Nasionalisme Kristen Dibalik Kontroversi "Cordoba House"

Kontroversi seputar rencana pembangunan Pusat Kebudayaan Islam dan masjid di dekat lokasi Ground Zero masih mendominasi perbincangan di tengah masyarakat dan media AS, termasuk para politisi di negeri itu. Perdebatan terjadi antara yang setuju dengan yang tidak setuju. Kelompok yang setuju beralasan bahwa sebagai bagian dari warga AS, komunitas Muslim punya hak yang sama terkait dengan kepentingan agamanya dan hak itu dilindungi konstitusi AS.

Sedangkan yang tidak setuju beralasan pembangunan masjid dan Islamic Center di dekat lokasi Ground Zero, yang rencananya bakal diberi nama Cordoba House itu akan melukai para korban serangan 11 September 2001. Maklumlah, sebagian besar masyarakat AS mempercayai bahwa serangan 11 September yang melululantakkan menara kembar World Trade Center adalah kelompok teroris muslim. Sebagian lagi yang tidak setuju berpandangan bahwa masjid dan Islamic center itu akan menjadi lambang dominansi Islam di AS.

Apapun alasan yang dikemukakan oleh kelompok yang tidak setuju, sebenarnya sulit diterima karena faktanya, ada sebuah masjid yang sudah berdiri selama bertahun-tahun dan lokasinya juga berada di Manhattan, tak jauh dari Ground Zero. Lantas mengapa mayoritas masyarakat AS jadi begitu reaktif ketika mendengar akan dibangun sebuah masjid dan Islamic Center di kawasan yang sama? Survei yang dilakukan CNN belum lama ini menunjukkan bahwa 7 dari 10 warga AS menentang proyek pembangunan "Cordoba House."

Lupakan bahwa masyarakat AS merupakan masyarakat yang demokratis, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia jika persoalannya menyangkut sentimen agama. Karena suka tidak suka, ada sikap nasionalisme yang dipengaruhi oleh keyakinan yang dianut oleh mayoritas masyarakat AS dan masih mengakar kuat di sebagian besar mereka. Pendeta Howard Bess, pensiunan pemimpin komunitas Gereja Baptis di AS, menyebutnya sebagai "Nasionalisme Kristen."

Ia berpendapat, masalah mendasar pertikaian "Cordoba House" sebenarnya bukan pada Ground Zeronya yang menjadi kenangan buruk rakyat AS., tapi kemunculan kelompok-kelompok yang menganut ideologi nasionalisme Kristen. Para penganut ideologi ini memiliki visi bahwa seluruh dunia harus tunduk dan mengakui bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan kelompok ini menganggap kaum Muslimin sebagai musuh yang harus ditaklukkan.

Dipekirakan 20 persen dari total penduduk AS–sebuah jumlah yang cukup siginifikan–meyakini bahwa negara AS telah dipilih Tuhan untuk menjadi negara yang istimewa dibawah kepemimpinan orang-orang Kristen, untuk itu AS harus memimpin dunia di bahwa panji Yesus Kristus.

Meski demikian, kata Pendeta Bess, sejarah Kristen mencatat adanya keberagaman di kalangan penganut Kristen. "Ada umat Kristiani yang cinta damai dan mempraktekkan ajaran Yesus untuk mencintai uma manusia, bahkan musuh mereka. Tapi ada juga kelompok militan Kristen yang menggunakan pedang dan provokasi," tulis Bess dalam analisanya yang dimuat situs Middle East Online.

Tidak bisa dipungkiri, Islam dan Kristen kerap terlibat pertikaian bahkan peperangan yang panjang. Perang Salib merupakan contoh perang yang brutal yang dilakukan tentara-tentara Kristen saat menginvasi negeri-negeri Muslim untuk menguasai Tanah Suci Yerusalem, Palestina.

Di masa kini, ketegangan antara Muslim dan Kristiani lebih sering dipicu oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia. Misalnya, kasus penerbitan kartun yang melecehkan Rasulullah Saw. atau invasi dan penjajahan Barat ke negeri-negi Muslim. "Rasa saling percaya sudah berada di level yang sangat rendah. Emosi makin tinggi. Sekelompok umat Kristiani menganggap komunitas Muslim telah bertindak agresif hanya karena mereka ingin membangun masjid dan Pusat Kebudayaan Islam di dekat Ground Zero. Meski komunitas Muslim yang akan membangun "Cordoba House" adalah kalangan Muslim moderat di AS yang juga mengutuk serangan 11 September 2001.

"Lebih dari itu, kita semua harus diingatkan kembali bahwa mereka yang tewas dalam serangan itu mewakili spektrum yang luas komunitas agama yang ada di AS; yang tewas adalah penganut Katolik, Protestan, Yahudi dan orang Islam juga ada yang jadi korban," kata Pendeta Bess.

"Termasuk mereka yang ateis, agnostik, dan mungkin penganut Hindu, Budha dan Taois. Orang yang tahu sekali soal kota New York pasti sepenuhnya memahami indahnya keberagaman masyarakat yang hidup dan bekerja di kota ini," sambung Bess.

Ia menambahkan, komunitas Muslim yang berada dibalik proyek "Cordoba House" sudah menempuh prosedur yang ditentukan oleh otoritas Kota New York, bahkan Walikota New York yang keturunan Yahudi, Michael Bloomberg mendukung rencana pembangunan masjid dan Pusat Kebudayaan Islam itu. Begitu pula Presiden Barack Obama yang menekan pentingnya kebebasan beragama di AS

Tapi aksi-aksi protes menentang komunitas Muslim makin marak . Mereka mengedepankan isu-isu sensitif yang memojokkan kaum Muslimin di AS tanpa mau melihat realitas jutaan Muslim AS yang begitu loyal pada negara AS, dan menghormati nilai-nilai masyarakat AS.

Jika komunitas Muslim dihina sebagai imigran yang datang ke AS untuk mencari kebebasan dan penghidupan, sejatinya orang-orang Kristen dan Yahudi Amerika juga imigran di AS. "Saya pribadi memandang tetangga baru saya–kebetulan seorang muslim- sebagai manusia yang harus dicintai sesuai ajaran Yesus.

"Masjid Ground Zero seharusnya menjadi kesempatan untuk membangun sebuah lingkungan yang baru dan beragam serta damai bagi Manhattan, bagi AS dan bagi dunia," tandas Bees. (ln/mol)