Kejahatan Amerika Di Balik Topeng Retorika Manis Obama

Kejahatan Amerika Di Balik Topeng Retorika Manis Obama
Oleh: Harits Abu Ulya (DPP-HTI)

Barack H. Obama presiden AS direncanakan akan datang ke Indonesia Maret ini antara tanggal 20-22. Dengan slogan The Change We Need dan Yes We Can, peraih nilai magna cum laude dari Sekolah Hukum Harvard ini mampu menyihir masyarakat AS dan juga dunia. Sejak ia menjadi senator partai Demorat dari Illionis, selama ajang konvensi partai Demokrat, selama kampanye presiden dan setelah menjadi presiden, dari satu podium ke podium lainnya, dari satu mikrophone ke mikrophone lainnya, Obama terus menebar janji-janji perubahan dan perbaikan bukan hanya bagi masyarakat AS tapi juga bagi dunia.

Masyarakat AS dan juga dunia pun menaruh harapan besar kepada Obama, pun masyarakat di dunia Islam. Dunia di landa dengan penyakit ”Obamaphoria”, bagi sebagian masyarakat yang melek politik fenomena ini tidak lebih dari apa yang di sebut sebagai ”wahm” alias ilusi.

Sejak itu masyarakat dunia dibuai ilusi akan terjadi perubahan signifikan di dunia karena perubahan yang terjadi di AS baik dalam kebijakan dalam negerinya dan terlebih plan kebijakan-kebijakan luar negerinya yang mengesankan sangat bersahabat dan tidak tampil sebagai polisi dunia yang memaksa peta tata dunia ”unipolar” dimana AS menjadi episentrumnya. Pasalnya, sebagai negara adidaya kebijakan AS sangat mempengaruhi kondisi dunia.

Namun perubahan seperti apakah sebenarnya yang ditawarkan oleh AS di bawah Obama? Dalam pidato di Senat Amerika, Hillary Clinton, Menteri Luar Negeri AS yang baru mengatakan, “Kita harus menggunakan apa yang disebut smart power, suatu perangkat yang lengkap yang dilakukan dengan kekuasaan yang kita miliki. Dengan smart power, diplomasi akan menjadi garda depan politik luar negeri kita.”

Hillary pun seperti yang dilansir oleh New York Times menggambarkan smart power itu : “Ini artinya penggunaan semua perangkat yang bisa mempengaruhi diplomatik, ekonomi, militer, hukum, politik dan budaya untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan.”

Obama dan pemerintahannya menganggap kepemimpinan Bush dengan hard powernya telah gagal. Karenanya smart power menjadi cara baru bagi Obama untuk memperbaiki rusaknya reputasi mereka di mata dunia, khususnya di dunia Islam. Karena sebagaimana yang ditegaskan Obama sendiri bahwa tugas dia adalah memperbaiki citra AS di mata dunia khususnya dunia Islam. Karena itu, Pemerintah AS kini berupaya mengefektifkan kebijakan luar negeri dengan taktik baru tersebut.

Namun, jika menengok track record presiden-presiden AS, baik yang berasal dari Partai Republik atau Demokrat, AS di bawah Obama tidak akan berubah secara signifikan. Hal itu telah tercermin dalam pidato Obama di Council on Foreign Relation, Chicago 12 Juli 2004, kira-kira 3,5 tahun sebelum Obama menjadi presiden AS ke-44. Obama yang ketika itu menjadi senator dari Illionis mengatakan: “Di setiap wilayah di muka bumi ini, kebijakan luar negeri kita harus mendukung idealisme tradisional AS: demokrasi dan hak-hak asasi manusia, perdagangan bebas, adil, serta pertukaran budaya; juga pendirian berbagai lembaga yang menjamin pemerataan kesejahteraan di dalam ekonomi pasar.”

Selanjutnya Obama mengungkapkan, “Kesamaan kepentingan di dunia akan memulihkan pengaruh kita serta merebut hati dan pikiran demi mengalahkan terorisme dan menyebarkan nilai-nilai AS ke seluruh dunia.” (Lisa Rogak, Obama in His Own Words).
Maka sedari awal dari berbagai ungkapan Obama sebenarnya sangat jelas bahwa, arah kebijakan Pemerintah AS tidak akan berubah. “Presiden boleh datang dan pergi, kebijakan mungkin berubah, tetapi tidak akan ada perubahan yang benar-benar nyata (real change),” kata Taji Mustafa, perwakilan media Hizbut Tahrir Inggris seperti dikutip Khilafah.Com.

Perubahan yang akan terjadi hanyalah soal gaya dan cara pendekatan. Sedang substansinya adalah sama, yaitu kebijakan AS tetap ditujukan untuk menyebarkan nilai-nilai tradisional AS yaitu ideologi kapitalisme dan ide-idenya, untuk merealisasi kepentingan-kepentingan AS yang mengusung ideologi kapitalisme dan untuk menjaga dominasi AS atas dunia. Sebagai negara pengusung kapitalisme metode AS tetap berupa penjajahan dalam berbagai bentuknya. Dengan demikian kebijakan-kebijakan AS tetap saja bertujuan untuk mendekte dan mengontrol negara-negara lain serta mengeksploitasi sumber dayanya demi kepentingan dan kemakmuran AS khususnya para kapitalisnya.

Maka satu tahun lebih sejak Obama dilantik menjadi presiden AS ke-44 pada tanggal 20 Januari 2009, tidak terlihat adanya perubahan signifikan dari kebijakan luar negeri pemerintahan Obama khususnya terhadap dunia islam. Masyarakat AS sendiri masih merasakan menu retorika Obama yang kembali mengulang janji mimpi-mimpinya di banding solusi-solusi riil yang bisa secepatnya memulihkan kondisi ekonomi yang carut-marut, karena kebijakan-kebijakan strategisnya belum memberikan efek berarti untuk mengurangi pengangguran dan meringankan beban hidup masyarakat AS.

Sebagian Janji Obama Atas Dunia Islam

Demikian juga Selama kampanye dan setelah menjabat presiden AS, Obama banyak menebar janji terhadap dunia Islam. Obama menyatakan bahwa AS akan mengembangkan hubungan dengan dunia Islam dalam bentuk hubungan yang hangat, saling memahami dan atas dasar kepentingan yang sama. Ia juga mengatakan bahwa AS akan menghormati negara-negara Islam.

Sekaligus ia berjanji akan segera menyelesaikan masalah Irak. Obama mengatakan: “Amerika menghormati negara-negara Islam. Karenanya, kita segera menyelesaikan masalah Irak. Amerika adalah teman semua negara.” (pidato kenegaraan pertama Obama, 20 Januari 2009).

Saat berkunjung ke Turki Obama menyampaikan pidato dihadapan parlemen Turki. Dalam kesempatan itu Obama tak lupa menebar janji-janji dengan retorika manisnya.

Obama menyatakan bahwa hubungan antara Barat dan Islam mengalami hambatan dalam beberapa tahun belakangan ini. Namun ia mengakui Islam telah memberikan kontribusi yang besar pada dunia sejak berabad-abad yang lalu. Obama juga menegaskan bahwa AS tidak dan tidak akan pernah memerangi Islam.

"Saya katakan sejelas-jelasnya, Amerika Serikat tidak dan tidak akan pernah memerangi Islam. Saya tahu, hubungan AS dan Turki belakangan ini mengalami ketegangan, dan saya tahu ketegangan itu terjadi hampir di semua tempat dimana agama Islam dianut," kata Obama.

Dalam pidatonya, Obama juga mengatakan bahwa hubungan antara AS dan dunia Islam tidak bisa didefinisikan semata-mata karena sikap AS dalam menentang terorisme dan al-Qaida. "Hubungan kerjasama kami dengan dunia Islam tidak hanya sebaatas pada sikap kritis kita terhadap ideologi-ideologi yang menganut prinsip kekerasan yang tidak diterima oleh penganut agama manapun, tapi juga dalam upaya memperkuat kesempatan bagi seluruh rakyat kita," tukas Obama seraya menjajikan program-program khusus untuk meningkatkan kesehatan dan pendidikan di dunia Islam.

"Kami akan menunjukkannya lewat komitmen kami untuk masa depan yang lebih baik. Kami akan memfokuskan pada apa yang bisa kami lakukan untuk menjalin kerjasama dengan seluruh dunia Islam, guna mewujudkan harapan dan impian kita," janji Obama.
Janji-janji manis kembali ia sampaikan saat berpidato di Universitas Kairo pada tanggal 4 Juni 2009 atau enam bulan setelah dilantik, di hadapan hadapan akademisi, mahasiswa dan berbagai kalangan di negeri Piramida itu dan sejatinya ditujukan kepada dunia Islam. Ia mengatakan, "Saya datang ke Kairo untuk mengupayakan satu permulaan baru bagi perdamaian Timur Tengah dan menjembatani antara Amerika dan umat Islam di seluruh dunia".

Terkait kamp tahanan militer AS di teluk Guantanamo Kuba, Obama berjanji akan menutupnya. Kamp yang dibuka sejak tahun 2002 yang dijadikan tempat penahanan orang-orang yang dituduh sebagai teroris tanpa pembuktian dan mereka mengalami berbagai bentuk penyiksaan. Pada 22 Januari 2009, atau dua hari setelah resmi menjabat presiden ke-44, Obama mengeluarkan dekrit yang isinya memerintahkan penutupan kamp Guantanamo dalam setahun kepemimpinannya.

Janji lain Obama adalah terkait dengan Irak. Dalam pidato kenegaraan saat pelantikannya, Obama berjanji akan segera menyelesaikan masalah Irak. Obama berjanji akan menarik seluruh pasukan AS dari Irak dalam jangka waktu 16 bulan pemerintahannya.

Kemudian terkait dengan penyelesaian masalah Israel-Palestina, Obama tak lupa juga menebar janji manisnya. Obama mengungkapkan janjinya dalam bentuk ungkapan-ungkapan indah tentang perdamaian dan hidup berdampingan antara dua negara. Di depan sidang Majelis Umum PBB itu Obama hanya mengumbar janji untuk mewujudkan negara Palestina berdaulat. "Saya orang yang sangat percaya dengan solusi dua negara kendati masih ada perbedaan-perbedaan," katanya.

Kejahatan Amerika Dibawah Obama Terhadap Dunia Islam

Janji-janji Obama terhadap dunia islam memang terdengar manis. Namun kenyataan yang ada menunjukkan bahwa tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan pemerintahan AS terhadap dunia Islam dan kaum muslim.

Kejahatan Ekonomi Amerika

Obama dan pemerintahannya akan tetap berpegang pada National Security Strategy of USA, September 2002 sebagai manifesto ekonomi politik, politik luar negeri dan militer AS. Dalam hal ini kebijakan AS dalam bidang ekonomi tetaplah ditujukan untuk mengamankan kepentingan nasional AS. Yaitu untuk menjamin penguasaan atas minyak dan gas, mengamankan investasi AS di negara-negara dunia ketiga termasuk dunia Islam untuk mengeruk kekayaan alamnya, bahan baku dan mengeksploitasi tenaga kerja murahnya demi kemakmuran AS dan menciptakan pasar bagi produk-produk perusahaan Barat.

Dalam memastikan penguasaan atas minyak dan gas, AS di bawah Obama tidak akan segan menggunakan kekuatan militer (hard power) jika diperlukan. Dipertahankannya perang di Afganistan, keberadaan militer AS di Irak, perluasan perang ke Pakistan dan dipeliharanya perang di Nigeria adalah bukti dan indikasinya.

Dan tidak menutup kemungkinan AS akan membuka lahan-lahan perang baru di berbagai belahan dan wilayah dunia Islam, baik secara langsung melakukan ekspansi militer atau menjadi pemain belakang mendukung separatis dan konflik-konflik dengan berbagai motif, contoh kasus konflik di Darfur Sudan.

Demi menjamin kepentingan ekonomi itu AS akan tetap melakukan berbagai intervensi terutama ke negara-neagra berkembang. Untuk memuluskannya Pemerintah AS akan tetap menggunakan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Lihat saja bagaimana pertemuan G20 di Washington yang menegaskan tetap memegang komitmen mekanisme pasar. Begitu juga pertemuan APECs di Lima-Peru yang konsisten melanjutkan liberalisasi pasar.

Melalui konsep neo-liberalis, Pemerintah AS berupaya menjajah negara-negara berkembang dengan gaya baru. Lembaga keuangan multilateral IMF dan Bank Dunia terus mendorong transaksi utang luar negeri kepada negara-negara berkembang. Cara itu untuk melanggengkan kepentingan AS dalam menguasai perekonomian nasional negara yang memiliki potensi strategis dalam berbagai aspek.

Melalui IMF dan Bank Dunia serta hubungan biletaral, AS tetap saja berupaya mengontrol (memaksa) negara berkembang termasuk negeri Islam, untuk mengadopsi konsep ekonomi liberal yang tercermin dalam lima kebijakan: Pertama, mendorong kebebasan pasar; Kedua: memangkas pengeluaran publik untuk pelayanan sosial; misalnya subsidi untuk sektor pendidikan, kesehatan, ‘jaring pengaman’ masyarakat miskin; bahkan pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, air bersih. Ketiga: paket kebijakan deregulasi dengan jalan mengurangi peraturan-peraturan pemerintah yang dianggap mendistorsi pasar dan bisa mengurangi keuntungan pengusaha; membuat kebijakan yang meliberalisasi seluruh kegiatan ekonomi, termasuk penghapusan segala jenis proteksi; membuat aturan yang memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan longgar. Keempat: privatisasi. Kelima: menghapus konsep barang-barang publik dan menggantinya dengan “tanggung jawab individual”.

Semua itu menyebabkan kemiskinan, kesenjangan kaya dengan miskin makin lebar, harga-harga melambung, tidak ada lagi subsidi dan pelayanan atas kebutuhan masyarakat banyak, mengalirnya kekayaan ke negara maju terutama AS dan keterjajahan negara berkembang secara ekonomi. Kemiskinan yang mendera akhirnya memicu munculnya banyak problem sosial: kekurangan gizi anak-anak, makin banyaknya anak-anak terlantar, meningkatnya angka kejahatan, meningkatnya perceraian dan kerusakan keluarga akibat makin tingginya himpitan hidup, dsb.

Maka munculnya semua fenomena itu secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh kebijakan AS yang menontrol kebijakan ekonomi negara-negara berkembang termasuk dunia Islam. Maka semua itu sejatinya masuk dalam daftar kejahatan AS meski secara tidak langsung dan tidak disadari oleh banyak orang.

Kejahatan Politik AS Dibawah Obama

Janji pemerintahan Obama untuk lebih mengedepankan smart power seakan menjanjikan terciptanya suasana kehidupan dunia yang lebih tenteram. Namun nyatanya hal itu tidak terjadi. Dalam kebijakan politik luar negerinya terhadap dunia Islam, AS tetap saja menggunakan kerangka perang melawan terorisme. Segala bentuk perlawanan penduduk negeri Islam atas penjajahan di stempel dengan tindakan terorisme.

Setiap negara yang memiliki potensi menghambat hegemoni AS maka dimasukkan daftar negara penyokong terorisme. War on terrorism menjadi uslub yang terbukti banyak menguntungkan AS untuk menawarkan ideologi kapitalisnya di dunia Islam tanpa hambatan, dengan mengeksekusi setiap sikap perlawanan dari kelompok muslim melalui penguasa-penguasa komparadornya. Segala kebijakan yang berkaitan dengan agenda war on terror pun akan tetap dipertahankan dan ke depan akan muncul kebijakan-kebijakan baru dengan nafas yang sama.

Karena itu berkaitan dengan kamp tahanan Guantanamo meski Obama sudah mengeluarkan dekrit yang memerintahkan penutupannya dalam waktu 12 bulan, nyatanya hingga kini kamp tahanan itu belum juga. Disana masih terdaat 198 tahanan termasuk belasan tahanan yang siap dibebaskan.

Obama sendiri untuk pertama kalinya mengakui bahwa pemerintahannya telah melanggar janji terkait penutupan penjara Guantanamo. Dalam sebuah wawancara yang disiarkan oleh channel NBC Amerika di ibukota Cina, Beijing, saat lawatan ke negara-negara Asia, Obama menyatakan, "Guantanamo. Sungguh kami telah melanggar janji."

Lagi-lagi belum ditutupnya kamp tahanan tersebut dikaitkan dengan isu war on terror, khususnya setelah klaim AS akan adanya upaya peledakan pesawat Northwest oleh al-Qaeda setelah ditangkapnya Abdul mutallab pada Natal tahun lalu, seorang warga Nigeria berusia 23 tahun, seorang mahasiswa teknik, putera seorang bankir di Nigeria, di bandara Detroit.

Bahkan sepuluh hari setelah penangkapan itu, Dinas Keamanan Transportasi (TSA) AS menyatakan semua penumpang yang terbang menuju AS dari luar negeri akan diperiksa secara acak. Terutama yang berasal dari 14 negara yang 13 diantaranya dalah negara muslim.

"Semua orang yang terbang ke AS dari mana pun di dunia, dari atau melalui negara-negara yang menjadi sponsor terorisme, harus melalui pemeriksaan yang lebih ketat," bunyi pernyataan TSA.

Kuba. Iran, Sudan, dan Suriah adalah empat negara yang masuk daftar hitam AS sebagai negara pendukung terorisme. Di luar itu, penumpang dari Afghanistan, Libia, Nigeria. Pakistan, Somalia, Aljazair, Irak, Lebanon, Arab Saudi, dan Yaman, juga akan dikenai pemeriksaan dengan ketat.

Semua penumpang dari negara-negara yang disebutkan akan diperiksa ekstra teliti. termasuk penggeledahan seluruh tubuh dari atas ke bawah, pemeriksaan dengan layar canggih, dan penggeledahan barang bawaan. TSA mengatakan peraturan baru diberlakukan di seluruh dunia bekerja sama dengan departemen dan penegak hukum dari dalam dan luar negeri.

Jelas bahwa kebijakan itu mencerminkan bahwa pemerintahan AS di bawab Obama belum berubah dan masih tetap memandang negeri Islam dan kaum muslim sebagai teroris.

Dalam kasus Israel-Palestina, sikap pemerintahan Obama tidak berbeda dengan pemerintahan Amerika sebelumnya.

Invasi (pembantaian) Gaza oleh Israel yang terjadi dari tanggal 28 Desember 2008 hingga 18 Januari 2009, yang berakhir dua hari sebelum pelantikan Obama, tragedi kemanusiaan itu sama sekali tidak disinggung dalam pidato kemenangannya. Saat invasi biadab Israel di Gaza itu, sikap Obama justru sangat kentara mendukung penuh negeri Zionis dengan dalih mempertahankan diri.Padahal tragedi itu lebih merupakan pembantaian penduduk Gaza oleh zionis Israel.

Padahal invasi itu telah menyebabkan sebanyak 1.400 orang lebih tewas dimana ratusan diantaranya dalah anak-anak, wanita dan orang tua; 5.000 orang terluka, termasuk 1.000 yang cacat seumur hidup, disamping kehancuran dahsyat akibat berbagai jenis senjata paling mutakhir negeri Zionis.

Bukan hanya itu, bahkan Goldstone Report, yang benar-benar membuktikan Israel melakukan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap korban-korban yang tak bersalah, ditolak oleh pemerintah Amerika dan dicegah untuk diajukan ke Dewan Keamanan PBB dan Pengadilan Internasional.

Sikap AS di bawah Obama itu menunjukkan memang AS tidak memiliki niat untuk menyelesaikan masalah Israel-Palestina secepatnya. AS hanya ingin menyelesaikan masalah itu pada waktu yang diinginkan dengan penyelesaian yang diinginkan yaitu dalam kerangka dua negara, satu negara Israel dan “negara” Palestina yang tidak punya kedaulatan.

Ketidakseriusan AS itu tampak sejak awal. Dalam pidato pelantikannya, Obama hanya menyebut masalah itu dengan ucapan manis yang masih kabur dan multi-interpretasi. Hal yang sama diulang lagi dalam pidatonya di Universitas Kairo. Ketidakseriusan itu juga terlihat dari pidato Obama di sidang Majelis Umum PBB pada September lalu, yang sama sekali tidak menyinggung persoalan permukiman baru Israel di Jerusalem Timur, yang menjadikan proses perdamaian mengalami jalan buntu.

Di depan sidang Majelis Umum PBB itu Obama hanya mengumbar janji untuk mewujudkan negara Palestina berdaulat. "Saya orang yang sangat percaya dengan solusi dua negara kendati masih ada perbedaan-perbedaan," kata Obama tanpa menyentuh persoalan permukiman Yahudi. Pernyataan Obama itu dinilai sebagai suatu pengakuan diam-diam yang mungkin ia tak menjamin akan terjadi pembekuan permukiman baru Yahudi di Tepi Barat termasuk di Jerusalem Timur, yang selama ini menjadi kendala terbesar bagi upaya proses perdamaian.

Bagi Obama menjaga keamanan Israel tidak bisa ditawar. Dalam siaran pers Pembaruan Kepemimpinan Amerika, 12 Juli 2004 (Lisa Rogak, Obama in His Own Words), Obama mengatakan, “(AS harus) menggunakan kewenangan moral dan kredibilitas membantu Timur Tengah mencapai perdamaian. Komitmen pertama dan mustahil ditawar adalah keamanan Israel, sekutu sejati kita di Timur Tengah dan satu-satunya demokrasi. Kita harus konsisten dan melibatkan Uni Eropa serta negara-negara Arab untuk mendesak reformasi di dalam masyarakat Palestina.”

Obama juga menyatakan dalam pidatonya pada Konferensi AIPAC 4 Juni 2008, “Biarkan saya jelaskan. Keamanan Israel adalah keramat. Hal ini tidak bisa dinegosiasikan. Orang Palestina membutuhkan sebuah negara yang berdampingan dan kohesif [dengan Israel], yang memberi tempat bagi mereka untuk hidup makmur—tapi perjanjian apapun dengan rakyat Palestina harus melindungi identitas Israel sebagai negara Yahudi, dengan perbatasan yang aman, diakui, dan bisa dipertahankan. Jerusalem akan menjadi ibu kota Israel, dan [kota] ini akan tetap tidak terbagi.”

Obama kembali menegaskan komitmennya terhadap Israel setibanya di bandara Tel Aviv dalam kunjunganya ke Israel bulan Juli 2008, "Hal yang paling penting bagi saya adalah hubungan bersejarah dan khusus antara Amerika Serikat dan Israel, suatu hubungan yang tidak bisa diputus".

Disamping itu Obama juga banyak berutang budi kepada orang-orang Yahudi Amerika. Beberapa nama mereka menjadi penggalang dana bagi kampanye Obama yang menghabiskan jutaan dolar. Diantara mereka; penggalang dana kampanye bagi Obama yaitu: Sheldon Adelson seorang Republikan, neokonservatif dan seorang ‘mega-donor’, Sherry Lansing penggalang dana dan donatur utama Partai Demokrat, pernah menjadi perempuan pertama yang memimpin Paramount, salah satu studio film terkemuka di Hollywood, Eli Pariser memimpin situs MoveOn.org, situs advokasi online beraliran liberal yang menggalang dana untuk kandidat presiden dari Partai Demokrat, Penny Pritzker ketua nasional bidang keuangan kampanye Obama, seorang milyader berasal dari keluarga Yahudi yang dikenal kerap menjadi donatur besar, Denise Rich mantan istri milyader March Rich, seorang penggalang dana terbesar bagi Partai Demokrat, Barbra Streisand penyanyi terkenal yang menjadi ikon Yahudi-liberal dan penggalang dana bagi Yahudi, mendukung Obama dan berhasil menggalang dana sebesar 25.800 dollar dari kalangan selebritis Hollywood.

Maka dengan semua itu, Amerika di bawah Obama akan tetap menjaga eksistensi Israel. Amerika juga akan terus melanjutkan memberikan bantuan sebesar US$ 3 milliar per tahun pada Israel. Bantuan ini merupakan seperlima bantuan luar negeri Amerika. "Buku hijau" Badan Amerika untuk Pembangunan Internasional (USAID) mencatat, hingga 2003, total pinjaman dan hibah yang diterima Israel lebih dari US$ 140 miliar atau Rp 1.260 triliun, lebih besar dari APBN Indonesia 2010.

Maka penyelesaian masalah Israel-Palestina bagi AS adalah tetap menjamin keberadaan negara Israel dan diakui legalitasnya oleh dunia khususnya negara-negara Arab dan nenegara muslim. Maka ini merupakan kejahatan AS terhadap Islam dan ummatnya.
Daftar kejahatan AS terhadap umat Islam tidak berhenti di situ.

Dalam kasus Irak, Barack Obama berjanji melakukan penarikan mundur seluruh pasukan AS secara bertahap dalam tempo 16 bulan sejak menjabat. Sebaliknya, Obama menentang penarikan mundur secara total dan mendukung upaya reposisi kekuatan militer AS di Irak. Upaya menentang adanya penentuan tanggal tertentu sebagai batas akhir penarikan pasukan AS, membuktikan Obama masih membutuhkan keberadaan kekuatan militer untuk mendukung pelaksanaan kebijakannya di Timur Tengah. Obama juga menekankan bahwa sebagian besar kekuatan militer AS harus tetap siaga di tempat strategis seperti di Kuwait, kalau tidak di Irak itu sendiri.

Artinya Obama hanya mau menarik pasukan AS dari Irak setelah ia memastkan kontrol AS terhadap Irak melalui agen-agen dari penguasa, militer dan polisi Irak. Niat penarikan itu bukanlah sebagai wujud belas kasihan dan kebaikan kepada rakyat Irak dan kaum muslim pada umumnya. Tetapi penarikan pasukan AS itu memang menjadi sebuah keniscayaan karena tidak lagi efektif dan kondusif untuk mencapai tujuan AS. Disamping beban dari invasi Irak terasa sangat membebani keuangan AS sehingga menimbulkan defisit yang sangat besar dan membuat rapuh fondasi perekonomian AS.

Karena itu rencana penarikan mundur pasukan AS dari Irak yang dijanjikan Obama selain tidak terpenuhi sesuai janjinya, hal itu merupakan kejahatan yang dibungkus dengan ungkapan manis, karena sebenarnya penarikan itu adalah bagian dari strategi AS untuk menancapkan hegemoni terhadap Irak dan penguasaan atas minyaknya. Dan penarikan itu memang sudah bagian dari skenario umum yang dirancang sejak awal. Peran Obama hanyalah menentukan detil pelaksanaannya sesuai dengan strategi AS itu.

Perlu diketahui menurut perkiraan pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah Irak, lebih dari 85.000 warga Irak tewas di negeri itu antara 2004 hingga 2008. Perkiraan itu didasarkan pada surat kematian yang dikeluarkan oleh kementerian kesehatan yang telah memasukkan hitungan 15.000 jenazah tak teridentifikasi. Sekitar 148.000 orang cedera pada periode yang sama.

Namun perkiraan itu tidak memasukkan hitungan korban yang jatuh pada beberapa bulan pertama setelah perang pecah sesudah invasi yang dipimpin AS tahun 2003, karena saat itu tidak ada pemerintahan yang berfungsi di Irak untuk merekam catatan kejadian.

Diantara para korban terdapat 1.279 anak, 2.334 perempuan, 263 profesor di universitas, 21 hakim, 95 pengacara dan 269 wartawan. Data hanya merujuk pada korban tewas akibat kejadian mengenaskan, seperi korban terbunuh akibat penembakan, pemboman, serangan mortir dan pemancungan. Tidak termasuk didalamnya faktor kematian tak langsung seperti akibat rusaknya infrastruktur, tempat perawatan kesehatan serta stress yang juga menyumbang pada banyak kematian.
Sementara itu, taksiran korban yang terbaru versi Iraq Body Count, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang menghitung para korban sipil sejak perang dimulai, menyebut jumlah korban mencapai 93.540 jiwa.

Begitu pula sikap Obama dan pemerintahannya terhadap invasi Afganistan tdak kalah jahatnya. Obama secara gamblang dan berulang mengatakan akan meningkatkan keterlibatan AS di Afganistan, menambah jumlah pasukan, memperluas daerah operasi militer dan melancarkan serangan lintas batas secara sistematis. Pemerintah AS telah memprioritaskan membangun rezim agen di Kabul sehingga Afganistan tetap terkontrol dalam kepentingan AS.

Tujuannya adalah mempertahankan aset strategis di Asia Tengah seperti sumber energi dan infrastruktur pembangunan jalur pipa minyak. “Saya selalu merasa kita sudah melakukan hal yang tepat di Afganistan. Kerisauan saya hanyalah bahwa kita mengalihkan perhatian dari Afganistan ke Irak. Saya kira, saya akan melakukan hal yang lebih baik dalam menstabilkan negara itu ketimbang yang sudah kita lakukan, dengan memberikan bantuan kepada rakyat Afgan. Kita semua harus mendukung rakyat Afganistan dan memastikan siap membantu mereka untuk mewujudkan berbagai hal,” ungkap Obama dalam debat Senat Illionis di Jaringan Radio Illionis 12 Oktober 2004.

Nyatanya invasi ke Afganistan hingga sekarang masih tetap dilanjutkan, bahkan makin intensif. Obama pada awal Desember 2009 justru memutuskan pengiriman pasukan tambahan sebanyak 30 ribu personel.

Delapan tahun setelah penggulingan Taliban dari kekuasaan di Afghanistan, lebih dari 40 negara bersiap-siap menambah jumlah prajurit di Afghanistan hingga mencapai sekitar 150.000 orang dalam kurun waktu 18 bulan, dalam upaya baru memerangi gerilyawan.

Invasi AS dan Sekutu terhadap negeri miskin Afganistan sejak 2002 lalu telah menyebabkan ribuan korban dari orang-orang yang tak bersalah. Tidak sedikit diantara korban itu adalah anak-anak, wanita dan orang tua.

Amerika meluaskan perang ke Pakistan dengan dalih memerangi Taliban dan kelompok-kelompok yang mendukungnya di dalam wilayah Pakistan. Obama telah mengumumkan bahwa pemerintahannya akan memperluas ‘Perang Melawan Teror’ secara sistematis, menggencarkan serangan darat dan udara secara besar-besaran di Pakistan serta menargetkan setiap desa dan kota yang diduga melindungi simpatisan perlawanan Afgan.

Semua indikasi mengarah pada Pakistan yang akan menjadi ajang perang AS dalam ekspansi imperiumnya. Langkah itu diperlukan Obama untuk memenangkan perang regional ini. Maka wilayah Persukuan dan propinsi Waziristan pun berubah menjadi neraka bagi penduduknya. Amerika pun memaksa militer Pakistan untuk menggempur saudara-saudara muslim mereka. Puluhan ribu personel militer Pakistan menggempur saudara mereka di kawasan persukuan dan Waziristan itu, didukung dengan gempuran bom-bom dari pesawat-pesawat tempur. Semua itu demi memuaskan tuan-tuan mereka yaitu Amerika.

Disamping itu, AS juga melancarkan serangan menggunakan pesawat tanpa awak (serangan drone) di wilayah Afganistan dan Pakistan. Penggunaan serangan pesawat tanpa awak Predator dalam perang terselubung CIA di Pakistan menewaskan ratusan orang penduduk sipil. Serangan Drone itu telah menciptakan rasa takut di kalangan masyarakat sipil Afghanistan dan Pakistan.

Serangan drone telah mengakibatkan ratusan nyawa warga sipil melayang setiap kali diluncurkan. Dan Obama, dengan kebijakannya, telah melakukan tiga ratus (serangan drone) dalam enam bulan terakhir, atau enam bulan pertama masa pemerintahannya, lebih banyak dibandingkan dengan yang dilakukan George Bush dalam tiga tahun.

Bahkan kini serangan semacam itu dipergunakan juga di Yaman, Somalia dan Syiria. Lalu, kapan hal ini akan berhenti?

Akibat dari serangan-serangan itu ribuan orang tewas. Sebagian besar dari mereka adalah penduduk sipil tak berdosa, termasuk para wanita, anak-anak dan orang tua. Lebih dari 150 ribu orang harus terusir mengungsi dan kehilangan tempat tinggal mereka. Mereka pun dipaksa untuk hidup beralaskan tanah dan beratapkan langit dan menjalani cuaca sangat dingin dalam kondisi seperti itu.

Sementara itu di belahan dunia islam lainnya, AS menggunakan kekuatan diplomasi, politik dan tekanan untuk menancapkan hegemoninya di sana. AS dalam hal itu bekerjasama dengan antek-anteknya dari kalangan penguasa, ekonom, intelektual ataupun militer. Seperti yang berjalan di Somalia, Nigeria, Sudan, Turki, negara-negara Timur Tengah, Bangladesh termasuk Indonesia.

Semua itu tidak lain adalah demi semaksimal mungkin bisa mengeksploitasi dan mengambil keuntungan dari negara-negara yang lebih lemah. Semua itu untuk kepentingan perusahaan-perusahaan dan kaum kapitalis di belakang mereka.

Secara budaya, Barat khususnya AS akan menggunakan media massa untuk membawa pandangannya dan mengekspor ide-ide itu kepada dunia Islam. Secara ekonomi, Pemerintah AS berupaya mengeruk habis kekayaan negeri-negeri Muslim. Melalui lembaga keuangan internasional yang bekerjasama dengan agen-agennya penguasa di negara berkembang, mereka membuat kebijakan yang menguntungkan kapitalis.

Maka sampai disini masihkah kaum muslimin sebagian atau seluruhnya masih nyenyak dengan penyakit ”obamaphoria”nya? Ini tidak akan terjadi kecuali mereka yang sudah teracuni sikap nifaq dan tidak bisa melihat kejahatan AS seperti melihat mentari disiang bolong.(LS-HTI)

Harits Abu Ulya, DPP Hizbut Tahrir Indonesia