Dibalik Lebaynya Pemberitaan Prostusi Online

prostitusi-onlineSejak kasus tewasnya Tata Chubby yang dibunuh pelanggannya di kamar kosan beberapa waktu lalu, aparat penegak hukum bekerja keras untuk mengungkap kasus ini. Bukan cuma kasus Tata Chubby, namun juga prostitusi online lainnya yang jauh lebih besar, seperti kasus AA, artis jadi-jadian yang menjajakan dirinya lewat jaringan maya. Bahkan, mucikarinya mengaku memiliki 200-an nama artis lainnya yang juga menjalani profesi sebagai Pelacur. Aparat penegak hukum menyatakan akan memanggil semua nama yang ada di dalam daftar pelacur milik sang mucikari.

Rilis resmi menyatakan, jika semua pelacur itu akan didata dan dibina agar kembali ke jalan yang benar. Sebuah alasan klise, memang.

Percaya? Ya, mudah-mudahan memang benar, ratusan pelacur yang mengaku artis ini akan dibuat sadar dan dikembalikan ke jalan yang lurus yang diridhoi Allah Swt.

Namun di sisi lain, penulis juga punya kisah sendiri terkait dengan prostitusi kelas atas ini. Sumbernya seorang jenderal bintang empat yang saat ini masih aktif berada dekat dengan Jokowi, masih sangat berkuasa, namun alhamdulillah penulis telah bersahabat dengannya ketika Jokowi masih sibuk keliling kota Solo, naik turun got, mempromosikan esemka sebagai mobil nasional, dan pencitraan lainnya.

Dalam beberapa kali pertemuan, baik di rumah pribadinya, rumah dinasnya di kawasan Kuningan Jakarta, maupun sebuah tempat usaha pribadinya di Blok M, dalam obrolan hangat penuh canda dan tawa, sang jenderal banyak memberikan informasi yang tidak diketahui banyak orang.

Prostitusi kelas atas itu memang ada dan memang dibiarkan eksis. Pelanggannya? Ya para pejabat dan pengusaha papan atas juga. Secara tidak resmi negara memang memelihara ini. Mungkin sistem operasinya sama seperti intelijen kepada seorang agen lapangannya, “Kamu saya tugaskan untuk menunaikan misi ini, namun jika kamu tertangkap musuh atau diketahui masyarakat luas, kami tidak akan pernah mengakuinya!”

“Banyak pejabat, baik sipil maupun militer, yang jika bepergian ke daerah itu memang meminta disediakan wanita-wanita seperti itu. Mereka akan marah besar jika keinginannya tidak diberikan. Ini nyata,” demikian pengakuan sang jenderal tadi.

Ketika penulis dengan usil bertanya apakah dia juga demikian, dengan tawa berderai dia berkata, “Isteri saya selalu ikut kemana saya pergi…”

Terkait dengan akan dipanggilnya ratusan nama “artis” yang ada di dalam daftar pelacur sang mucikari AA, jenderal tersebut tertawa kembali, “Iya, itu nanti didata. Datanya disimpan sebagai stok jika ada pejabat yang berminat, ha ha ha…”

“Lho, bukannya mereka akan dibina dan disadarkan, Pak?” tanya penulis pura-pura naif.

“Kamu ini seperti bukan wartawan saja, negara ini sudah lama sakit. Sekarang ini kalo mau masuk sekolah calon perwira saja ada ongkosnya, sampai ratusan juta hingga satu miliar. Itu cuma sesajen. Institusi resmi pasti membantah hal ini, tapi saya kan tahu. Korupsi sudah masuk ke mana-mana, tidak di sektor sipil tapi militer juga. Lalu ada anak penggede negeri ini, anaknya itu sekarang perwira yang track-record di luaran lumayan bagus. Dulu ketika dia (latihan) survival di hutan, bapaknya yang jenderal bintang empat memerintahkan supaya sebuah helikopter mendrop makanan dari atas untuk anaknya yang lagi ada di hutan itu. Pake GPS dia. Jadi ya seperti itulah kenyatannya. Kualitas mereka ini sekarang tidak bagus-bagus, karena sistem yang rusak dan juga tidak pernah berperang di medan tempur yang sesungguhnya. Mereka cuma latihan dan latihan perang terus dengan segala keterbatasannya…”

“Dan soal kasus prostitusi online yang sekarang dibesar-besarkan media, sebagian kalangan curiga jika hal ini untuk menutupi sesuatu. Bagaimana Pak?”

“Iya, memang benar demikian. Soal prostitusi online itu bukan barang baru. Sudah sangat lama. Dan sekarang memang terlalu dibesar-besarkan. Media sekarang ini banyak yang bukan lagi pilar demokrasi, tapi sudah berubah fungsi menjadi corong propaganda. Propaganda untuk melayani kepentingan sang pemilik atau orang yang membayarnya. Banyak wartawan, walau tidak semuanya, yang menerima amplop bulanan dari para pejabat atau pengusaha, guna melayani kepentingan mereka. Mereka sebenarnya tidak bisa disebut sebagai wartawan, tapi yang lebih tepat sebagai agen propaganda. Inilah kenyataannya…”

Penulis yang memiliki latar belakang dan lingkungan pergaulan puluhan tahun di media massa juga mengetahui hal ini. Kasus prostistusi online yang sangat lebay pemberitaannya itu sengaja dibuat seperti itu oleh orang-orang yang berkepentingan agar masyarakat lengah terhadap kasus-kasus yang jauh lebih penting, korupsi besar-besaran misalkan.

Beberapa belas tahun lalu, ketika penulis bertemu seorang intel kepolisian yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus “Perang Abadi di Matraman” antara dua kelompok warga di sisi kanan dan kiri jalan Matraman, sang intel itu bilang, “Jika terjadi tawuran di Matraman, biasanya tak jauh dari lokasi sedang ada transaksi narkoba besar di sini. Tawuran itu cuma alat pengalih dari apa yang sesungguhnya sedang terjadi.”

Dan pemberitaan prostitusi online secara besar-besaran juga demikian dalam skala yang lebih luas.

“Jika demikian, masih ada harapankah negeri ini, Pak? Apa yang kira-kira bisa mengubah negeri yang sakit ini sehingga bisa menjadi baik?”

“Jika mau jujur, satu-satunya yang bisa mengubah negeri ini yaitu Perang,” tegas sang jenderal. “Perang adalah satu-satunya jalan untuk membersihkan kondisi sesuatu negeri. Tapi memang tidak menjamin, apakah nantinya yang keluar sebagai pemenang itu akan bersih juga atau tidak. Negeri ini memang salah ketika dijajah Belanda, harusnya Inggris yang menjajah kita sehingga bangsa ini bisa memiliki karakter yang lebih baik. Belanda itu kalau menjajah ya merampok, beda dengan Inggris yang jika menjajah suatu negeri mereka akan juga membentuk karakter daerah jajahannya sehingga bangsa yang dijajahnya juga memiliki karakter yang lebih baik. Lihat itu Singapura, Malaysia, dan sebagainya. Mereka semua sekarang sudah lebih maju dibanding kita.”

“Apakah dengan jalan damai tidak bisa mengubah kondisi negeri ini?”

“Saya ragu. Selama para pejabatnya masih mementingkan dirinya sendiri, keluarganya, dan kelompoknya, ya susah. Coba lihat para pejabat-pejabat yang memiliki latar belakang agama yang kuat, apakah mereka bisa berbuat banyak memperbaiki kondisi negeri ini? Tidak juga, kan? Padahal Nabi Muhammad SAW kan pernah bersabda jika seseorang itu memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengubah sesuatu dengan tangannya, ya harus ubah itu. Nah ini tidak, sudah berapa banyak gubernur dan menteri yang keislamannya kuat secara personal, tapi toh wilayah yang dipimpinnya masih banyak kemaksiatan tuh. Mereka itu penakut, tidak berani berjihad untuk menghabiskan kemaksiatan. Lihat saja, apakah daerah-daerah yang dipimpin walikota atau gubernur dari partai-partai yang Islamnya kuat itu sudah bersih dari kemaksiatan? Belom kan? Ya susah kalau negeri ini masih punya pejabat yang penakut seperti itu, tidak akan pernah berubah,.” ujar sang jenderal yang memiliki banyak anak asuh yatim piatu ini.(rz)