Skenario Di Balik Holocaust Gazza Jilid II

Ada sebuah sinyalemen yang cukup merisaukan. Ini berdasarkan fakta —sekalipun— negara-negara Arab sendiri akan bersikeras mengeluarkan petisi berisi penolakan. Bahwa agresi militer Israel jilid II ke Gazza pada 27 Desember kemarin yang menelan 271 jiwa dan melukai 750 korban; yang menjadi edisi lanjutan jilid I agresi militer Israel ke Gazza pada 28 Februari 2008 silam yang menewaskan 132 rakyat Palestina, 26 diantaranya adalah balita seakan direstui oleh Negara-negara Arab. Haim Ramon, Wakil Menteri Pertahanan Israel menyebut agresi jilid I itu sebagai "Holocaust".

Sinyalemen yang menguatkan keterlibatan bangsa Arab dalam tragedi itu adalah: pertama, karena sampai sekarang semuanya secara serempak membicarakan program follow up setelah Pemerintahan HAMAS di Gazza berakhir. Kedua, pada Holocaust Jilid I Februari silam, seluruh negara-negara Arab memilih membisu tanpa memberikan respon apa pun. Seolah menyalakan lampu hijau bagi Israel untuk tidak merisaukan sikap Bangsa Arab, bila kemudian Israel merencanakan menggelar Holocoust jilid II.

Israel dan —sebagian— bangsa Arab menilai agresi militer Sabtu (27/12) lalu yang meluluhlantakkan markas kepolisian Palestina di Gazza, penghancuran kantor pemerintahan HAMAS, dan peleburan pelabuhan laut Gazza bukanlah perkara arbitrer (sewenang-wenang). Dibandingkan dengan target kolektif yang memuat kepentingan besar yaitu menghentikan penguasaan HAMAS di Gazza. Infasi arbitrer itu tak seberapa dibandingkan rencana pembentukan pemerintahan baru di Gazza yang pro-Israel. Tzipi Livni, Menteri Luar Negeri Israel yang saat itu sedang berada di kota Kairo, tepat setelah dalam 24 jam 150 rakyat Palestina tewas, mengeluarkan pernyataan menggelitik bahwa Holocoust jilid II itu terjadi hanya "just coincidence!" Hanya kebetulan. Tanpa skenario.

Barangkali termasuk kebetulan statemen Presiden Palestina, Mahmoud Abbas yang menganggap perlawanan serta upaya dunia luar untuk menghentikan blokade Gazza melalui intifadhah kapal sebagai tindakan sia-sia. Dan, juga penyampaian kabar gembira oleh Dewan Kementerian Ramallah bahwa pemerintahan HAMAS di Gazza sebentar lagi akan berakhir. Tidak berlangsung lama setelah statemen tersebut keluar, puluhan F16 milik Israel mengudara di langit Gazza dan menghancurkan pelabuhan laut Gazza. Penghancuran itu sebagai langkah preventif menggagalkan rencana intifadhah kapal besar-besaran untuk menghentikan blokade Israel.

Situasi Politik Menjelang Hollocoust Gazza

Beberapa hari sebelum Israel menggelar drama Holocoust, dua surat kabar terbitan Israel: Maariv dan Yediot Aharonot melansir berita yang menyebutkan bahwa Israel telah memulai melakukan pendekatan diplomasi dan kampanye media ke dunia Arab. Israel melayangkan proposal legitimasi kolektif sebagai pembenaran rencana membunuh para petinggi dan kader HAMAS di Gazza.

Olekes Fishman, pengamat militer di koran Yediot Aharonot menjelaskan, Israel berupaya maksimal meyakinkan Dunia Arab, khususnya Mesir, terkait rencana menggelar operasi militer ke HAMAS. Bahkan sebagai upaya yang bukan basa-basi, Israel telah mengutus Amos Gilad, Direktur Bidang Politik dan Keamanan Kementerian Pertahanan Israel ke Mesir guna memperoleh legalitas Mesir dalam rangka membersihkan petinggi dan anggota HAMAS.

Fishman dan juga Ben Caspit, pengamat politik di Harian Maariv melansir laporan dari Kementerian Pertahanan Israel bahwa Direktur Intelejen Mesir, Menteri Omar Sulaiman, menyetujui rencana infasi ke Gazza dan Israel berhak menempuh langkah itu. Muh. Jamal Arafah, analis di Islamonline.net menyayangkan pihak Mesir sama sekali tidak melakukan konfirmasi terhadap klaim tersebut. Padahal pada momen yang lain dan tidak terlalu urgen kementerian Luar Negeri Mesir begitu responsif menanggapi berbagai tuduhan. Pembisuan Mesir menimbulkan tanda tanya besar?

Kedua pengamat itu memproyeksikan Israel tidak lama lagi akan segera menggelar agresi militer ke Gazza, memprioritaskan penghancuran basis militer dan kantor sipil pemerintahan HAMAS. Langkah berani yang sudah dipelajari secara matang.

Sebelumnya juga Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, dalam sebuah acara dialog dengan Channel Televisi Al-Arabea secara transparan melontarkan ancaman dimana Israel akan melancarkan infasi militer ke Gazza dan membersihkan faksi HAMAS. Olmert berupaya menciptakan perspektif negatif tentang HAMAS kepada warga Palestina. Ditindaklanjuti dengan melemparkan selebaran melalui udara ke rakyat Gazza, berisi ultimatum agar mereka segera meninggalkan wilayah itu. Bahkan Israel secara terang-terangan mempublikasikan rapat Dewan Menteri yang khusus membicarakan strategi Holocoust jilid II.

Perihal rencana penyerangan Israel yang telah menghegemoni headline pemberitaan media massa Israel, tidak menciptakan kemelut di negara-negara Arab, minimal semacam kecaman resmi terhadap Tel Aviv. Di detik-detik menjelang infasi, mayoritas media massa ibukota di Arab justeru sibuk membicarakan urgensi menghentikan Pemerintahan HAMAS. Dan, memposisikan HAMAS sebagai biang keladi krisis kemanusiaan yang melanda Gazza. Dunia Arab melupakan akar persoalan Palestina yaitu imperalisme Israel dan mendiskreditkan sekelompok manusia yang tidak sudi mengakui pendudukan Zionis-Israel. Faksi yang berjuang demi merebut kembali tanah air mereka yang dirampas oleh bangsa Yahudi.

Sederet Pertanyaan Penting

Mencermati tragedi Holocoust di Gazza, setidaknya akan melahirkan beragam pertanyaan menarik dan membutuhkan analisa yang lebih mendalam, hingga akhirnya dengan menjawab rangkaian soalan ini kita dapat mengetahui alur strategi yang diterapkan oleh Israel sekaligus gambaran masa depan Gazza secara spesifik dan Palestina secara umum.

Pertama: mungkinkah melalui mekanisme militaire approach yang dilancarkan oleh Israel ke jantung perlawanan Palestina di Gazza akan mampu memutihkan kekuatan HAMAS?

Kedua: benarkah petinggi Arab telah menyusun rancangan dasar pembentukan Palestina Bersatu dan mempersilahkan Israel untuk mengeksekusi HAMAS sebagai langkah penyelesaian konflik antara HAMAS dan FATAH? Pada saat yang sama FATAH dipersiapkan menggantikan pemerintahan HAMAS di Gazza, lalu skenario itu diklaim sebagai langkah moderat petinggi Arab?

Ketiga: sudahkah Zionis-Israel beralibi bahwa penyerangannya ke Gazza berdasarkan lampu hijau yang dinyalakan petinggi Arab? Atau, serangan itu dilakukan karena telah ada sebentuk jaminan dari petinggi Arab yang mereka peroleh dalam rangkaian konsolidasi-diplomasi ke sejumlah negara Arab, khususnya Kairo? Lalu kenapa Tzipi Livni yang saat itu berada bersama Presiden Mesir, Husni Mubarak, tanpa merasa canggung menyatakan perang ke Gazza?

Keempat: baiklah kita mengakui kelambanan Arab merespon tragedi Gazza atau mungkin Arab lebih memilih berdiam diri. Lalu kelirukah bila karena hal itu kemudian tercipta tudingan adanya kesepahaman Arab-Zionis untuk menyusun strategi berikutnya? Atau, barangkali Israel menggelar serangan itu berdasarkan inisiatif sendiri sehingga setelah Gazza dikuasai, Israel menyerahkan Gazza kepada Mesir, atau kepada Mahmoud Abbas misalnya? Bagaimana jika Abbas kembali memerintah Gazza? Apakah Abbas berani menolak? Atau, Abbas akan langsung menerima paket cuma-cuma itu karena memang itulah obsesinya merebut Gazza dari HAMAS. Baginya itu lebih penting ketimbang merebut kembali Palestina dari cengkeraman Israel! []

———-

Profil Penulis

Taryudi, Kelahiran Purbalingga, 09 Maret 1985. Telah menyelesaikan pendidikan strata satu di Universitas Al-Azhar Fak. Ushuluddin Jur. Tafsir dan Ilmu Alquran pada Agustus 2008. Saat ini tengah merampungkan pendidikan magisternya pada civitas yang sama. Alamat District Nasr City, Cairo. Warga Kisaran, Kab. Asahan Sumatera Utara Medan. Selain kuliah, juga aktif di KAMPUS KEHIDUPAN di lembaga Kajian Sosial-Politik dan Dunia Islam Studi Informasi Alam Islami (SINAI) Mesir. No. kontak : +20163932877/ +2024718593 Email : [email protected]