Dimana Allah dan Bagaimana Memposisikan Allah?

Dalam Surat An Naas, terdapat ayat yang menyebutkan:

Raja manusia.(Q.S. An Nas:2)

Allah adalah raja. Raja Manusia. Penguasa bagi para manusia juga alam semesta. Lantas, bagaimana seorang raja itu? Bagaimana kedudukannya?

Maka akal dan pengetahuan yang kita miliki, kita bisa menyimpulkan bahwa raja adalah  yang memimpin dan menguasai suatu wilayah, memiliki bawahan yang mengikuti dan mentaatinya, memiliki hukum yang harus ditaati, dan memiliki kekayaan untuk diberikan pada bawahannya yang taat serta punya sangsi untuk bawahannya yang melawannya. Allah adalah raja manusia, Pengatur menusia dengan undang-undang-Nya (syari’at-Nya).

Di masa Rasulullah dan masa-masa kejayaan Islam, umat Islam dipimpin oleh seorang khalifah. Allah “tidaklah berkuasa secara langsung,” tetapi Allah memiliki wakil di bumi, yaitu sang khalifah. Kata khalifah sendiri secara bahasa adalah “pengganti atau wakil.”  Khalifah memimpin dan merajai manusia di dunia, tetapi ia tunduk pada Rajanya Raja, Sang Malikul Mulki. Khalifah adalah raja yang mengikarkan diri sebagai hamba Allah, bawahan Allah, dan taat pada hukum Allah. Ia adalah wakil Allah untuk melaksanakan hukum Allah di muka bumi, mengatur kehidupan umat manusia berdasarkan hukum dan perundang-undangan (syari’at) dari Allah.

Setelah kita tahu definisinya, marilah kita introspeksi tentang kedudukan Allah di masa sekarang ini, dan marilah kita introspeksi diri kita sendiri. Sudahkah kita memposisikan Allah sebagai raja?

Ternyata fakta bicara lain. Tenyata di masa sekarang ini, raja itu bukanlah Allah. Raja-raja itu bukanlah wakil Allah. Kondisi kita sekarang ini 100% berbalik dari yang semestinya. Sekarang ini tak ada wilayah yang menerapkan hukum Allah. Setiap jengkal tanah yang menyuarakan berdirinya hukum Allah, maka seluruh manusia entah itu yang katanya muslim atau bukan, akan berbondong-bondong untuk menghancurkan dan membumi hanguskannya. Setiap jiwa yang menyeru pada syari’at dan hukum Allah akan di cap sebagai teroris yang harus dikejar-kejar untuk ditangkap dan dipenjara bahkan harus dihukum mati.

Ketika kondisi sudah seperti ini, rasanya tak ada alasan lagi bagi Allah untuk menunda bencana atau bahkan kiamat datang. Kecuali karena masih adanya jiwa-jiwa yang mau menyeru dan kembali kepada hukum Allah. Itulah yang menahan murka Allah untuk tidak menimpakan bencana bagi manusia dan bumi ini secara keseluruhan.

Sedangkan kondisi kejiwaan kaum muslimin sendiri-ketika situasi sudah tidak mendukung tegaknya hukum Allah-adalah telah menjadi kaum yang lemah, yang malu mengangkat Allah menjadi rajanya, yang lebih takut pada raja-raja dan penguasa dunia yang menentang Allah (baca: Thaghut), dan lebih senang ikut dalam barisan mereka, demi mencari keuntungan dan kenikmatan dunia yang sementara dan sedikit. Kita takut menyuarakan hukum Allah pada tampuk-tampuk kepemimpinan yang sudah kita pegang, karena takut kita akan kehilangan kedudukan itu. Kita tidak bisa mendudukkan Allah sebagaimana yang seharusnya. Penerapan iman kita kepada Allah 100% kacau. Nastghfirullahal adhim…

Lalu apa yang harus kita perbuat……..

Solusi yang paling ampuh untuk mengembalikan kekuatan umat muslim di dunia ini adalah dengan mengembalikan mereka kepada al ilmu sebagaimana generasi-generasi pendahulu mereka, yaitu ilmu tentang dua warisan Nabi Muhammad yang beliau tinggalkan sebagai pegangan umatnya sepeninggalnya. Tidak lain dan tidak bukan ia adalah Al Qur’an dan Al Hadits. Dengan mempelajari dan mengilmui kedua sumber yang suci tesebut, maka kembalilah kita pada kekuatan iman, ketaqwaan dan kehormatan yang akan membawa kita kepada kejayaan.

Bersambung…

 

Nazla Al Qorie