FIS Aljazair, Sebuah Memori Perjuangan Islam Via Demokrasi

fisUsianya pendek. Namun, akan dikenang sebagai sebuah gerakan Islam yang bisa diterima oleh rakyat. Karena, ia konsisten untuk menjadi partai Islam. Perkembangan dan sejarahnya dimatikan oleh penguasa.

Pada dekade akhir 80-an dan awal 90-an, hampir semua penggerak dakwah Islam mengenali FIS. FIS atau Front Islamic du Salut atau dalam bahasa Indonesia Front Keselamatan Islam adalah sebuah partai politik di Aljazair berideologi Islam.

Sampai tahun 1988, di Ajazair hanya ada satu partai politik yaitu FLN. Namun ketika meletus penentangan terhadap pemerintah dan FLN, presiden Aljazair ketika itu, Chadli Bendjedid (sekaligus merangkap sebagai sekjen FLN), terpaksa mengizinkan pendirian berbagai parpol baru.

Satu tahun kemudian, berdirilah FIS. FIS didirikan di atas kesadaran masyarakat Aljazair yang beragama Islam. Bertahun-tahun masyarakat Muslim Aljazair kecewa terhadap pemerintahnya yang sekuler,  karena negaranya tidak mengalami kemajuan. Juga selain itu, pemerintah Aljazair tidak mengakomodasi kepentingan umat Islam.

Benjedid sendiri memerintah sejak tahun 1978, meneruskan kepemimpinan Boumedienne yang jahil (sekuler). Boumedienne sendiri berkuasa karena menggulingkan presiden Bella pada tahun 1962. Otomatis, sejak tahun 1988 itu, bermunculanlah parpol-parpol di Aljazair. Namun, kemudian hanya FIS yang menyeruak ke permukaan dan meraih simpati masyarakat. Apa pasal? Ini karena sejak awal FIS konsisten berjuang dengan program-program dan asas Islam.

Masyarakat Aljazair yang sudah lama hidup dalam belenggu dan suasana sekuler, tidak disangka-sangka lebih memilih FIS. Walaupun rakyat mayoritas beragama Islam, namun kehidupan dan cara-cara masyarakat Aljazair hampir tidak beda dengan masyarakat Prancis atau Eropa, hingga kecenderungan mereka terhadap FIS pun mengherankan banyak pihak. Sekalipun, soal urusan hidup hedonis, tapi untuk urusan pemerintahan, tampaknya rakyat Aljazair lebih percaya pada konsep Islam.

FIS pun meresponnya dengan baik, yaitu dengan tidak tertarik akan ide “berpura-pura” menjadi sekuler, seperti menjadi partai terbuka atau nasionalis untuk menarik simpati masyarakat. Mereka tetap konsisten dengan nilai dan prinsip Islam, baik di dalam partai ataupun skap keluar (eksternal) terhadap partai atau golongan serta pemerintah.

Pada pemilu 1991, artinya hanya dua tahun sejak berdirinya FIS, partai ini meraih 54% suara dan mendapat 188 kursi di parlemen atau menguasai 81% kursi. Suatu pencapaian yang fantastis! Pada pemilu putaran kedua, FIS dinyatakan menang telak.

Hasilnya pada pemilu putaran pertama 20 Juni 1991, FIS memenangkan 54% suara dan mendapat 188 (81%) kursi di parlemen. Umat Islam Aljazair menyambut gembira Kemenangan FIS ini disambut gembira oleh rakyat Aljazair.

Namun tidak dengan Benjedid. Presiden yang kemudian mengundurkan diri ini setelah kekalahan partainya segera berkonsolidasi dengan pihak-pihak yang tak ingin Islam tampil dan FIS berkuasa. Maka Benjedid pun menggalang kekuatan militer. Militer, dengan kekuasaannya dan semena-mena, membubarkan parlemen Aljazair serta membatalkan hasil pemilu.

Mohammed Boudiaf, mewakili militer, segera mendirikan Dewan Tinggi Negara, dan kemudian bertindak sebagai pemerintahan interim. Ia, entah dengan dasar apa, mengumumkan bahwa Aljazair berada dalam keadaan darurat.

Boudiaf menjadi penguasa baru di Aljazair. Ia merekayasa semua cara untuk memberangus FIS dan menyatakannya sebagai partai politik terlarang. Ribuan anggota dan pendukung FIS ditangkap dan dijebloskan ke penjara, dan tak jarang dibunuh. Pemimpin FIS Abassi Madani dan Ali Belhadj dipenjarakan. Boudiaf sendiri tewas di tangan Letnan Mohammed Bumaaraf yang berusia 26 tahun. Sejarah terulang, Aljazair tidak pernah lepas dari pemberontakan dan pembunuhan. Ini berbeda jika saja FIS memerintah, karena walaupun mengusung ideologi Islam, FIS tak sekalipun merugikan kepentingan golongan lain.

Kini Aljazair diperintah oleh pemerintahan sekular. FIS sudah tidak tahu lagi kemana di negara ini. Namun pelajaran besar dari FIS adalah jangan pernah menanggalkan identitas sebagai partai Islam walaupun di tengah masyarakat yang sekuler.

Karena, bagaimanapun jahiliyahnya umat Islam di sebuah negara, jauh di lubuk hatinya mereka menginginkan sebuah partai Islam yang benar-benar Islam. Bukan partai Islam ‘gadungan’ dan dipimpin para pecundang politik,  yang bertindak-tanduk hampir tidak ada  bedanya dengan partai sekuler, yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan dan berkomplot dengan penguasa sekuler.

Meskipun, akhirnya FIS dibubarkan oleh penguasa militer Aljazair, tapi itu jauh lebih terhormat daripada mengekor kepada kekuasaan sekuler.(sa/berbagaisumber)