KPK Masuk Perangkap Mafia?

Pekan lalu, publik hampir saja mendapat semangat baru pengusutan kasus Gayus ketika Ketua KPK, Busyro Muqoddas, menyatakan akan mengambil alih kasus yang belum ditangani Polri. Kasus yang dimaksud adalah adanya dugaan mafia pajak di 151 perusahaan yang ditangani Gayus sehingga menghasilkan dana 100 milyar lebih.

Beberapa hari setelah Busyro menyatakan itu di kantor KPK, Polri pun memberikan reaksi. Melalui Kabareskrim, Komjen Pol Ito Sumardi, Polri menyatakan akan berkerja sama dengan KPK dan Ditjen Pajak untuk mengusut kasus perusahaan yang ditangani Gayus. Bersama dengan Ditjen Pajak yang baru, Kabareskrim menyatakan itu di kantor Ditjen Pajak.

Cuma bedanya dengan Busyro yang seolah akan mengambil alih seluruh penanganan penyelidikan, Polri langsung membagi-bagi jatah tugas. Urusan dugaan mafia pajak ditangani Ditjen Pajak, Pencucian uang oleh Polri, dan korupsi oleh KPK.

Hanya saja, publik tidak bisa menangkap dengan jelas, apakah ini memang sudah kesepakatan tiga instansi tersebut, atau klaim sepihak dari Polri. Selain itu, publik pun tidak melihat adanya koordinasi antara Polri dengan KPK. Pemandangan ini seolah memperlihatkan adanya ‘penjegalan’ terhadap langkah maju KPK melalui modus bagi-bagi tugas tersebut. Khususnya apa yang disampaikan Busyro untuk mengambil alih lanjutan kasus Gayus, walaupun tidak didampingi ketua-ketua KPK yang lain.

Jebakan Perang KPK DPR
Di luar dugaan banyak pihak, di saat KPK mulai mendapat dukungan luar biasa dari publik untuk maju mengambil alih kasus Gayus, terjadi penangkapan 19 anggota DPR oleh KPK. Kasusnya merupakan kasus lama, dugaan suap pemilihan Miranda Gultom sebagai pejabat BI, yang melibatkan anggota DPR periode 1999-2004.

Kasus ini sejak awal diangkat ke publik, mengundang begitu banyak kontroversi. Pertama, kasus ini mencuat setelah lebih dari lima tahun berlalu dan baru muncul ketika skandal Bank Century mulai memojokkan pihak pemerintah. Kedua, rawan memunculkan rasa ketidakadilan antar mereka yang diduga terlibat. Antara lain, KPK belum berhasil memeriksa pihak yang diduga menyuap, yakni Nunun Nurbaiti yang hingga kini masih di Singapura. Ketiga, tokoh yang juga tidak kalah sentral dalam kasus ini, Miranda Gultom, masih bisa keluyuran.

Dari nilai kontroversi itu dan belum meratanya penanganan pihak-pihak yang mesti diperiksa, langkah KPK yang tiba-tiba ini tentu sangat mengundang tanda tanya. Terlebih ketika KPK akan bergerak mengambil alih kasus Gayus yang tentu membutuhkan energi ekstra.

Selain itu, langkah KPK ini tentu akan mendapat perlawanan dari pihak-pihak yang ‘dikorbankan’. Dalam hal ini partai-partai yang anggotanya tertangkap: PDIP, Golkar, dan PPP. Padahal, melawan jaringan mafia Gayus saja, KPK belum tentu akan berhasil, ditambah lagi dengan pernyataan ‘perang’ terhadap kekuatan-kekuatan besar di parlemen.

Pertanyaannya, apakah ini memang langkah prioritas KPK di tengah sorotan publik terhadap lambannya kasus mafia pajak dan hukum kasus Gayus? Apakah ini menjadi pertanda kalau KPK minus Busyro, sudah menjadi ‘alat’ pemerintah?

Perlawanan dari Parlemen
Inilah yang akhirnya tidak diinginkan banyak pihak terhadap nasib KPK. Alih-alih KPK bersinergi dengan DPR dan masyarakat mengungkap mafia kasus Gayus, justru akhirnya sibuk menghadapi perang baru oleh musuh yang mestinya menjadi mitra.

Pada rapat kerja dengan komisi III kemarin, status deponering dua pimpinan KPK, Bibit Chandra tiba-tiba digugat. Mereka mempersoalkan etis tidaknya dua pimpinan yang tersangkut kasus hukum ini berada di raker tersebut.

Tidak tanggung-tanggung, dari 29 anggota Komisi III yang hadir, 24 di antaranya menolak kehadiran Bibit Chandra. Hanya tiga fraksi yang tidak mempersoalkan. Mereka adalah fraksi Demokrat, PAN, dan PKB.

Rapat kerja yang sedianya membahas isu mafia kasus Gayus pun akhirnya terhenti setelah perdebatan panjang antar anggota komisi III. Lagi-lagi, langkah KPK terganjal dengan manuver yang boleh jadi bisa ditunda.

Jebakan mafia pajak dan hukum?
Apa yang dialami KPK saat ini, memperlihatkan kepada publik bahwa jaringan mafia pajak dan hukum di negeri ini bukan lagi persoalan satu dua institusi. Tapi, sudah merasuk ke berbagai lembaga penegak hukum. Termasuk mungkin di KPK.

Dengan manuver ’aneh’ menangkap sejumlah anggota DPR yang sebenarnya mungkin bisa ditunda, justru KPK menghadapi perang baru. Gugatan komisi III terhadap status Bibit Chandra, mau tidak mau, akan sangat menghambat kalau tidak dikatakan menghentikan langkah maju KPK mengambil kasus mafia Gayus.

Jika ini yang terjadi, tidak tertutup kemungkinan, pertarungan akan terjadi di luar ring. Dengan kata lain, kebobrokan dan ketidakberdayaan institusi negara dari kasus mafia Gayus yang sudah terang benderang ini akan mengundang pemain-pemain baru.

Pemain baru bisa siapa saja: LSM, tokoh publik, mahasiswa, bahkan mungkin purnawirawan TNI. Kalau ini yang akhirnya terjadi, pertarungan akan menjadi sangat liar, dan arah pukulan tentu mengarah ke target yang lebih ’besar’. mnh