Oh Indonesiaku, Kemana Harga Dirimu

benderaPagi ini, di sepanjang jalan Djuanda. Sebuah berita dari Radio RRI menembus ruang dengar saya, begitu miris, TKI kita (lagi-lagi) bermasalah, dalam artian muncul lagi kasus pembunuhan hingga pemerkosaan yang dilakukan majikannya atau bahkan TKI sendiri yang melakukan atas kelakuan majikannya. Mungkin kita sudah dibuat tuli dan tidak peduli dengan kasus kasus ini, predikat predikat negatif selalu melekat dengan para TKI kita yang kebanyakan menjadi pekerja atau pembantu. Lantas, terlalu miris hampir tiap tahun lonjakan para TKI sangatlah tinggi, tentu juga dibarengi lonjakan berita miris juga melanda para TKI kita.

Sempat bertanya-tanya, kok ngga ada sih, tenaga kerja negara tetangga, sebut saja Malay yang sama layaknya tenaga kerja bumi pertiwi ini. Ternyata oh ternyata, tenaga kerja malay itu juga ada, bahkan ngga cuma malay, sampe eropa pun, tenaga kerja banyak yang di negeri kita, tapi kebanyakan bekerja sebagai tenaga kerja ahli, yang bergerak dalam pertambangan, perbankan juga lainnya. Kalau dianalogikan mungkin bisa seperti ini, tenaga kerja negeri orang dateng ke negeri kita sebagai majikan, sedangkan tenaga kerja negeri kita dateng ke negeri orang sebagai kacung atau bawahan. Ironis sekali fakta ini.

Belum lagi berbicara tentang membludaknya TKI ilegal kita di negeri orang, kalau diambil contoh Malay saja, dari sekitar 400 ribu tenaga kerja ilegal dari berbagai negara (yang berhasil didata) hampir 300 ribunya itu Tenaga kerja Indonesia. Parahnya juga, dekat dekat ini pemerintah malay akan adakan operasi besar besaran terhadap para kacung ilegal ini. Tentu ini adalah bom yang siap meledak untuk KBRI disana, karena harus siap menerima dan meng”eksekusi” TKI ilegal kita. Padahal, kalau di kupas lebih dalam, ternyata Malay ini melakukan standar ganda terhadap masalah ilegalnya tenaga kerja, di satu sisi mereka punya kebijakan deportasi, tp di lain sisi mereka lebih memilih Tenaga kerja yang ilegal, karena murah dan tak perlu bayar pajak. Ironis.

Kenapa sih kondisi bisa seperti ini? Kalau dianalisa dulu waktu era Soeharto, ternyata Pak Sudomo, menteri kemenakertrans era itu yang mengeluarkan kebijakan ini, yang isi nya bisa disimpulkan bertujuan untuk “membuka keran keran tenaga kerja Indonesia utk bekerja di luar, kerja apapun” begitulah bahasa kasarnya, lansung lah semenjak itu membludak TKI yg berkeinginan utk menggantungkan nasibnya menjadi kacung negeri orang. Padahal sebelum kebijakan itu ada, tenaga kerja kita yang keluar itu adalah tenaga kerja ahli, banyak perawat hingga tenaga medis lainnya yang keluar. Ironis.

Kondisi ini tentunya harus disikapi serius oleh baginda SBY, tentunya tak bisa hanya disikapi dengan “Saya turut prihatin” atau “Saya menghimbau”. Kalau saya lihat, pemerintah tidak punya political will untuk kasus kasus TKI ini, banyak kasus kasus TKI yang muncul tenggelam begitu saja dimakan oleh waktu dan media media pesanan. Harusnya sektor ini juga harus dipikirkan oleh pemerintahan, karena harga diri hingga martabat bangsa juga diliat lewat tenaga kerja kita. Harga diri bangsa ini seakan dilecehkan seiring dengan maraknya pelecehan TKI. Dulu, 68 tahun yang lalu, para founding father negeri ini menaruh burung garuda dalam sangkar perkasa penuh harga diri. Sebut saja dialog Soekarno dengan JF. Kennedy sesaat setelah kemerdekaan, yang waktu JFK menawarkan bantuan hingga, yang bs diibaratkan seperti ini “Indonesia itu negara baru merdeka, ngga punya apa-apa, semua habis dijajah, jadi terima sajalah ini” lalu disangkal Soekarno dengan penuh optimisme “Negeri ini memang belum punya apa apa, tapi negeri ini punya Harga Diri” . Lantas kemanakah bahasa-bahasa optimisme ini, kemanakah harga diri bangsa ini setelah susah payah merdeka.

Tentu kasus demi kasus ini harusnya sebagai tamparan keras bagi pemerintah, sudah saatnya bergerak. Mungkin, Indonesia harus me”moratorium” dulu keberangkatan TKI tahun ini, coba saja tahun ini jangan mengirim atau tunda pengiriman dulu. Lalu dievaluasi, setelah itu coba tahun depannya menggunakan evaluasi tahun sebelumnya, mulai selektif untuk memberangkatkan TKI, lalu hingga berangsur angsur, tekan pembludakan TKI,hingga kalau bisa jangan sampai lagi ada TKI yang ingin jadi kacung di negeri orang. Tentu sebuah kebijakan tak bs parsial, harus komprehensif dalam artian wadahi juga dengan lapangan perkejaan dalam negeri, perkuat bagian imigrasi, juga yang lebih penting perkuat kemauan pemerintahan untuk mau mengembalikan harga diri bangsa ini, jangan dollar saja yang menjejali kepalanya.

68 Tahun bangsa ini merdeka! Yuk kembalikan harga diri bangsa! Merdeka!!

Saiful Islam Robbani

Fak. Farmasi – Universitas Padjadjaran