Membaca Aliran Politik PKS Pasca Ritz Carlton

Fathuddin Ja’far, MA
Direktur Spiritual Learning Centre
Jl. Prof. Lafran Pane No. 198 Cimanggis Depok
[email protected]

Tulisan ini, sesuai judulnya, mencoba membaca apa yang sebenarnya terjadi dalam diri PKS, khususnya pasca MUNAS 2, 17–20 Juni 2010 di Ritz Carlton. Banyak analisa dan prediksi terhadap nasib dan masa depan PKS setelah para petingginya mendeklarasikan PKS sebagai partai terbuka dari sebelumnya sebagai Partai Dakwah.

Perubahan tersebut tak pelak membuat ramai dunia perpolitikan Indonesia sehingga sepekan setelah MUNAS ke-2 yang diadakan di hotel asing super mewah tersebut, PKS masih menjadi headlines media massa dan menjadi perbincangan banyak kalangan.

Semua yang dilakukan PKS dalam MUNAS ke-2 kali ini sebenarnya —sesuai penjelasan para petinggi PKS, termasuk melakukan perubahan paradigma dan AD-ART— hanyalah sebuah deklarasi dari hajat besar mereka yang sudah terpendam sejak lama; menjadikan PKS sebuah partai terbuka yang fenomenanya sudah dapat dilihat sejak MUKERNAS Bali 2008 yang lalu.

Sedangkan motivasi utamanya tak lain ialah bahwa elite PKS sangat berharap partai mereka menjadi besar, paling tidak meraih tiga besar dalam Pemilu 2014 yang akan datang, seperti yang dijelaskan para elitenya dalam berbagai kesempatan.

Jika harapan di atas tercapai, PKS kemungkinan besar akan meraih tampuk tertinggi kepemimpinan negeri yang berpenduduk 240 juta jiwa ini, yakni Presiden RI, atau paling apes Wapres RI di tahun 2014 yang akan datang.

Sebab itu, satu-satunya jalan di mata para elite PKS (grassroots-nya belum tentu demikian), ialah dengan memutuskan sebagian ikatan tali Islam dan menggantinya dengan ikatan tali Nasionalisme. Artinya, PKS memiliki dua ikatan dalam waktu yang bersamaan. Konsekuensinya ialah mereka harus mendeklarasikan PKS menjadi partai terbuka dari sebelumnya sebagai Partai Dakwah.

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah dengan menjadi partai terbuka itu PKS dijamin akan menjadi partai 3 besar yang akan menyaingi Partai Demokrat, Partai Golkar dan PDIP? Bukankah sebelumnya PKB dan PAN sudah menempuh jalan yang sama, akan tetapi tetap saja menjadi partai yang sulit berkembang apalagi membesar?

Bahkan nyatanya semakin hari semakin menciut. Bukankah kedua partai tersebut memiliki basis masyarakat –NU dan Muhammadiyah– terbesar dibanding dengan partai-partai lain dan pemimpin mereka –Gus Dur dan Amien Rais– adalah dikenal sebagai tokoh nasional. Di sinilah letak persoalannya sehingga banyak kalangan yang tidak atau belum mampu memahami jalan fikiran para elite PKS itu.

Membangun Citra Partai

Membangun citra partai. Itulah kata-kata yang sering didengungkan oleh para elite PKS, khususnya saudara saya Anis Matta. Sebab itu, Anis Matta dan kawan-kawannya perlu meluruskan beberapa pemahaman kader PKS yang selama ini dianggapnya sebagai belenggu yang menghalangi PKS menjadi partai besar alias berkuasa.

Di antara paham yang harus dibuang ialah cara pandang terhadap harta yang selama belasan tahun atau puluhan tahun diajarkan kepada kader PKS. Kesederhanaan atau zuhud pada dunia yang diajarkan belasan tahun harus dibuang jauh-jauh.

Sebab itu, life style para qiyadah (lebih tepat para elite dan tokoh) PKS harus dirubah dari sederhana menjadi perlente, berlimpah dan bergelimang harta fasilitas hidup, serta sangat borjuis. Tuidak sedikitpun menampakkan sebagai pemimpin partai dakwah. Dalam mengadakan acara-acara resmi PKS, seperti yang kita lihat pada Mukernas Bali 2008 dan MUNAS ke-2 di Ritz Carlton itu, harus dengan menampilkan kemewahan.

Di antara ungkapan yang selalu mereka gunakan untuk meyakinkan para kader partai dalam masalah ini ialah: Menyesuaikan diri. Sebab itu, dalam taujihat (pengarahan-pengarahan) DPP atau DPW dan sebagainya terhadap para kader intinya, sering menyetir cerita onta Nabi Saw adalah yang paling bagus atau mahal, kesuksesan bisnis Abdurrahman Bin Auf dan semua yang terkait dengan kekayaaan dunia lainnya.

Hal ini sangat kontra dengan saat dakwah dimulai tahun 80an dan sampai akhir 90an. Cerita yang diangkat saat itu adalah terkait keikhlasan, kesederhanaan dan keteguhan iman dan akhlak para Sahabat Rasul Saw. dan kehebatan tokoh-tokoh dakwah Ikhwanul Muslimin lainnya. Ada istilah yang dipopulerkan Ust. Hilmi di tahun 80an yakni, tidak perlu memiliki, cukup menikmati saja.

Dengan penampilan perlente dan serba mewah dalam mengadakan acara-acara resmi partai serta uang yang melimpah itu, para elite PKS meyakini akan membuat masyarakat kagum dan kesengsem pada PKS dan para elitenya. Pada akhirnya masyarakat berbondong-bondong akan memilih PKS dalam pemilu tahun 2014 yang akan datang dan Pemilukada lainnya, melebihi dukungan masyarakat terhadap MASYUMI tahun 1955 yang hanya dengan mengusung Islam.

Yang perlu dicermati ialah, dari mana harta dan semua fasilitas itu diraih, para elite PKS sama sekali tidak mempersoalkannya, tsiqoh (percaya) sajalah, yang penting kontribusi (infaknya) pada partai. Penulis tahu persis pemahaman seperti ini sesungguhnya berakar dari pemahaman ketua Majelis Syuro PKS, Ust. Hilmi Aminuddin.

Sebelumnya, Anis Matta tidak punya pemahaman seperti itu kecuali setelah kenal dan berinteraksi intensif dengan beliau sekitar akhir tahun 90an. Sampai akhir tahun 1998, saat bertemu dan berbincang-bincang dengan Anis Matta, dia selalu katakan kepada penulis bahwa bisnis dan harta itu hanya akan menimbulkan perpecahan dan menjaukan seseorang dari dakwah. Bahkan pernah beberapa kali mengakatakan pada penulis; "sudahlah akhi… tinggalkanlah bisnis itu, konsentrasi saja pada dakwah…"

Sesungguhnya pemahaman yang diyakini para elite PKS terkait dengan keduniaan itu disebabkan mereka merasa kurang pede (percaya diri) dengan nilai-nilai orisinil Islam yang mereka yakini saat memulai dakwah ini di awal tahun 80an. Atau mereka sudah jatuh cinta pada berbagai atribut keduniaan, khususnya harta, kedudukan dan ketenaran, atau disebut juga terjangkit virus al-wahn (cinta dunia dan takut mati).

Secara fakta dan tidak terbantahkan, kesejahteraan hidup dan manisnya bunga dunia dan sebagainya baru mereka rasakan setelah terjun di dunia politik praktis selama 12 tahun belakangan, khususnya sejak tahun 2004. Penulis kenal betul setiap pribadi para petinggi PKS, khususnya mereka yang terlibat sebelum 1998, yang dahulunya miskin-miskin.

Membangun Citra dari Positif ke Negatif

Sesungguhnya membangun citra partai atau diri adalah sesuatu yang tidak terlarang. Namun cara PKS yang lahir dari sebuah gerakan dakwah —yang di hadapan kadernya memakai nama gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin— membangun citra partai mengundang penulis untuk membaca aliran politik dan mengomentarinya. Khususnya setelah banyak kalangan yang sulit memahami logika dan jalan fikir para elite PKS.

Lazimnya dalam dunia politik, bahwa seorang politisi akan membangun citra diri dan partainya sesuai dengan ideologi yang dianutnya. Manuver-manuver yang dilakukan dalam membangunan citra itu biasanya dibangun dari negatif menjadi positif berdasarkan paradigma dan pemikiran komunitas atau konstituen yang dibidik, tanpa harus merubah dasar ideologinya.

Kemudian, pencitraan itu dilakukan sejak awal merancang partai yang mereka dirikan atau sejak mereka berniat memasuki dunia poltik, bukan dilakukan di tengah jalan seperti para olahragawan mengganti baju mereka di ruang ganti pakaian saat istirahat.

Kalau pertimbangannya hanya sebuah kemenangan Pemilu, sebenarnya citra yang sangat laku dijual di hampir seluruh dunia Islam, termasuk Indonesia, adalah yang berbau nasionlis-religius, karena mayoritas Muslim belum meyakini Islam sebagai ideologi negara (The Way of Life) yang mampu menjawab semua persoalan kehidupan modern. Pada waktu yang sama, mereka juga tidak mau kehilangan formalitasnya sebagai Muslim.

Kondisi psikologis masyarakat Muslim seperti itu biasanya disebut dengan sekular atau masih mendua. Kegagalan partai-partai Islam —termasuk PKS sebelum berganti baju— dalam melakukan terobosan-terobosan besar dan kreatif dalam berbagai hal kehidupan telah pula menambah keyakinan kaum Muslimin nasionalis untuk istiqomah dengan nasionalisme atau sekularisme mereka.

Di seluruh dunia Islam diperhitungkan terdapat sekitar 20% dari seluruh masyarakat Muslim memahami atau paling tidak meyakini Islam sebagai solusi. Namun mereka terpolarisasi dalam berbagai gerakan dakwah.

Kecuali di Palestina mencapai 60% dan di Aljazair jumlahnya sekitar 80%. Sebab itu, HAMAS menang dalam pemilu tahun 2006 dengan mengantongi sekitar 60% suara, demikian juga FIS menang di pemilu Aljazair tahun 1994 dengan meraih sekitar 80% suara.

Adapun di Turki Partai Keadilan dan Pembangunan yang sebelumnya bernama Partai Refah (Kesejahteraan) meraih suara sekitar 20% dalam pemilu 15 tahun belakangan, dan jauh sebelumnya MASYUMI di Indonesia menang dalam pemiliu tahun 1955 dengan meraih 20% suara.

Sebenarnya contoh terbaik bagi PKS dalam membangun citra adalah mendiang Benazir Buthoo saat memasuki kancah politik Pakistan tahun 1989, yakni setelah Presiden Ziaulhaq terbunuh dalam peristiwa peledakan pesawat yang ditumpanginya Agustus 1988. Benazir Butho membangun citra pribadi dan partainya Pakistan People Party (PPP) yang sosialis dengan tampilan nasionalis-religius, padahal semua orang Pakistan tahu dia adalah seorang nasionalis-sosialis.

Sebelum memasuki dunia politik Pakistan, Benazir Butho mengangkat Mark Siegel, mantan staf Gedung Putih yang menduduki jabatan Jewish Liaison, dan pensiun tahun 1978 sebagai konsultan politiknya.

Mark Siegel adalah seorang Yahudi yang memiliki hubungan kuat dengan Gedung Putih dan para pemilik modal serta media massa. Mark Siegel berhasil membangun citra Benazir dari negatif menjadi positif.

Di antaranya, Benazir yang sebelumnya suka berpakaian mini (baca: terbuka) harus rela tampil sepanjang hari dengan pakaian wanita ala Pakistan yang serba panjang dan dengan kerudung (selendang) yang selalu menempel di atas kepalanya sehingga terkesan Benazir adalah seorang wanita Muslimah nasionalis yang religious dan jauh dari kesan fundamentalis.

Dengan menggunakan semua media yang ada, Mark Siegel berhasil meniupkan “terompet pencitraan” bagi seorang Benazir di tengah masyarakat Pakista dan bahkan suara terompet itu nyaring kedengaran sampai keseluruh penjuru dunia. Suara nyaring itu meniupkan pesan bahwa Benazir adalah calon pemimpin wanita Muslimah pertama dari Timur (dunia Islam) yang akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di Pakistan.

Dengan performance (penampilan), bahasa dan gaya yang di-setting Mark Siegel, Benazir dikesankan sebagai seorang nasionalis-religius atau dalam terminologi Yahudi dan Amerikanya: Muslimah baik-baik dan tidak akan menjadi ancaman bagi kepentingan mereka jika ia berkuasa dan bahkan bisa dijadikan agen atau boneka di Pakistan dan kawasan sekitarnya.

AKhirnya, dalam waktu yang relatif singkat, Benazir berhasil memenangkan pemilu Pakistan 1989. Benazir pun dilantik menjadi Presiden, kendati secara umum sebelumnya masyarakat Pakistan mengetahui Benazir sebagai seorang penganut paham sosialis, perilakunya saat tinggal di luar negeri dengan pakaian mininya, hobi ke diskotik dan sebagainya seperti yang pernah dibeberkan oleh koran Jank, sebuah berita harian Pakistan.

Semua imej dan kesan negatif yang bersemayam dalam diri Benazir berpuluh-puluh tahun itu sirna hanya dengan proses pencitraan ala Mark Siegel dalam waktu sekitar setahun saja. Benazir pun diangkat jadi Presiden Pakistan dan menjadi agen atau boneka Yahudi dan Amerika. Hal itu terbukti bahwa program 100 hari dalam pemerintahannya (meminjam istilah pemerintahan SBY) adalah mengumpulkan data-data nuklir Pakistan yang dibangun Ziaulhaq puluhan tahun untuk diserahkan ke Yahudi dan Amerika.

Ajaibnya, ini pulalah dosa besar Benazir di mata militer dan masyarakat Pakistan sehingga pemerintahannya dikudeta dan kemudian dipenjara dan akhirnya mati terbunuh dalam sebuah ledakan bom beberapa tahun lalu saat berkampanye di Rawal Pindi, kota kembar Islamabad. Riwayat Benazir pun tamat untuk selamanya.

Kalau kita lihat dengan teliti, sebenarnya ada tiga faktor yang menentukan kemenangan Benazir saat itu. Pertama, pencitraan diri dari negatif menjadi positif. Kedua, peran media massa dunia, baik lokal maupun internasional —yang memang sampai saat ini dikuasai Yahudi— dalam mengekspos Benazir sebagai pemimpin besar Dunia Islam dengan format nasionalis-religius. Ketiga yang tak kalah pentingnya ialah Benazir dimodali oleh kelompok kapitalis yang dilobi oleh Mark Siegel sehingga serangan fajar (money politic) sangat efektif untuk meraup suara, khususnya di wilayah-wilayah yang tingkat pendidikan masyarakatnya masih rendah.

Semua itu tak terlepas dari kehebatan gocekan cerdas seorang Yahudi yang bernama Mark Siegel yang konon mendapatkan bayaran $ 40.000 perbulan di luar biaya-biaya lain yang harus digelontorkan Benazir Butho kepada sang konsultan kawakan itu. Dari mana Benazir mendapatkan dananya?

Di samping suaminya Ali Zardari yang jadi Presiden Pakistan Sekarang adalah seorang pengusaha, dana pihak Bandar kapitalis dunia yang siap memodali Benazir berapapun, asalkan ada kompensasinya setelah menang Pemilu dan behasil jadi Presiden.

Di Indonesia dunia para bandar kapitalis seperti itu tidaklah asing, bahkan sampai ke tingkat pemilihan kepala daerah seperti Gubernur dan Bupati.

Kalau kita cermati dengan teliti, model pencitraan seperti ini pulalah sebenarnya yang menyebabkan SBY menang dalam pemilu 2004 dan 2009. Bahkan kemenangan Anas Urbaningrum —mantan petinggi HMI yang nasionalis-religius— sebagai Ketua Partai Demokrat beberapa waktu lalu dapat pula dibaca sebagai kelanjutan pencitraan SBY dalam membangun Partai Demokrat yang masih tetap menjaga citra nasionalis-religiusnya.

Akan lain halnya jika Marzuki Ali atau Andi Malarangeng yang terpilih, maka citra religius partai Demokrat bisa hilang di mata masyarakat. Untuk menang Pemiliu di Indonesia, khususnya di tengah terpecahnya suara kaum Muslimin yang meyakini Islam sebagai The Way of Life ke dalam beberapa partai, maka nasionalis saja tidak cukup seperti yang ditampilkan PDIP. Diperlukan kata religius agar bisa memikat hati mayoritas Muslim yang masih sekuler dan fanatik pada kelompok masing-masing.

Aliran Politik

Untuk memahami manuver politik elite PKS dan juga partai-partai politik lainnya haruslah dilihat aliran politik apa yang mereka anut. Kalau tidak, kita akan kesulitan membacanya dengan pas dan baik. PKS adalah partai politik Islam-Nasionalis.

Paling tidak, itulah coba dikesankan oleh para elitenya dalam perhelatan akbar di hotel Ritz Carlton sepekan yang lalu. Sebab itu, tidak perlu heboh jika para elitenya mengumumkan PKS adalah partai terbuka bagi siapa saja dan apa saja agamanya.

Pengakuan mereka terhadap pancasila adalah final dan sebagainya juga tak perlu diperdebatkan. Memang demikianlah konsekuensi menjadi partai nasionalis Indonesia.

Demikian pula gaya hidup para elitenya yang berlimpah harta dan mengadakan berbagai kegiatan yang menghabiskan dana puluhan milyar rupiah di tengah mayoritas kader dan simpatisannya hidup miskin, kalau tidak dikatakan di bawah garis kemiskinan tidak perlu diperdebatkan, karena demikianlah gaya partai-partai politik nasionalis yang haus kekuasaan dan harta.

Kebingungan kebanyakan kader saat ber-istinjak (istilah fiqih dalam bersuci dari hadas dan najis) di hotel mewah Ritz Carlton sehingga memerlukan ember tidak perlu dicermati, karena kalau kader mau maju harus membiasakan diri dengan keduniaan dan kemewahan kendati syarat-syarat fiqh Islamnya tidak terpenuhi. Gak apalah kali ini pake ember untuk bersuci. Toh di masa yang akan datang mereka sudah mengerti bagaimana bersuci ala barat Ritz Carlton dan sejenisnya.

Begitu juga bagaimana disorot kamera tv yang melansirkan diri mereka ke seluruh penjuru tanah air sperti saat Rahma Sarita dari TV One mewawancara beberapa elite PKS.

Wajah-wajah lugu dan sumringah muncul dan berdesak-desakkan sampai menempel dengan Rahmah Sarita. Persoalan ikhtilath —cambur baur dengan lawan jenis yang tidak mahram— tidak perlu dikritik. Kan sudah partai terbuka dan nasionalis?

Bagaimana cara menjalankan kaderisasi partai sehingga mesin partainya efektif dengan dua dunia yang berbeda karakternya (Muslim dengan konsep dakwah dan non Muslim konsep partai) kita juga tidak perlu khawatir. Toh ada sapu jagatnya dengan prinsip semua agama sama seperti yang diajarkan oleh para tokoh sekular dan nasionalis negeri ini. Pokoknya semua yang haram dalam pandangan Partai Dakwah akan menjadi halal dalam pandangan Partai Nasionalis.

Seharusnya para elite PKS men-setting partai mereka menjadi partai nasionalis tulen dan sejati dan jangan setengah-setengah jika benar-benar ingin memenangkan pemilu 2014 sebagaimana yang dilakukan Benazir Butho dengan PPP-nya tahun 1989 dan SBY dengan PD-nya pada tahun 2004 dan 2009.

Keduanya meraih tampuk kepemimpinan tertinggi Negara dalam waktu yang relatif singkat, yakni antara satu sampai tiga tahun saja. Bandingkan dengan para elite PKS yang sudah berpolitik praktis sejak 12 tahun lalu, mereka masih sibuk tukar pakaian (fashion), obral statement, menempel dan menjilat penguasa sehinga ketua Majlis Syuranya berani mengatakan dalam MUNAS ke-2: “Bapak Presiden SBY, bagi kami kebersamaan dalam koalisi ini bukan sekedar agenda program poltik kami. Tetapi itu merupakan aqidah kami, iman kami.”

Sebenarnya PKS sudah memilki pilar-pilar untuk memenangkan pemilu 2014, seperti partai sudah menjadi nasionalis, Pancasila sudah diakui final, UUD 45 sudah diakui sebagai landasan bernegara, cara-cara mengembangkan partai, memperluas jaringan anggota dan gaya hidup para elitenya sudah meniru cara-cara partai nasionalis lainnya.

Namun demikian ada yang kurang dari PKS sebagai sebuah partai nasionalis dan terbuka, yakni pemimpin atau tokoh yang bisa dipoles (baca: direkayasa) menjadi pemimpin nasional versi nasionalisme sejati seperti yang dimiliki oleh PPP di Pakistan pada 1989 dan PD pada 2004 dan 2009. Jika PPP punya Benazir Butho dan PD punya SBY, maka PKS punya siapa?

Menurut hemat penulis hanya Ketua Majelis Syuro PKS yang pantas menjadi tokoh itu. Penilaian ini berdasarkan pengenalan penulis terhadap diri beliau sejak 1987. Beliaulah yang punya bakat dan talenta untuk menjdi pemimpin versi PKS yang nasionalis dan terbuka itu. Selama beliau masih hidup, tidak akan ada yang mampu menyainginya, apalagi menggantikannya.

Beliau tidak akan berkembang lebih besar lagi dari yang ada sekarang dengan paradigma PKS sebagai Partai Dakwah. Akan tetapi mungkin saja berhasil membawa PKS menjadi partai besar dan menjadi Presiden RI dalam wadah PKS sebagai partai nasionalis. Namun, kata kuncinya terletak pada konsultan yang dipakai. Kalau konsultannya kelas lokal, mungkin akan masih sulit.

Tapi jika konsultan politiknya dari mancanegara, katakanlah sekelas Mark Siegel seperti yang dilakukan Benazir Butho sangat mungkin sekali. Soal background masa lalu tidak jadi masalah. Semuanya bisa diatur oleh konsultan tersebut, termasuk soal kucuran dana pemilu dan sebagainya.

Fatamorgana

Melihat PKS sebagai Partai Dakwah amatlah musykil. Sebab itu, jika ada yang berharap PKS akan memperjuangkan nilai-nilai Islam secara totalitas sampai ke akarnya sehingga negeri ini menjadi Baldatun Thayyibatun Warobbun Ghafur (bersih, peduli dan profesional —meminjam istilah PKS sebelumnya— dan Allah pun ridha) adalah merupakan fatamorgana, seperti yang mereka cantumkan di dalam platform kebijakan pembangunan dengan judul memperjuangkan masyarat madani.

Buku setebal 643 halaman itu dalam membahas Dialektika Islam dan Negara pada halaman 72 tercantum sebagai berikut:

“Dalam konteks ini maka pilihannya bukan negara Islam yang menerapkan syariah, atau negara sekuler yang menolak syariah. Tapi yang kita inginkan adalah negara Indonesia yang merealisasikan ajaran agama yang menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan universal melalui perjuangan konstitusional dan demokrasi agar dapat hadir masyarakat madani yang dicitakan itu.”

Karena Partai Dakwah itu memiliki prinsip-prinsip sendiri, seperti wala’ kepada kepada Allah, Rasul-Nya, kaum Mukminin dan baro’ kepada setiap sistem tuhan selain Allah, ideologi dan sistem selain Islam.

Strategi dan sarananya tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Islam, program kerja harus jelas dan memberikan manfaat bagi masyarakat dan negeri secara keseluruhan, penegakkan keadilan versi Allah dan Rasul-Nya.

Terkait mewujudkan kesejahteraan rakyat haruslah berdasarkan cara-cara yang diridhai Allah dan Rasul-Nya. Partai Dakwah tugas utamanya adalah menyeru dan mengajak masyarakat dan pemerintah agar selamat di dunia dan akhirat.

Keselamatan dunia dan akhirat itu hanya dengan sistem Allah. Semua itu dilakukan hanya karena Allah, bukan harta benda dan kekuasaan. Kapan akan meraih kekuasaan atau pemerintahan bukanlah kewajiban Partai Dakwah yang menentukannya, karena yang demikian hanya Allah saja yang tahu dan kapan waktu yang Dia takdirkan. Yang penting, Partai Dakwah bekerja keras sesuai cara, jalan, strategi yang Allah dan Rasul-Nya titahkan.

Buah dan balasan perjuangan tersebut, kalaupun tidak dapat di dunia, maka di akhirat pasti seperti yang Allah janjikan. Sebab itu, kalau kita membaca PKS dengan kacamata Partai Dakwah, maka kita akan kebingungan sendiri.

Kalau kita bingung, jangan salahkan mereka, salahkanlah diri sendiri. Oleh karena itu, bacalah PKS dengan menggunakan kacamata nasionalis (sekuler), dijamin anda tidak akan bingung lagi.

Jadi prinsip ‘al hizbu huwal jama’ah, dan al jama’ah hiyal hizbu (Jama’ah adalah partai, dan partai adalah jama’ah), di mana PKS dahulu itu merupakan wujud dari Jama’ah Ikhwan, dan prinsiip itu  sekarang menjadi sejarah masa lalu.  Allahu A’lam.