saad bin Abi Waqash dari ayahnya, “Saya kagum terhadap orang Mukmin. Jika kebaikan menimpa dirinya, dia memuji Allah dan bersyukur. Jika musibah menimpa dirinya, ia tetap memuji Allah dan bersabar. Karena itulah seorang Mukmin akan diberi pahala pada setiap perkara apapun yang menimpa dirinya.” (HR Ahmad, Abdurrazzaq, ath-Thabrani).

 

Anas bin Malik ra juga berkata, “Kami pernah duduk-duduk bersama Rasulullah saw. Beliau tiba-tiba tertawa dan berkata, “Tahukah kalian mengapa saya tertawa?” Para Sahabat berkata, “Allah dan Rasul-Nya tentu lebih tahu.” Beliau kemudian bersabda, “Saya kagum terhadap seorang Mukmin. Sesungguhnya Allah SWT tidak menetapkan suatu qadha’ atas dirinya melainkan hal demikian adalah baik bagi dirinya.” (HR Ahmad).

Salah satu tanda seseorang ridha terhadap qadha’ Allah SWT adalah dia akan selalu sabar. Ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Musya al-‘Asy’ari ra yang pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sabar itu adalah bentuk keridhaan.” (HR Ibn Abi ad-Dunya’).

Selain itu, Muhammad bin Muslim menuturkan bahwa seseorang pernah datang kepada Rasulullah SAW. Ia lalu berkata, “Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat/nasihat, tak perlu banyak-banyak, “Jangan kamu mencela Allah terkait dengan apapun yang telah Dia tetapkan untuk kamu.” (HR Ahmad dan al-Baihaqi).

Seorang Mukmin yang ridha terhadap qadha’ Allah SWT akan merasakan ketentraman dan tidak mudah gelisah. Dalam hal ini, Abdul Wahid bin Zaid berkata, “Ridha adalah pintu Allah teragung, surga dunia dan ‘ketentraman’ para ahli ibadah.”(Ibn Abi ad-Dunya’).

Selain itu, sikap ridha terhadap qadha’ Allah SWT akan mendatangkan pahala dan sebaliknya, marah terhadap qadha akan mendatangkan dosa.

Sabda Rasulullah SAW :

“Sesungguhnya jika Allah akan mencintai suatu kaum, maka Dia akan memberikan ujian kepada mereka. Barangsiapa yang bersabar, maka kesabaran itu bermanfaat baginya. Dan barangsiapa marah (tidak sabar) maka kemarahan itu akan kembali kepadanya.” (H.R Ahmad dan at-Tirmidzi)

Lalu bagaimana supaya kita dapat selalu ridha terhadap qadha’ Allah SWT? Tidak lain dengan meninggalkan syahwat. Demikianlah sebagaimana dituturkan oleh Ahmad bin Abi al-Hawari bahwa Abu Sulaiman pernah berkata, “Jika seorang hamba mampu meninggalkan syahwatnya maka dia akan menjadi orang yang ridha.” (Ibn Abi ad-Dunya’, Ash-Shabr wa ar-Ridha, I/50).

 

Sikap ridha terhadap qadha’ Allah SWT juga bisa ditunjukkan dengan tidak banyak berangan-angan. Hafs bin Humaid bercerita bahwa ia pernah bersama-sama Abdullah bin al-Mubarak di Kufah saat putrinya meninggal. Ia lalu bertanya, “Apa itu ridha?” Abdullah bin al-Mubarak menjawab, “Ridha adalah tidak mengangan-angankan sesuatu yang berbeda dengan keadaannya.” (Ibn Abi ad-Dunya’, Ash-Shabr wa ar-Ridha, I/51).

Sikap ridha terhadap qadha’ Allah SWT ditunjukkan secara jelas oleh sikap Umar bin al-Khaththab ra yang pernah berkata,“Tak masalah bagiku apapun kondisi yang terjadi, baik yang aku sukai ataupun yang tidak aku sukai. Sebab sesungguhnya aku tidak tahu apakah kebaikan itu ada dalam perkara yang aku sukai atau yang tidak aku sukai?” (Ibn Abi ad-Dunya’, Ash-Shabr wa ar-Ridha’, I/54).

 

Bagaimana Dengan Bencana Kemanusiaan Yang Lain?

Sesungguhnya bencana kemanusiaan terbesar yang dihadapi kaum muslim saat ini adalah ketika hukum-hukum Allah dicampakkan, ketika hukum-hukum Allah tidak diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, digantikan dengan hukum buatan manusia.

Ketika aturan Allah tidak lagi diagungkan dengan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kehidupan manusia menjadi kacau balau. Korupsi merajalela, pergaulan bebas tak terkendali, kejahatan, pencurian, pemerkosaan, pembunuhan, penyakit menular, dan sederet kerusakan lainnya yang menimpa kaum muslim saat ini adalah akibat dari dijauhkannya hukum Allah dalam kehidupan.

Firman Allah SWT :

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Q.S Al-Maidah : 50)

 

Ibnu Katsir berkata : “apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki?”, yaitu: (apakah) mereka mencari dan menghendaki (hukum jahiliyah), sementara terhadap hukum Allah mereka berpaling. “dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?”, Yaitu: siapakah yang lebih adil dari Allah dalam hukumnya bagi orang yang memahami syariat Allah dan beriman, yakin serta mengetahui bahwa Allah Ta’ala adalah Pemberi Keputusan yang paling bijaksana (ahkamul hakimin), lebih mengasihi makhluqnya ketimbang kasih-sayang seorang ibu kepada anaknya. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Dzat yang mengetahui segala sesuatu, Dzat yang berkuasa atas segala sesuatu, dan Dzat yang Adil dalam segala sesuatu”.

Maka, tiada system terbaik kecuali system yang berasal dari Zat Pencipta dan Pengatur alam semesta, manusia dan kehidupan.

Terhadap bencana kemanusiaan tidak diterapkannya hukum-hukum Allah dalam kehidupan, maka kita diperintahkan untuk bersegera melaksanakan Perintah-Nya, yaitu memperjuangkan tegaknya aturan Allah dalam seluruh sendi kehidupan dengan dakwah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW. Bukan berdiam diri membatasi dan menjauh dari aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Berdiam diri terhadap segala kemungkaran adalah kelemahan. Rasulullah telah meminta perlindungan kepada Allah SWT dari sifat tersebut. Beliau bersabda : “Aku berlindung kepada Allah dari sifat lemah, dan malas, dan sifat kikir, bingung, kesedihan, dilanda hutang, dan dari paksaan orang-orang yang kuat

Maka sikap sabar ketika menghadapi bencana kemanusiaan seperti ini adalah sabar yang sebenarnya yaitu mengatakan yang hak dan melaksanakannya. Ya, mengatakan yang hak (dakwah) dan melaksanakan segala apa yang diperintahkan Allah untuk dilaksanakan (Menerapkan seluruh hukum Islam). Siap menanggung resiko penderitaan di jalan Allah karena mengatakan dan mengamalkan kebenaran, tanpa berpaling, bersikap lemah, atau lunak sedikit pun.

Sabar yang sebenarnya adalah buah dari ketaqwaan. Sabar yang sebenarnya akan menuntun kepada sikap konsisten, bukan sikap yang labil. Sabar yang sebenarnya akan mendorong kaum muslim untuk senantiasa berpegang teguh terhadap Kitabullah, bukan melemparkannya dengan dalih beratnya cobaan. Sabar yang sebenarnya akan menambah kedekatan kepada Rabb al-‘alamiin, mendekatkan ke jalan menuju Surga. Sabar yang sebenarnya adalah berani menghentikan kedzaliman tanpa rasa takut terhadap cacian orang-orang yang mencaci. Sabar yang sebenarnya adalah melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, bukan diam seribu basa terhadap kedzaliman atau menjadi penonton.

Maka, belumkah tiba saatnya hukum buatan manusia segera dicampakkan dan diganti dengan hukum dari Allah SWT? Belumkah tiba saatnya kita beralih dari system demokrasi yang rusak dan merusak, menuju system Islam yang menyejahterakan? Belumkah tiba saatnya segala penderitaan kita akhiri dengan segera mengakhiri penerapan demokrasi dan menggantinya dengan penerapan Sistem Islam secara total dalam seluruh ranah kehidupan?

Belum cukupkah segala bencana yang melanda menjadi peringatan?

 

Wa Allahu ‘alam