Krisis Ekonomi di AS, Pertanda Tamatnya Sistem Kapitalis?

Krisis keuangan yang menimpa negara AS mengguncang perekonomian global. Perusahaan-perusahaan besar banyak yang ambruk, bank-bank internasional dan pemerintahan di berbagai negara mengucurkan dana dalam jumlah besar ke pasar uang untuk meredakan guncangan krisis. Sementara ribuan orang kini terancam jadi pengangguran karena banyak perusahaan besar terancam tutup.

Apa yang menimpa AS dan imbasnya ikut dirasakan seluruh dunia, menunjukkan rapuhnya sistem ekonomi kapitalis yang dianut negara adidaya itu dan mayoritas negara-negara di dunia. Presiden AS George W. Bush dalam pidatonyaa bahkan mengakui negaranya sedang terancam resesi dan harus segera dilakukan tindakan penyelamatan dengan mengucurkan dana segar ke pasar uang.

Krisis keuangan yang dialami AS merupakan krisis terburuk dalam kurun waktu bepuluh-puluh tahun sejarah perekonomian kapitalis yang dianut Negeri Paman Sam itu. Ambruknya perekonomian AS, inikah pertanda akan berakhirnya sistem kapitalis dan mampukah AS menyelamatkan ekonomi negaranya? Sejumlah pakar dan analis ekonomi menyampaikan pernyataannya.

Ekonom dan profesor di University of Texas, James Galbraith meyakini perekonomian AS akan mampu bertahan menghadapi hantaman krisis ini karena posisi mata uang dollar masih cukup kuat. Galbraith mengungkapkan keyakinannya bahwa  sistem perekonomian kapitalis akan tetap eksis. Meski demikian, ia menyesalkan para pejabat dan pelaku usaha di AS yang tidak mau belajar dari pengalaman serupa.

"Kita harus melihat dan menunggu. Tapi mereka tidak mau belajar dari kesalahan, sudah berapa kali hal seperti ini terjadi?" ujar Galbraith.

Menurut Galbraith, pemerintahan Bush lah yang telah merusak sistem ekonomi kapitalis yang dianut AS. Perilaku bank-bank di AS yang kurang berhati-hati, adalah akibat kebijakan-kebijakan Bush yang terlalu memberikan keleluasaan penuh bagi bank-bank untuk melakukan apapun tanpa pengawasan ketat pemerintah. " Ini adalah akibat fungsi sistem keuangan yang tidak dijalankan sesuai aturannya." tukas Galbraith.

Ia mengatakan, krisis ini adalah tantangan bagi pemerintahan baru AS nanti. "Pemerintahan baru harus membuat filosofi yang berbeda dan serius berkomitmen untuk membawa perubahan baru bagi rakyatnya," kata Galbraith.

Gerald Friedman, ekonom, profesor di University of Massachussets ragu mengatakan bahwa krisis ekonomi AS adalah tanda-tanda berakhirnya sistem ekonomi kapitalis. Meski demikian ia mengakui AS telah mengalami krisis finansial yang sangat serius dan jika salah menanganinya akan menyebabkan resesi yang cukup serius bahkan depresi.  " Walau mungkin tidak seburuk depresi yang terjadi di era tahun 1929-1940-an, karena otoritas berwenang di AS mau bersikap kooperatif dengan krisis ini," ujar Friedman.

"Dan yang lebih penting lagi, sebuah sistem kapitalis atau sistem sosial apapun hanya bisa dihancurkan oleh sistem yang berlawanan yang didukung oleh munculnya kelas-kelas dalam perekonomian," sambung Friedman.

Namun ia mengingatkan, krisis ini akan bertambah buruk jika pemerintah tidak mengubah arah kebijakan. Dalam hal ini, pemerintah harus berusaha menyelamatkan perusahaan-perusahaan besar untuk membantu rakyatnya, paling tidak untuk mengindari ledakan pengangguran.   

Yang paling yakin bahwa krisis di AS bukan pertanda akan berakhirnya sistem ekonomi kapitalis adalah Mark Weisbrot, salah satu direktur Center for Economic and Policy  Research (CEPR). Alasannya, Bank Federal AS masih mampu menyediakan likuiditas sehingga krisis perlahan-lahan akan berakhir.

Yang menjadi masalah, kata Weisbrot, adalah situasi ekonomi riil misalnya kondisi pasar uang yang mengalami gangguan akibat persoalan menggelembungnya pembiayaan untuk perumahan dan situasi akan terus berlanjut bahkan jika krisis yang dihadapi perbankan bisa diatasi. Sehingga masih akan terjadi kebangkrutan sejumlah institusi ekonomi yang tidak kuat secara finansial termasuk bangkrutnya sejumlah bank

"Selama 40 tahun belakangan ini, telah banyak krisis yang terjadi. Krisis kali ini adalah krisis terburuk setelah depresi yang dialami AS pada era tahun 1930-an. Tapi saya tidak mau membesar-besarkannya," ujar Weisbrot.

Weisbrot mengatakan, pemerintah AS harus mengubah kebijakannya dan harus cerdas dalam menerapkan kebijakan keuangan itu. Karena jika krisis berlanjut menjadi resesi, yang akan menjadi korban adalah masyarakat awam yang terancam kehilangan rumah-rumah mereka, kehilangan hak-hak dan tabungan mereka.

Seorang pakar di Competitive Enterprise Institute John Berlau termasuk orang yang dengan tegas mengatakan, bahwa sistem kapitalis akan tetap eksis seberat papaun krisis yang dialami AS. Alasannya, sudah sejak lama  AS tidak menerapkan sistem kapitalis murni.

"Sistem perbankan kita sudah diawasi dengan ketat, tapi kita sudah mengesampingkan aturan-aturan untuk bank-bank. Kita harus berani menghapus aturan-aturan itu sehingga bank-bank bisa berkompetisi dengan sehat," kata Berlau.

"Saya pikir, sudah saatnya kita memodernisasi regulasi dan memperbaharui aturan-aturan perbankan," sambungnya.

Pakar ekonomi lainnya James S. Henry yang juga penulis buku "The Blood Bankers" berpendapat yang terjadi bukan akhir dari sistem kapitalis tapi awal agar lebih berhati-hati dalam menerapkan regulasi di sektor keuangan  dan perumahan. Tapi, kata Henry, tidak bisa dipungkiri bahwa krisis yang menimpa AS telah mengubah sifat dasar dari sistem kapitalis. Ironisnya, hal itu terjadi karena campur tangan pemerintah yang didominasi tokoh-tokoh yang ingin menerapkan pendekatan neo-liberal dalam sistem kapitalis.

Lebih lanjut Henry mengatakan, masyarakat tidak perlu mengkhawatirkan akan terjadinya kebangkrutan ekonomi AS karena yang terjadi sekarang cuma stagnansi ekonomi. (ln/aljz)