Drama Segitiga Mesir, Saudi, dan Amerika

Dua sekutu AS di Timur Tengah, Arab Saudi dan Mesir, di ambang krisis suksesi yang mungkin berpotensi memecah belah elit politik mereka. Hal ini mengisyaratkan periode politik yang tak bisa diduga di kedua negara itu.

Hal ini jelas akan berimbas pada kepentingan AS di wilayah ini. Seperti diketahui, Mesir dan Saudi menjadi dua sekutu besar AS, ditambah dengan Yordan sebagai pangkalan “kecil” AS. Sejak Januari, kepala intelijen Mesir, Letnan Jenderal Omar Suleiman, menjadi penangggung jawab mediasi damai di Timur Tengah. Pertama antara Israel dan Hamas, dan juga Hamas serta Fatah.

Sementara, Arab Saudi tengah didesak Washington untuk bisa mendukung diplomasi AS. Saudi telah berhasil memenangkan dukungan negara-negara Arab untuk menopang kelansungan ekonomi dan politik Israel di Timur Tengah. Raja Saudi, Abdullah bin Abdul Aziz, akan berumur 85 tahun Agustus ini. Calon penerusnya, Sultan ibn Abdul-Aziz, 83 tahun, saat ini tengah terbaring di rumah sakit karena dugaan kanker.

Pertanyaan besar tentang Saudi adalah: bagaimana Raja Abdullah akan meneruskan tampuk kerajaan kepada generasi selanjutnya setelah Pangeran Sultan? Bagaimanapun, semua pangeran yang ada di kerajaan Saudi sekarang sudah berumur paling tidak hampir 70 tahun. Awal tahun ini, Raja Abdullah telah menunjuk saudaranya Naif bin Abdul-Aziz (76 tahun) sebagai deputi kedua perdana menteri, sebuah posisi yang menempatkan Naif sebagai pewaris kerajaan setelah Sultan.

Ketika Raja Abdul-Aziz ibn Saud, peletak kerajaan Saudi modern, wafat pada 1953, dia meninggalkan 37 putra dari 22 istrinya. Berbagai putra ini kemudian memerintah kerajaan bergantian setelah Abdul-Aziz. Nah, putra-putra Abdul-Aziz pun beranak banyak pula. Kerajaan Saudi tidak punya sistem “primogenitur” (suksesi-putra-pertama). Maka, ada ratusan kemungkinan siapa yang akan menjadi raja selanjutnya. Kenyatannya, Pangeran Muqrin, 64, purta termuda Abdul-Aziz, yang mungkin naik menjadi raja.

Siapapun yang terpilih menjadi monarki pertama di Saudi, tak ada tanda-tanda perubahan antara hubungan Saudi dan Washington. Sejak tahun 1930, hubungan mesra itu telah terbangun dengan rapi. Tapi di kalangan elit politik negeri, termasuk para pangerannya, banyak terjadi perbedaan pandangan perihal urusan dalam negeri, semisal kebijakan minyak ekonomi, peran negara dalam institusi agama, dan perempuan. Inilah yang akan menjadi batu sandungan terbesar Saudi dan AS—setidaknya membelah Riyadh dengan kepentingan diplomasi Obama.

Di Mesir, sementara itu, Hosni Mubarak yang telah berusia 81 telah masuk babak final kepresidenannya. Beberapa laporan menyebutkan bahkan Mubarak sudah menyampaikan kepada kerajaan Saudi bahwa ia tak akan menyelesaikan enam tahun tugasnya sebagai presiden Mesir pada tahun 2011. Mubarak telah memerintah Mesir sejak tahun 1981. Setiap waktu ia selalu menolak mempunyai wakil presiden. Sekarang, salah satu dari kandidat presiden Mesir adalah anaknya sendiri, Gamal, yang berusia 45 tahun, dan telah memimpin Partai Demokratik Nasional (NDP) sejak tahun 2002.

Adalah sesuatu yang ganjil, bahkan di sebuah republik, seorang anak meneruskan kekuasaan ayahnya sebagai presiden. Pernah terjadi di Korea Utara, Syria, dan beberapa Negara Afrika, namun itu dilakukan setelah beberapa kali interlud (diisi oleh presiden yang lain dahulu) seperti halnya Amerika dipimpin oleh dua generasi Bush.

Di balik layar Mesir, militer masih mendominasi di atas kekuatan politik dan ekonomi sejak tahun 1952. Ada sebuah pertanyaan yang patut dipertimbangkan: apakah militer sekarang akan mendukung Gamal Mubarak, seorang banker investor yang tak punya telaah jejak dengan militer?

Namun Omar Suleiman, letnan jenderal itu, akan mengambil alih posisi Hosni Mubarok pun menjadi premis yang cukup kuat pula. Faktanya adalah Hosni Mubarak sendiri telah “menyekolahkan” Suleiman pada kancah diplomatik dengan Washington—sebuah isyarat terbuka yang memungkinkan Suleiman menjadi penerus Hosni. Toh, sampai saat ini, tampaknya Suleiman belum bisa dibilang berhasil dalam studi bandingnya itu. Alih-alih, para ahli politik Timur Tengah menilai bahwa inilah perangkap sesungguhnya dari Hosni untuk membuat Suleiman gagal.

Bagaimana dengan calon presiden dari Ikhwan? Mubarak tak pernah mengizinkan partisipasi bebas Ikhwan di Mesir. Pengalaman tahun 2005 memberikan rasa pahit luar biasa bagi Mubarak karena Ikhwan mengambil 88 dari 444 kursi parlemen yang tersedia. Namun, lucunya, Partai Demokratik Nasional (NDP) sendiri makin merapat pada Ikhwan. Maraknya kembali penangkapan anggota Ikhwan belakangan ini tidak lepas dari kecenderungan politik yang tengah panas bergulir.

Saudi dan Mesir tengah bersiap masuk dalam babak dramatis, cinta segitiga dengan AS—dengan AS yang akan menjadi penjaga di garis finis. (sa/ikhwanweb)