Pelajaran Besar Dari Tragedi Kirgizstan


Bola salju kerusuhan dan kekerasan yang memuncak pada Rabu malam di mana Presiden Kurmanbek Bakiyev melarikan diri adalah mimpi terburuk setiap penguasa yang lalim di Asia Tengah dan sekitarnya.

Seorang penguasa yang berpikir bahwa oposisi yang sudah dikalahkan dengan cara-cara represif, tiba-tiba mendapatkan rakyat yang marah, dan mengepung kementerian, memukuli menteri dalam negeri, serta akhirnya memaksa sang presiden kabur dengan memakai jet pribadinya.

Ini adalah bayangan suram tahun 2005 dari Revolusi Tulip yang membuat Bakiyev berkuasa, ketika pasukan koalisi anti pemerintah menggulingkan mantan Presiden Askar Akayev, dengan waktu yang sangat singkat, dan sama seperti sekarang ini.

Revolusi Tulip terjadi hampir bersamaan dengan Revolusi Mawar tahun 2003 di Georgia dan Revolusi Orange di Ukraina tahun 2004. Pemerintah Komunis itu memang tidak pro-Barat, namun para petinggi negara dengan cepat pula membenci rezim Akayev.

Keluarga Bakiyev "mengelola negara seperti sindikat kriminal," begitu kata Profesor Alexander Cooley dari Columbia University. Perilaku sangat buruk, Bakiyev dan sekutu-sekutunya adalah menghancurkan para aktivis oposisi. Tapi keruntuhan pemerintahnya yang cepat bukan hanya mimpi buruk bagi para penguasa yang gugup dan tertekan di wilayah ini.

Kyrgyzstan memberitahu kita bahwa para penguasa bangsa-bangsa kaya minyak di Asia Tengah yang pada kenyataannya jauh lebih stabil daripada mereka, hanyalah sebuah kepura-puraan belaka.

Sampai Revolusi Tulip, empat dari lima bekas Republik Soviet yang membentuk wilayah ini masih dijalankan oleh Komunis yang kental, dan mereka menguasai 35 persen pasokan gas alam di dunia.

Dua yang masih tetap berkuasa, yaitu Nursultan Nazarbayev berasal dari Kazakhstan dan Islam Karimov dari Uzbekistan. Kedua pemimpin pemerntahan ini telah dikritik, karena pelanggaran hak asasi manusia. Kemungkinannya bahwa mereka akan bertindak lebih keras dalam menanggapi peristiwa di ibukota Kyrgyzstan, Bishkek.

Pengusiran Bakiyev mungkin membuat Barat berpikir lagi tentang dukungan mereka untuk rezim yang korup dan tidak populer di wilayah ini. "Selama beberapa tahun terakhir, Barat dan Uni Eropa telah mengemukakan sebuah kerjasama stabilitas dan pemerintahan," kata Cooley.

Tapi kejadian hari Rabu di Bishkek menunjukkan "itu adalah sebuah kerjasama yang palsu." Dengan kata lain, ketika penindasan dan korupsi melemahkan—bukannya memperkuat—rezim yang bersangkutan, dan ketika mereka runtuh, orang yang mendukung pun kemudian membencinya.

Dalam hal ini, sepertinya Russia akan menjadi pihak yang paling tertohok. Selama ini bisa dikatakan bahwa Vladimir Putin telah menggelontorkan dana yang tidak sedikit, tetapi kemudian, Bakiyevs mendua; terhadap AS dan Negara-negara Barat, walau pada akhirnya Bakiyevs melakukan hal yang sama kepada AS dan Barat.

Kisruh besar di Kirgizstan disebabkan protes dari rakyat yang merasa terbebani oleh kenaikan tarif listrik, yang diberlakukan oleh perusahaan utilitas nasional dan dikontrol oleh keluarga presiden.

Tapi pesan mereka bersifat universal. Pada bulan Maret, Bakiyev mengatakan kepada sebuah kongres nasional bahwa pemilihan umum dan hak-hak individu akan "tidak lagi sesuai" untuk Kirgizstan dan sebaliknya mengusulkan "demokrasi konsultatif" palsu sebagai gantinya.

Rakyat biasa Kyrgyz jelas merasa bahwa demokrasi kurang lebih berarti korupsi dan mereka akhirnya keluar, turun ke jalan untuk berdemo.

Dan di sebuah negeri yang lain di Asia Tenggara, seorang pejabatnya mengatakan bahwa “tidak ada presiden yang akan didemo mundur oleh rakyatnya hanya karena menaikkan harga BBM.”

Mungkin betul. Mungkin berkaca pada rakyat Kirgizstan, ataukah negara di Asia Tenggara itu rakyatnya diam-diam juga menikmati arus besar korupsi dengan berbagai macam caranya, seperti bantuan langsung dari pemerintah. (sa/newsweek)