Menjelang Perang Saudara di Iraq?

Militer AS di Irak

Presiden AS Barack Obama dalam pidato kenegaraannya, menyampaikan tentang keberhasilan misi AS di Iraq, dan sebentar lagi mereka (tentara AS), segera akan meninggalkan Iraq dengan kebanggaan, karena kemenangan. Sebanyak 100 tentara AS akan segera pulang, dan meninggalkan Iraq, ucap Obama.

Masa depan Iraq, menurut Obama akan menjadi negara yang stabil dan demokratis. Melalui pemilu yang akan segera digelar bulan depan, yang akan memastikan sebuah proses demokrasi, dan mengakhiri konflik, yang sudah berkepanjangan.

Sebuah era baru dalam kehidupan rakyat Iraq, sepeninggal Saddam Husien. Inilah jasa AS, yang berhasil menggulingkan Saddam, dan harus dibayar dengan mahal, bukan hanya hancurnya sistem ekonomi, sosial, politik, dan keamanan di Iraq, tetapi juga mewariskan sebuah keadaan yang akan terus-menerus mengarah kepada kekacauan.

Iraq yang baru di bawah dominasi kelompok Syiah, yang dipimpin Perdana Menteri Nouri al-Maliki, tak mampu mengelola negara secara efektif. Tapi, ini semua warisan yang akan diwariskan oleh AS, dan dengan sengaja menciptakan ‘sympton’, yang akan menggerogoti kehidupan bangsa Iraq, sampai kepada titik ‘zero’, dan tidak mungkin dapat bangkit lagi.

Jika di zaman Saddam yang sangat keras dan menggunakan tangan besi, jauh masih lebih baik dibandingkan dengan kondisi sekarang. Kekacauan yang tak terkendali, dan konflik yang mengarah pada perang sipil (saudara) antara kelompok Syiah dengan Sunni, sudah diambang mata. Saddam mengendalikan negara dengan tangan besi, dan dapat menciptakan situasi yang stabil, dan tetap mengakomodasi kelompok Syiah di dalam pemerintahannya. Seperti salah satu deputinya, Izzad Ibrahimi, seorang tokoh Syiah, yang menjadi kepercayaannya.

Masuknya AS ke dalam wilayah Iraq dengan sangat mudah, sampai masuk ke jantung Irq, Bagdad, tak lain, karena pasukan Garda Republik, yang merupakan pasukan andalan Saddam, justru dari unsur-unsur Syiah, mereka yang melakukan desersi (pembelotan), saat pasukan darat AS masuk ke Iraq, dan menyerbu jantung kota Bagdad, dan ini mirip seperti ketika pasukan Tartar yang menyerbu Bagdad, dan pengikut seorang menteri dari Syiah membelot dan bergabung dengan pasukan Tartar, sampai Bagdad terbakar habis oleh Tartar.

Saddam yang menganut faham sunni, dan memegang kekuasaan mempraktekan pemerintahan yang diktator, dan dalam batas-batas tertentu mengakomodasi kelompok Syiah dalam pemerintahan. Dan, selama pemerintahan Saddam Husien kondisi politik stabil, tanpa ada gejolak politik yang berarti. Tindakan Saddam yang keras terhadap kelompok-kelompok oposisi, justru membawa kondisi Iraq yang stabil.

Sekarang bersamaan dengan rencana penarikan 100 ribu pasukan AS dari Iraq, kondisi semakin tidak stabil, dipicu konflik antara kelompok Syiah dengan Sunni. Semua itu, tujuannya melemahkan Irak, dan negeri ‘1001’ tidak dapat bangkit lagi menjadi sebuah kekuatan politik secara regional, yang dapat menjadi ancaman Israel.

Perang sipil (saudara) ini momentumnya dapat dengan meledakkan melalui pemilu yang akan datang. Kasusnya, pemerintah telah mencoret 511 daftar calon, yang sebagian besar adalah calon-calon (kandidat) dari kelompok Sunni. Karena calon-calon dari kelompok Sunni ini dituduh sebagai pendukung Al-Qaidah di Iraq. Abu Omar al-Bagdadi, yang menjadi pemimpin Partai Islam Iraq, yang menjadi payung politik kelompok Sunni, menolak pemilu mendatang, karena dinilai tidak adil.

Pemerintah Nouri al-Maliki menuduh kelompok Sunni bersama dengan para mantan pemimpin Partai Baath, ingin mengacaukan situasi politik di Iraq. Al-Maliki menuduh kelompok Sunni dan mantan pejabat-pejabat partai Baath, ingin melakukan kekacauan keamanan, dan menjatuhkan pemerintahannya.

Akhir-akhir ini memang terus meningkat aksi bom bunuh diri, yang sudah menewaskan ratusan orang. Seorang pengamat politik dan keamanan James Danly, yang ahli masalah Iraq dari Institute for Studies of War yang berbasis di Washington, dan menjadi ‘think-thank’ dari Deparlu AS, menegaskan akan terjadi konflik sektarian di masa mendatang, yang akan mengancam keutuhan Iraq. Kondisinya sangatlah mengkawatirkan bagi masa depan Iraq.

Menurut DJ.Elliot, justru pemerintaha Nouri al-Maliki, kekacauan di Iraq, dipicu oleh tindakan dari pemerintah, yang sekarang menciptakan pasukan kontra terorisme, yang menjadi alat keamanan Perdana Menteri Nouri al-Maliki, yang diarahkan untuk menetralisir unsur-unsur Baath, Sunni, dan Al-Qaidah, yang sudah dianggap membahayakan. Maliki juga melibatkan intelijen Iran, yang sekarang banyak mengambil peran dalam upaya menciptakan keamanan di Iraq.

Aksi-aksi pemboman yang ditunjukkan terhadap komunitas Syiah dalam berbagai momentum itu, sebenarnya lebih merupakan aksi balas dendam, di mana aparat keamanan Iraq, yang didominasi unsur-unsur Syiah telah terlibat penculikan dan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh Sunni.

Inilah yang menyebabkan skenario di Iraq menjadi lebih buruk lagi. Ditambah larangan 511 calon anggota parlemen Sunni, yang dicoret, semakin mendorong situasi di Iraq konflik yang lebih terbuka. Akankah Iraq usai agresi militer AS itu, terjatuh ke dalam perang saudara? (m)