Filsafat Kemiskinan ala Ahok, Tamparan Keras Dari Jaya Suprana

Eramusim.com – SAYA sempat tertegun menyimak sebuah berita yang dirilismetrotvnews, 26 September 2016. Agar saya tidak keliru salin, maka lebih aman saya copy-paste berita tersebut secara utuh sebagai berikut:

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengkritik Program Prona yang menjustifikasi warga miskin untuk mendapatkan sertifikat rumah di bantaran sungai. Akibatnya, mereka kini sulit untuk ditertibkan.

“Kaya (warga) Bukit Duri, ada sertifikat hak milik di pinggir sungai. Itu karena dulu ada Program Prona justifikasi atas orang miskin dikasih, itu yang konyol dulu,” kata Ahok di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (26/9/2016).

Ahok-Gusur-Pinangsia-Djarot-Warga-Bakal-Ditampung-di-RusunAhok menilai, pemerintahan dulu terlalu memanjakan warga miskin. Tapi, memanjakannya dengan cara yang kurang tepat. “Demi orang miskin kita nih terlalu banyak ‘demi orang miskin’-nya salah,” ungkap Ahok.

Ahok menjelaskan, kalau benar-benar demi orang miskin, semestinya Pemerintah memberikan sembako murah, pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi, dan modal kerja. Bukannya malah membenarkan sesuatu yang secara hukum salah.

“Makanya saya katakan bahasa revolusi Prancis, rakyat enggak butuh ladang gandum. Rakyat butuh roti. Rakyat jangan dimanjakan, sudah melanggar dikasih sertifikat. Kesalahan dulu itu,” ungkap Ahok.

Pemprov DKI Jakarta memang tengah gencar melakukan penertiban permukiman di bantaran sungai untuk normalisasi sungai. Ahok menilai, sudah waktunya warga sadar akan kesalahannya.

“Bilang, ‘saya sudah 30 tahun pak tinggal di sini’, ya saya jawab, ‘harusnya sudah 30 tahun cukup dong melanggarnya’. Bukan berarti malah meresmikan anda yang melanggar 30 tahun. Sudah baik hati saya enggak minta bayar sewa tanah negara,” papar Ahok.

Setelah menyimak dan mencoba menghayati berita tersebut, saya baru tersadar bahwa selama 67 tahun hidup di dunia ini ternyata saya banyak memperoleh pendidikan yang salah. Saya baru sadar bahwa pada hakikatnya kepedulian Jokowi terhadap kaum miskin adalah salah. Sama halnya dengan almarhumah Ibu Theresa yang akan dinobatkan sebagai santa pelindung kaum miskin jelas perlu ditinjau kembali keabsahannya sebab kaum miskin tidak perlu dilindungi.

Ordo Fransiskan yang fokus menolong kaum miskin sebaiknya dibubarkan. Injil Kemiskinan Sri Paus Fransiskus ternyata sekadar angan-angan yang tidak realistis. Pemaparan Ahok mengenai “bahasa revolusi Prancis” juga menyadarkan saya bahwa saya perlu  mengoreksi pemahaman sejarah saya. sebab, terus terang saya belum tahu bahwa pada saat itu ada keyakinan bahwa “rakyat tidak butuh ladang gandum sebab rakyat butuh roti”.

Perang Tani Jerman 1848 perlu ditinjau kembali kebenarannya sebab sebenarnya rakyat tidak butuh ladang gandum tetapi roti. Meski agak sulit dibayangkan bagaimana bisa ada roti apabila tidak ada ladang gandum.

Mengenai pemberian sertifikat kepemilikan tanah dan rumah seperti yang tersurat di dalam Kontrak Politik calon gubernur Jokowi dengan rakyat miskin Jakarta, semula saya keliru tafsirkan sebagai kebijakan luhur sebab merupakan pewujudan sila kemanusiaan adil dan beradab dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mengenai Ahok tidak minta kaum miskin bayar sewa tanah negara memang pertanda baik hati tetapi mungkin beliau tidak tahu bahwa kaum miskin yang saya kenal ternyata membayar PBB atau iuran atau entah apa lagi istilahnya.

Yang jelas filsafat kemiskinan Ahok memang beda dari pandangan tentang kaum miskin yang saya peroleh dari teman-teman saya seperti HS Dillon, Harjono Kartohadiprojo, Mahfud MD, Yasonna Laoly, Emil Salim, Salim Said, Gus Mus, Frans Magnis Suseno, Sandyawan Sumardi, Wardah Hafids, Sri Palupi, AM Fatwa, Hidayat Nur Wahid, Oei Hong Tjhien, Franki Wijaya, Sugianto Kusuma, Christanto Wibisono, Ilarius Wibisono, almarhum Soepardjo Roestam, Gus Dur, Cak Nur dan lain-lain tokoh kemanusiaan.

Kini saya baru tersadar bahwa mengenai filsafat kemiskinan, saya memang masih harus banyak belajar dari Ahok.

Jaya Suprana, Penulis adalah pemerhati sosial dan kaum miskin