Demokrasi : Antara Realita dan Utopia

labirinOleh Wahyu Ichsan*

Tulisan ini tidak hendak menyerang sistem demokrasi, terlebih lagi diusianya sudah cukup tua, tidak pula hendak untuk mencacinya dan menuduhnya sebagai sistem yang rusak. Sebab tanpa harus dituduh pun, demokrasi memang sudah rusak sejak dari awal diterapkannya. Plato (429-347 SM) seorang Filsuf Yunani Kuno, telah mengingatkan mengenai kelemahan dan bahaya internal demokrasi, salah satunya pemimpin biasanya dipilih dan diikuti karena faktor-faktor non-esensial seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latar belakang keluarga. Aristoteles (384-322 SM) murid Plato, juga menyebutkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan buruk, seperti tirani dan oligarkhi. Sebelum abad 18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat manusia. Sistem ini ditolak diera Yunani dan Romawi dan hampir semua filosof politik menolaknya.[1]

Sebelum lebih jauh membahas kelemahan dan kerusakan demokrasi, kita perlu tahu lebih dulu ta’rif demokrasi. Menurut Wikipedia. Democracy is a form of government in which power is held directly or indirectly by citizens under a free electoral system.[2] Demokrasi juga adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.[3] Selain itu, masih menurut Wikipedia, eventhough there is no universally accepted definition of ‘democracy‘ there are two principles that any definition of democracy includes. The first principle is that all members of the society (citizens) have equal access to power and the second that all members (citizens) enjoy universally recognized freedoms and liberties.[4]

Jadi demokrasi bukanlah hanya persoalan pemilihan pemimpin, demokrasi juga bukan hanya menghormati hak seseorang sebagai manusia, demokrasi pun bukan juga hanya persoalan menghormati perbedaan pendapat. Namun, jika dilihat berdasarkan prinsipnya, maka demokrasi adalah: menjadikan setiap rakyat memiliki kedaulatan untuk membuat hukum mengambil hak Tuhan sebagai pembuat hukum lalu menyerahkannya kepada manusia. Sebab demokrasi memberikan kepada semua rakyat untuk menikmati kebebasan secara universal.

Hal ini sejurus dengan pandangan Fukuyama dan Huntington tentang perlunya proses sekularisasi sebagai prasyarat dari demokratisasi. Karena itu, Fukuyama mengatakan ketika Islam dipandang tidak compatible dengan demokrasi, maka dunia Islam juga tidak kondusif bagi penerapan demokrasi yang bersifat sekular sekaligus liberal.[5] Huntington dalam buku Gelombang Demokrasi Ketiga, juga mengungkapkan penelitian adanya hubungan negative antara Islam dan Demokrasi, namun sebaliknya adanya korelasi yang tinggi antara Kristen Barat dengan demokrasi. Di tahun 1988, agama Katolik dan Protestan merupakan agama dominan pada 39 dari 46 negara demokratis. Ke-39 negara demokratis itu merupakan 57 persen dari 68 negara dimana Kristen Barat merupakan agama dominan. Sebaliknya, dari 58 negara agama dominan bukan Kristen Barat, hanya 7 negara (12 persen) yang dapat dikatakan demokratis. Jadi simpul Huntintong, demokrasi sangat jarang terdapat di negeri-negeri di mana mayoritas penduduknya beragama Islam, Budha, atau Konfusius. Hal ini disebabkan agama Kristen Barat menekankan martabat individu dan pemisahan antara gereja dan negara (sekuler).[6] Fukuyama sendiri pun menyorot ada dua kelompok agama yang sangat sulit menerima demokrasi, yaitu Yahudi Ortodoks dan Islam Fundamentalis, yang ia sebut sebagai “totalistic religion” yaitu agama yang memiliki sistem mengatur semua aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat publik maupun pribadi, termasuk wilayah politik. Meskipun agama-agama itu bisa menerima demokrasi, tetapi sangat sulit menerima liberalism, khususnya kebebasan beragama.[7]

Adian Husaini dalam bukunya Wajah Peradaban Barat dengan tegas mengatakan demokrasi liberal sepanjang sejarah peradaban Barat juga menyimpan banyak kelemahan-kelemahan internal yang fundamental. Sebab menurutnya dalam sistem inilah, ilmu pengetahuan tidak dihargai. Orang pintar disamakan haknya dengan orang bodoh, seorang Profesor ilmu politik memiliki hak suara yang sama dengan pemabuk dan penzina. Seorang yang taat beragama disamakan hak suaranya dengan seorang preman, pengangguran dan oportunis.[8]

Masih menurut Husaini, sebenarnya, Barat pun sadar benar, Demokrasi Liberal tidak dapat diterapkan pada semua aspek kehidupan umat manusia, khususnya dunia Internasional. Karena itu, sejak awal berdirinya PBB, 24 Oktober 1945, Barat memaksakan sistem “aristoktarik”, dimana kekuasaan PBB diberikan kepada 5 negara saja yang dikenal dengan The Big Five (AS, Rusia, Prancis, Inggris, dan Cina). Kelima Negara inilah yang memiliki hak istimewa berupa hak Veto. Pasal 24 Piagam PBB menyebutkan bahwa dewan ini mempunyai tugas yang sangat vital yaitu “bertanggung jawab untuk memelihara perdamaian internasional”. Jika satu resolusi diveto oleh salah satu anggota tetap Dewan  Keamanan PBB, maka resolusi itu tidak dapat diterapkan.[9]

Jika mereka (Barat) percaya pada falsafah demokrasi, bahwa suara rakyat adalah suara tuhan, mengapa Barat selalu menolak melakukan restrukturisasi PBB, yang sudah puluhan tahun dituntut mayoritas Negara dunia? Ketika mayoritas anggota PBB di Majelis Umum menyetujui  satu resolusi, tetapi hanya karena satu Negara anggota tetap DK PBB tidak setuju, maka keputusan PBB itu menjadi tidak bergigi. Itulah sebabnya DK PBB tidak pernah berhasil mengeluarkan resolusi yang mengecam berbagai tindakan AS yang menyerang Negara-negara muslim.

Paradox Demokrasi

Di Indonesia, ‎”Hasil jajak pendapat Lingkaran Survei Indonesia, sebanyak 86,6 persen responden menyatakan menolak jika harga bahan bakar minyak bersubsidi dinaikkan pemerintah. Hanya 11,26 persen setuju kenaikan dan sisanya, yakni 2,14 persen, tidak menjawab”. Hasil survei itu disampaikan Adjie Alfaraby, peneliti LSI, saat jumpa pers di Kantor LSI di Jakarta, Minggu (11/3/2012 )[10] Beginikah demokrasi? Pemerintah tetap menaikkan BBM. Tipuan belaka, dari dulu demokrasi adalah alat untuk mengambil hak Allah dalam menentukan halal-haram berdasar suara terbanyak, tapi bila berhadapan dengan kedzaliman penguasa, suara terbanyak hanya mimpi.

Kasus FIS di Aljazair atau Refah di Turki. Pada tahun 1991, FIS memenangkan 188 dari 231 kursi parlemen Aljazair, tetapi kemudian militer yang direstui Prancis menganulir Pemilu dan menangkapi para pemimpin FIS. Tahun 1996 partai Refah yang memenangkan Pemilu di Turki bahkan telah memerintah dengan Najmudin Erbakan sebagai perdana menteri. Namun, pada 1997 terjadi kudeta militer dengan alasan Refah memiliki agenda Islam yang bertentangan dengan konstitusi. Pada 1998, Mahkamah Agung Turki menyatakan Refah menjadi partai terlarang. [11] Dan yang terakhir di Mesir saat Presiden Muhammad Mursi yang meraih jabatan itu melalui Pemilu kemudian secara keji dikudeta oleh pihak militer dengan dukungan negara Barat. Bukan hanya mengkudeta Mursi, militer Mesir juga membubarkan Ikhwanul Muslimin setelah sebelumnya membantai ribuan pendukung Mursi. Tidak ada demokrasi untuk partai pejuang Islam.

Di Amerika sendiri, sebagai Negara kampiunnya demokrasi pun, setelah Bush mengerahkan tentaranya menduduki Irak, Maret 2003. Belum pernah dalam sejarah, terjadi gelombang aksi unjuk rasa anti-AS yang begitu ramai diberbagai penjuru dunia seperti tahun 2003, sampai-sampai ribuan warga AS sendiri harus ditahan, karena menentang serangan Irak, diberbagai kota di AS. [12] Adakah demokrasi yang menjunjung suara terbanyak? Lagi-lagi tidak ada demokrasi untuk membela umat Islam.

Pemilihan Presiden AS pada tahun 2000 pun tidak luput dari anti demokrasi, pada 5 Desember 2000, US Supreme Court, memenangkan Goerge W. Bush atas Albert Gore yang meraih suara mayoritas rakyat AS. Negera demokrasi terbesar dan terkuat di dunia pun berlaku tidak demokratis. Sehingga akhirnya keputusan diserahkan kepada 5 orang hakim. Padahal popular vote, suara rakyat, lebih banyak berpihak kepada Gore.[13]

Demikian juga dengan pemilihan Presiden Obama, Obama mendapatkan 70 juta suara dari seluruh Amerika, 62 juta memilih kandidat lain, sementara ada 82 juta pemilih yang sama sekali tidak peduli dengan hingar bingar pemilu. Dengan demikian, ada 2 dari 3 pemilih AS yang tidak memilih Obama, seorang presiden yang mendapatkan kemenangan mutlak dalam pemilihan tingkat electoral-college, dengan 365 suara mendukung, dan 173 suara menolak.[14]

Terakhir, Pemerintah Swiss memberlakukan kebijakan larangan pembangunan menara masjid yang disahkan melalui referendum pada tahun 2009. Pemerintah Prancis pun, tahun 2011 lalu resmi melarang burqa. [15] Pakaian yang sejatinya dalam perspektif HAM harus dianggap wajar karena merupakan ekspresi keyakinan beragama seseorang dan sama sekali tidak menimbulkan gangguan pada kehidupan publik, nyatanya justru dianggap sebagai bentuk penindasan terhadap perempuan. Dimana kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam demokrasi?

Demokrasi dan Kesejahteraan

Sebenarnya studi tentang hubungan demokrasi dan kesejahteraan sudah lama dilakukan. Pada tahun 1999, Barron’s menggunakan data dunia dari tahun 1960 selama kira-kira 40 tahun menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara demokrasi dengan kesejahteraan. Adam Smith menggagas market mechanism pada 1854 – 2011 mengatakan Krisis selalu bertalian dengan demokrasi, dan itu terjadi berkali-kali.

Dalam buku, Apakah Demokrasi Itu?,yang disebarluaskan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, di halaman terakhir ditulis bahwa “Demokrasi sendiri tidak menjamin apa-apa. Sebaliknya, ia menawarkan kesempatan untuk berhasil serta resiko kegagalan”.

Jelas keliru kalau kesejahteraan yang menjadi dambaan masyarakat disandarkan pada proses demokratisasi. Demokrasi digembar-gemborkan sebagai pemerintahan yang kedaulatannya terletak di tangan rakyat. Padahal ini hanyalah mimpi di siang bolong. Dalam demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu keinginan. Sejarah AS sendiri menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln (1860 – 1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah, “from the people, by the people, and for the people” (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Namun, hanya sebelas tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah “from company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan). Sejak awal kelahirannya, kedaulatan dalam demokrasi ada di tangan segelintir rakyat (bukan di tangan rakyat), yakni di tangan para pemilik modal. Hanya saja, mereka menipu rakyat dengan menggembar-gemborkan seolah-olah kedaulatan ada di tangan rakyat. Jadi, bila perubahan yang dikehendaki adalah daulatnya rakyat maka demokrasi tidak memberikan hal itu. Yang berdaulat dan berkuasa dalam demokrasi adalah para pemilik modal yang memang memiliki uang.

Karena itu, tidak aneh jika di Afrika Timur lebih dari 12 juta orang menderita kelaparan seperti di Somalia, Kenya, Djibouti, Sudan, dan Uganda. Di Somalia hampir setengah penduduknya menghadapi krisis kemanusiaan (3.7 juta orang). Satu dari tiga anak-anak kekurangan gizi. Hal ini dilaporkan sebagai salah satu krisis terburuk yang memukul Afrika Timur di hampir enam dekade. Yang paling mengejutkan, disana dengan mudah kita menemui anak-anak kurus mengisap payudara kosong dari ibunya yang lemah dan kelaparan. Orang tua sangat lemah dan tidak mampu berjalan.[16]

Amerika pun tidak luput dari kemiskinan, jumlah orang yang tinggal di kawasan-kawasan sangat miskin telah bertambah sepertiga selama dasawarsa terakhir. (The Brookings Institution). Bahkan menurut Voice of America, jumlah total angka kemiskinan di negara demokrasi terbesar itu meningkat pada posisi tertinggi sebanyak 46,2 juta jiwa. Angka ini merupakan rekor tertinggi sejak Badan Statistik AS mulai melakukan pendataan keluarga miskin pada tahun 1959.

Di sisi lain perekonomian Amerika mengalami kebangkrutan. Perang Irak dan Afghanistan telah menguras keuangan negara Paman Sam ini, ditambah lagi krisis keuangan tahun 2008 telah menghancurkan industri jasa keuangan Amerika. Pada bulan September 2010 lalu, telah kolaps bank Amerika yang ke-300. Dari tahun 2007-2010, perekonomian Amerika telah mengalarni defisit hingga lebih dari 16 trilyun dollar AS. Amerika juga menjadi salah satu negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di dunia, yaitu 17 persen, sebuah angka pengangguran tertinggi selama 45 tahun temkhir. Saat ini utang negara adidaya Amerika Serikat mencapai batas atas yaitu $ 14.300.000.000.000 ($14.3 trilliun), sehingga utang per kapita penduduk AS termasuk tertinggi di dunia. Setiap warga AS mempunyai utang 13 kali lebih besar dari pendapatan mereka.

Dengan demikian, bila perubahan yang dikehendaki adalah terwujudnya kesejahteraan, demokrasi pun bukan jalan untuk itu. Realitas menunjukkan bahwa Hongkong sangat pesat ekonominya sekalipun tanpa demokrasi. Begitu juga Korea Selatan dan Taiwan. Pertumbuhan ekonomi Korea Selatan pada triwulan pertama 2011 mencapai 8,1% tertinggi di antara negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Adapun pertumbuhan ekonomi Taiwan mencapai 10,47% pada akhir 2010 (Okezone.com. 2/2/2011). Padahal kedua negara tersebut semiotoriter.

Pada dekade 1970-an dan 1990-an, sebagian besar negara-negara industri baru (newly industrialised countries) yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi tergolong otoriter. sebagian besar negara-negara di Timur Tengah yang makmur juga tidak demokratis. Adapun India, yang ketika itu sudah demokratis, memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran di bawahnya. Vietnam yang secara de facto menganut sistem pemerintahan otoriter juga mendemonstrasikan kinerja ekonomi yang menawan sejak pertengahan 1990-an. Pada 2011 pertumbuhan ekonominya mencapai 7%, bahkan diduga akan menjadi raksasa baru ekonomi Asia (Antara, 7/5/2011). Singapura yang juga semiotoriter menjadi salah satu negara paling makmur di dunia tanpa perlu mengalami demokratisasi. Hal yang sama terjadi pada Tiongkok yang bisa tumbuh pesat seperti sekarang, meski pemerintahannya tetap otoriter. Sebaliknya, Indonesia yang dibangga-banggakan sebagai negara demokratis justru rakyatnya tetap miskin, sementar korupsinya makin merajalela.

Banyak negara otoriter berhasil mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi seperti sejumlah negara Amerika Latin di tahun 1970-1980-an dan Asia Timur tahun 1980-1990-an. Sebaliknya, negara-negara berkembang yang relatif demokratis seperti Filipina, Fiji, atau India, setidaknya hingga pertenganan 1990-an, terpuruk pada siklus pertumbuhan rendah. Di AS, misalnya, kemakmuran yang selanjutnya diikuti dengan sejahteranya kehidupan masyarakat AS bukanlah hasil demokrasi, tetapi buah dari imperialismenya terhadap bangsa-bangsa lain. Dalam rangka menyelesaikan masalah ekonomi dalam negerinya, AS menjajah Irak dan Afganistan untuk mendapatkan minyak. AS mendapatkan kemakmuran karena ‘democratic imperialism’ yang dia lakukan. Tidak pernah ada dalam sejarah suatu negara miskin, lalu berubah menjadi demokratis, dan melalui demokrasi itu negara tersebut menjadi sejahtera. Tidak ada! Realitas ini menggambarkan bahwa demokrasi bukanlah jalan bagi perubahan menuju kesejahteraan apalagi perubahan hakiki.

Kalau yang dikehendaki itu adalah perubahan sistem kehidupan, demokrasi hanya memberikan perubahan orang/rezim. Sistem yang diterapkan sama: sekular. Sekadar contoh, Indonesia dari awal kemerdekaan tetap menjalankan sekularisme. Memang, terjadi perubahan pendekatan mulai dari Sosialisme pada Orde Lama, Kapitalisme pada Orde Baru, dan Neoliberalisme pada era Orde Reformasi. Namun, sistemnya tidak berubah: sekularisme.

Dengan demikian, berharap adanya perubahan hakiki pada demokrasi ibarat punduk merindukan bulan. Utopis!

Islam Mensejahterakan Rakyat

Untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka tidak ada cara lain, selain dengan membuang sistem demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis yang telah terbukti gagal mensejahterakan rakyat. Kemudian menggantikannya dengan sistem yang adil yang dapat mensejahterakan penduduk dunia yaitu penerapan syariah Islam secara kaffah oleh negara.

Sejarah telah membuktikannya, syariah Islam telah menciptakan kesejahteraan rakyat bagi jutaan manusia selama berabad-abad, tanpa mengenal kata krisis.

Pada masa khalifah umar bin Abdul Aziz, beliau pernah menugaskan salah seorang pegawainya yang bernama Yahya bin Sa’ad untuk membagikan zakat kepada penduduk fakir miskin dikawasan Afrika Utara. Tidak lama kemudian ia kembali menghadap khalifah, dan melaporkan bahwa tidak ada seorang pun yang fakir dan miskin, yang berhak menerima zakat. Ini menggambarkan bahwa untuk pertama kalinya di dalam sejarah, tidak ada penduduk Afrika yang fakir dan miskin, semuanya mendapatkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup. Dan hal itu hanya terjadi tatkala Afrika berada dibawah sistem Islam. Hal ini sesuai dengan Firman Allah Al-‘araf: 96

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al-A’raf: 96)

Sebab dalam sistem politik Islam, kedaulatan hanyalah milik syariah bukan milik rakyat. Imam asy-Syaukani, dalam bukunya menyatakan bahwa sejak dulu tidak ada perbedaan di tengah kaum muslim bahwa kedaulatan hanya milik syariah. Artinya syariahlah yang mengelola dan mengendalikan kehendak individu maupun umat. Kemudian timbul pertanyaan, apa keuntungan dan manfaat kedaulatan ditangan syariah?

Pertama, Kita telah berada dijalan yang benar bukan dijalan yang salah yaitu menjalankan perintah Allah dengan menerapkan syariat Islam. Kedua, sebagai mana kita ketahui, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi, tidak ada lagi kekuasaan yang lebih tinggi, bahkan yang sepadan sekalipun. Ketiga, kekuasaan itu bersifat mutlak. Artinya, mencakup semua perkara, semua orang dan semua kondisi. Keempat, kekuasaan itu memiliki kontrol penuh atas segala urusan.

Dengan demikian, karena kedaulatan itu ialah kekuasaan yang mengelola dan mengendalikan kehendak suatu umat. Maka dalam Islam, Kekuasaan tertinggi yang bersifat absolut, mutlak dan yang berhak mengeluarkan hukum ialah yang Maha segala-segalanya yaitu Allah swt, yang bersumber dari al-Quran dan Al-Hadits. Sebagaimana firmannya QS, an-Nisa’: 59:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Terakhir sebagai penutup, saya teringat kepada Sayyid Quthb saat di penjara, beliau pernah ditawarkan bebas dari penjara dan hukuman mati, namun harus menandatangani surat permintaan maaf kepada Gamal Abdul Nasser atas dakwah tauhidnya, maka beliau berucap: “Telunjuk yang senantiasa bersyahadat akan keesaan Allah dalam setiap shalat ini, menentang untuk menuliskan satu huruf sekalipun sebagai tanda ketundukan terhadap Rezim yang Sekular”. Masya Allah, begitulah teguhnya Sayyid Quthb dalam dakwah Islam, menolak demokrasi dan rezim sekuler, barang satu goresan pena pun. Semangat Sayyid Quthb, insya Allah masih berlanjut di dada generasi kaum muslimin dalam mengembalikan Khilafah ala minhajin nubuwah kedua. insya Allah

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

*Penulis adalah syabab Hizbut Tahrir, saat ini sedang melanjutkan pendidikan masternya di IIUM Malaysia

[1] Sharif, MM, History of Muslim Philosophy, (Karachi; Royal Book Company, 1983), Vol. I, hal. 98-106

[2] http://en.wikipedia.org/wiki/Democracy, di akses pada 13 Maret 2014

[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, di akses pada 13 Maret 2014

[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Democracy, di akses pada 13 Maret 2014

[5] Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, (New York: Avon Books, 1992), hal. 211-212

[6] Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta: Grafiti, 1997), hal. 89

[7] Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, hal. 217

[8] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat; dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler – Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 84-85

[9] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, hal. 86

[10] Sandro Gatra, LSI: 86 Persen Publik Tolak Kenaikan Harga BBM, di akses pada 15 Maret 2012. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/03/11/14220330/LSI.86.Persen.Publik.Tolak.Kenaikan.Harga.BBM

[11] Fahmi Amhar, Jebakan-Jebakan Demokrasi Bagi Partai-Partai Islam, di akses pada 15 Maret 2012. http://www.hizbut-tahrir.or.id/?p=11189

[12] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, hal. 88

[13] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, hal. 89

[14] Farid Wajidi, diambil dari Out line Power Poin buku Ilusi demokrasi

[15] Farid Wajidi, diambil dari Out line Power Poin buku Ilusi demokrasi

[16] Khilafah Magazine, The famine crisis in East Africa is a result of poor food security policies. Diakses pada 16 Maret 2012. http://www.khilafah.eu/kmag/article/the-famine-crisis-in-east-africa-is-a-result-of-poor-food-security-policies