Mimpi Buruk Amerika di Afghanistan (3) Komandan Satu Pintu

Tidak diragukan lagi, Abdul Ghani Baradar adalah seorang jenderal. Dia tanggung dan keras seperti Mullah Omar. Namun begitu, Baradar dikaruniai dia berhati lembut. “Jika Anda mau bernegosiasi tentang perdamaian, Baradar-lah orangnya,” Ujar Hamdullah, seorang intelijen senior Taliban dari pronvinsi Ghozni. “Dia sama sekali bukan seorang ekstremist.”

Namun, saat ini tampaknya Baradar sudah tak lagi percaya kepada pasukan asing. Ia didukung oleh orang-orang Popalzai—suku Pashtun paling besar di Afghanistan dan palinng berpengaruh. “Saya pikir, sekarang sudah tak ada ada lagi manfaatnya buat Islam untuk membicarakan damai,” ujar Baradar.

Kedekatan Baradar dengan Mullah Omar bukannya tanpa friksi sama sekali. Dadullah Akhund tidak menyukai cara-cara Baradar yang selalu berhati-hati.

Sebaliknya, Baradar pun sering tak setuju dengan cara Akhund yang kasar dan kadang brutal. Namun ketika Akhund terbunuh pada Mei 2007, Baradar termasuk orang pertama yang mengurusnya. Ada empat jenderal lain yang dipercaya oleh Mullah Omar. Dua jenderal telah ditangkap oleh Pakistan dan dua lagi terbunuh oleh AS.

Rivalitas antara Baradar dan Dadullah bermula setelah invasi AS, ketika Taliban yang porak-poranda menyembunyikan diri. Dadullah memerintah Baradar untuk mengumpulkan kembali pasukannya. Baradar menolak, karena saat itu ia merasa belum saatnya Taliban segera kembali, karena jelas sangat terburu-buru.

Ia menganjurkan Dadullah untuk tinggal di madrasah Karachi untuk beberapa bulan. Dadullah menolak dan bersikeras akan tetap membentuk pasukan dan mulai melakukan perlawanan kepada tentara asing di Kandahar dan Helmand.

Tahun 2006, Dadullah telah menjadi komandan yang ditakuti. Beberapa pejuang Taliban yang tidak sabaran, bergabung dengan Dadullah. Dadullah juga memberikan konferensi perss di markas Waziristan dan terlihat jelas egonya—sesuatu yang seharusnya dihindari oleh seorang pejuang.

Baradar mengingatkan Dadullah untuk berhato-hati, tapi lagi-lagi Dadulllah menolaknya. “Biarkan aku melakukan apapun yang aku mau. Aku akan mempersenjatai seluruh Afghanistan.” Karena informasi konferensi pers itu pula Daddullah mudah ditemukan dan pada akhirnya bisa ditebak, ia segera saja terbunuh.

Adik kandung Dadullah menuduh Baradar yang menjerumuskan Dadullah. Karena gelap mata, ia dikeluarkan sebagai pejuang Taliban. Sebulan kemudian, ia sudah menjadi tahanan Pakistan.

Saat ini Baradar berdiri sendiri, menghadapi badai besar Afghanistan yang akan segera jatuh dalam beberapa hari ke depan, seiring dengan dilaksanakannya pemilu Afghanistan 2009. Ia tetap tenang namun menghanyutkan. Ia menjadi komandan sendirian di tepian koordinasi Taliban saat ini.

Baradar tahu, api di negaranya belum akan berakhir ketika pemilu usai digelar, namun akan ada banyak api dan badai yang lain. Maka dari itu, ia seolah-olah terus menjadi seperti angin dan mitos belaka. Tak ada yang bisa mendeteksinya, karena maut senantiasa memburu. Baradar menjadi impian buruk AS dan pasukan Nato yang terus menghantui setiap saat. HABIS (sa/newsweek)