Reformasi Mesir; Bermula Di Suez?

Pengangguran yang tinggi, harga-harga yang melambung dan korupsi merambah dimana-mana, Suez, kota pelabuhan di Mesir, telah menyerupai Sidi Bouzid di Tunisia, di mana protes bermula dan menyebabkan penggulingan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali.

"Pemerintah kami adalah kediktatoran. Sebuah kediktatoran total," kata Mohamed Fahim, seorang pekerja pabrik kaca yang berumur 29 tahun, kepada Reuters.

Suez telah menjadi tempat aksi protes besar-besaran yang menuntut penggulingan Presiden Hosni Mubarak, yang memerintah Mesir sejak tahun 1981.

Setidaknya tiga orang tewas dalam protes itu, memicu kemarahan terhadap pemerintah.

"Ini hak kami untuk memilih pemerintahan kami sendiri," kata Fahim sambil berdiri di dekat kerangka mobil yang telah hangus terbakar dalam aksi protes anti-pemerintah.

"Kami telah hidup 29 tahun, seluruh hidup saya, tanpa pernah bisa memilih seorang presiden.

"Saya sudah dewasa, dan Mubarak tetaplah Mubarak," katanya.

Fahim dengan cepat dikelilingi oleh sekelompok sekitar 20 orang, yang meneriakkan tuntutan mereka.

"Kami tidak bisa memiliki sekerat roti!" teriak seorang wanita, yang menyebut dirinya sebagai seorang Kristen.

Ratusan orang berkumpul di luar sebuah kamar mayat di Suez pada hari Rabu pekan lalu menuntut balas atas tiga orang yang tewas dalam unjuk rasa anti-pemerintah.

Polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet dan mengejar para demonstran ke jalan-jalan.

Setelah malam tiba, pengunjuk rasa membakar gedung pemerintah di Suez dan juga mencoba membakar kantor Partai Demokratik Nasional (NDP), partai yang menaungi Mubarak.

Sidi Bouzid Mesir

Rakyat mengeluhkan kenaikan harga, pengangguran dan korupsi para pejabat.

"Para pemuda tidak memiliki pekerjaan!" teriak seorang pria 64 tahun.

"Perusahaan selalu tidak memiliki lowongan pekerjaan untuk kami!" teriak seorang gadis 18 tahun yang mengenakan jilbab.

Para penduduk Suez mengatakan mereka belajar dari para demonstran Tunisia tak peduli tekanan dan ancaman dari pemerintah Mesir yang begitu ketat dan tak pandang bulu serta aturan.

Seperti di Tunisia, potret besar Mubarak menghiasi jalanan di seluruh Mesir dengan wajah berseri-seri dan seolah-olah penuh kebajikan.

"Masalah rakyat yang mendasar di sini adalah masalah sosial," kata Munir Salaama Ismail, seorang pengangguran berusia 50 tahun.

Sekadar informasi, Terusan Suez menjadi pusat korupsi pemerintah Mesir. Ini dikarenakan tempat ini merupakan sumber utama pendapatan pemerintah.

Orang-orang di Suez sangat menyadari milyaran dolar yang dihasilkan daerah mereka untuk negaranya setiap tahun, namun rakyat tak pernah mendapatkan kehidupan yang layak. Bahkan sekolah-sekolah dibiarkan teronggok tak terurus, apalagi lapangan pekerjaan.

Suez saat ini menjadi pusat tiga kepentingan; Mesir, Israel dan Amerika. Negara terakhir yang disebut dipandang sebagai pendukung penting bagi pemerintah Mubarak.

"Di Suez yang kami miliki, hari ini, perusahaan bensin …, kami memiliki pabrik-pabrik, kami memiliki kebiasaan dan Terusan Suez," kata Kamal Hassan, seorang pengacara 40 tahun, juga kepada Reuters. "Namun meskipun semua itu, pengangguran yang sangat besar ada di Suez."

Di sebuah restoran di pusat kota Suez, seorang pria 55 tahun mengatakan ia lahir di Suez pada tahun 1956, ketika Mesir berperang dengan Prancis, Inggris dan Israel.

"Amerika," katanya sambil tersenyum. "Amerika dan Israel adalah pakar dalam kehancuran."

Baginya, titik balik Mesir ada di Suez. "Rakyat," katanya, "sedang tersedak."

Jadi? Mubarak hanya tinggal tunggu waktu? (sa/onislam)