“Sengsara Membawa Nikmat": Ketika Arifinto (Sudah) Tidak Lagi Membuat Hukum Buatan Manusia

"Dengan seluruh kesadaran diri saya tanpa paksaan dari siapa pun dan pihak mana pun demi kehormatan diri dan partai saya, setelah pernyataan ini saya akan segera mengajukan kepada partai saya untuk mundur dari jabatan sebagai anggota DPR."

Kata-kata itulah yang menjadi saksi detik-detik Arifinto mundur menjadi Anggota DPR RI. Ulahnya membuka link video Porno saat sidang paripurna memang membawa petaka. Tapi sapa nyana, jika Pak Arifinto mau merenung, bisa jadi inilah jalan terbaik dari Allah. Ketika tanganNya menyelamatkannya dari dosa yang lebih besar lagi.

Melihat adegan porno memang haram dan sangat tercela. Allah begitu membenci tindakan zina penglihatan ketika kita merajut status seorang mukmin. Namun dosa membuat dan melanggengkan hukum buatan manusia beserta perangkat sistemnya yang menjadi jalan menandingi superioritas Allah, bisa jatuh lebih hina daripada sekedar zina mata.

“Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah ta’aala, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah ta’aala. BagiNyalah segala penentuan(hukum), dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS Al-Qashash ayat 88)

Kalau begini, berarti ini namanya "Sengsara membawa nikmat".

Arfinto dan Terbebasnya Dari Keharusan Membuat Hukum Buatan Manusia

Sudah ribuan tahun manusia tertipu oleh sebuah parlementer untuk mengangkat hukum buatan manusia sebagai pedoman hidup masyarakat muslim. Ia dijadikan dewa, kuasa, bahkan romantika. Manusia-manusia muslim itu amat yakin bahwa hukum yang dciptakannya adalah jalan untuk membumikan ajaran Allahuta’ala. Atas nama perjuangan “syiar Islam”, “dakwah rabbaniyah”, dan “jalan menumpas masyarakat jahiiyah”.

Namun sejarah membutikan perpaduan mengkoneksikan hukum dunia dengan hukum Ilahiyah di atas rel penghambaan sesama manusia (baca: demokrasi), hanya menjadi jalan menjauhkan manusia dari Allahuta’ala. Alih-alih membuka jalan menyulap manusia menuju satu akidah, ia malah tergelincir dari mempertuhankan Tuhan yang Satu menjadi mempertuhankan jabatan, kuasa, bahkan suara. Padahal Rasulullah SAW tidak pernah menegakkan Islam dengan kotak suara.

Dalam pada itu, kita menyaksikan bahwa mereka tergelincir dalam ruangan terbuka bernama kompromi-kompromi politik. Mereka yang dulu gigih menjadikan Islam sebagai nafasnya, kini akibat fitnah-fitnah itu mereka berubah dengan cara mengendurkan Ideologi Islam dengan alasan yang aneh pula: agar Islam bisa diterima masyarakat. Sungguh logika inilah yang tidak kita fahami.

Logika yang entah dari ayat apa Allahuta’ala menjelaskan maknanya. Padahal kita telah tahu, Allah, Tuhan Yang Maha Satu bagi kita semua dalam surat Asy Syura ayat 21, telah menyinggung umatNya akan hal itu.

“Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?”

Oleh karena itu, perkara memproduksi hukum buatan manusia bukanlah perkara sepele. Ia bukan masalah kecil hingga kita bisa dengan mudah menepisnya. Karena perkara halal dan haqq bisa jadi bathil dalam system penghambaan sesama hamba. Sebaliknya urusan yang jelas-jelas haram seperti riba bisa diperbolehkan sesuai kehendak masyarakat yang mereka namakan “cita-cita demokrasi”.

Belum lagi ketika umat berupaya menegakkan kesucian Allah dengan menumpas ajaran sesat seperti Ahmadiyah, demokrasi mencapnya sebagai pelaku kekerasan beragama atau lebih parahnya lagi: mengambil peran Tuhan. Padahal seperti sabda Rasulullah SAW urusan halal dan haram sudah jelas dan tidak bisa lagi dicampurkan.

“Perkara yang halal itu sudah jelas dan perkara yang haram juga sudah jelas.” (HR Bukhari)

Dan kita, umat muslim, justru kini berlomba-lomba ingin terjebak disana dan melanggengkannya. Bukankah telah sering, kita umat muslim, mendengar ucapan-ucapan dari para anggota dewan yang berkata “Ini semua demi stabilitas demokrasi”. La Haula Wala Quwwata Illa Billah. Tidakkah mereka malu ketika nyawa dan perangkat hukum yang mereka agung-agungkan itu dengan mudah mampu dihancurkan oleh Allah seperti termaktub dalam surat Al Qashash ayat 88.

Tidakkah mereka, -anggota-anggota parlemen itu yang selalu menagung-agungkan barang bukti,- belum cukup bukti ketika Allah menurunkan tiga ayatnya berturut-turut di surat Al Maidah ayat 44 sampai 47 sebagai jaminan atas kebathilan memproduksi hukum selainNya yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip syariat Islam.

"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir."(QS Al-Maidah ayat 44)

Dan permasalahan ini akan lebih konkret ketika kita menguji klaim-klaim umat yang terkena virus syubhat yakni sebuah tanya tentang negara yang berhasil menjadikan hukum-hukum kreasi hamba manusia itu sebagai jalan keadilan Islam? Tentang kisah Negara yang sukses menjamin masyarakatnya sejahtera secara tauhid dan kehidupan ketika “mencari-cari” legitimasi Qur’ani atas kiprah jahiliyah mereka?

Tipikal masyarakat muslim itulah yang menurut Sayyid Quthb dalam Ma’alim Fiththariq, tidak akan bisa terwujud sebelum manusia-manusia muslim masih menjadikan standar kebenaran menurut aturan Islam semata. Janji manis dari Isme-isme di luar Islam adalah jebakan halus agar umat Nabi Muhammad SAW ini berpaling dari hukum suci umat muslim yakni Al Qur’an dan Sunnah Nabi kepada tipu daya dunia bernama demokrasi.

Dalam pada hal itulah, sebuah entitas masyarakat belum bisa dikatakan masyarakat muslim kendati segala logika perkataannya “seakan-akan” mencerminkan kelompok muslim. Dengarlah petikan pena Sayyid Quthb pada Bab “Laa Ilaaha Illallaah Sebuah Pedoman Hidup” berikut ini:

“Masyarakat (muslim) ini tidak akan berdiri, sampai terbentuk satu kelompok manusia yang mengikrarkan bahwa penghambaan mereka hanyalah demi Allah dan mereka tidak menyembah apapun kepada selain Allah, baik itu dalam keyakinan dan pandangan hidup, perasaan maupun dalam sistem syariat.

Kemudian kelompok ini mulai menata kehidupan mereka di atas landasan penghambaan yang ikhlas ini. Membersihkan jiwa mereka dari segala keyakinan, ritual, dan sistem persyariatan yang bukan berasal dari Allah. Pada saat itulah, dan hanya pada saat itulah, kelompok ini mulai menjadi kelompik muslim. Kemudian secara perlahan, kelompok kecil ini berkembang menjadi sebuah masyarakar yang muslim.”

Akhirnya dengan keputusan Pak Arifinto (semoga diberi ampunan oleh Allah) mengundurkan diri menjadi anggota DPR, inilah jalan terbaik bagi seorang mukmin yang tertasbih dalam hatinya untuk berdakwah di jalan Allah. Dengan terbebasnya ia dari keharusan menandingi superioritas Allah dengan memproduksi hukum-hukum jahiliyah, Pak Arifinto sudah setahap lebih maju untuk bersama-sama berikhtiar membentuk kelompok mukmin sejati. Sayyid Quthb melanjutkan,

“Satu kelompok belum dinamakan sebagai kelompok muslim sebelum mengikrarkan penghambaan yang ikhlas kepada Allah dan sebelum mengatur kehidupan mereka dengan landasan di atas. Sebab, prinsip pertama yang menjadi pilar bagi Islam dan juga bagi masyarakat muslim, yaitu persaksian (syahadat) bahwasanya, ‘tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah’ belum secara riil ditegaskan.

Dengan demikian, sebelum merencanakan pendirian sistem sosial Islam dan masyarakat Islam yang didasarkan pada sistem ini, fokus utamanya harus diarahkan pada pemberantasan di dalam jiwa manusia segala penghambaan kepada selain Allah”

Inilah ciri mukmin sejati. Inilah karakteristik yang diwarisi generasi Rabbani yang menjadikan pengabdiannya kepada Allah secara totalitas dengan berhenti membuat hukum buatan manusia dan beralih ke hukum Allahuta’ala.

Oleh karena itu, jika Pak Arifinto menyadari kekhilafannya yang lebih besar dari kekhilafan menonton video itu, yakni membuat traktat dan konstitusi dunia, bukan tidak mungkin Allah akan menghapus segala dosa, sebagaimana firman Allahuta’ala,

”sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang yang ingat.” (QS Huud:114)

Tidak Lagi Menjadi Anggota DPR dan Kembali ke Jalan Allah

Mungkin dengan sederetan kasus belakangan ini dimana citra DPR semakin terpuruk. Ini adalah sebuah teguran dari Allah kepada seluruh umat untuk kembali ke JalanNya. Bumi sudah mendekati batas waktunya. Matahari pun bukan tidak mustahil tinggal menunggu waktu akan terbit dari barat dan tenggelam di timur. Di tengah senda gurau dunia ini, masihkah kita berlomba-lomba merasa beruntung karena memiliki status anggota dewan yang terhormat?

Semoga tidak hanya Pak Arifinto yang berhenti menjadi anggota DPR, namun juga diikuti yang lainnya. Kalau begitu nanti siapa yang memimpin umat ini? Disinilah tauhid kita akan diuji. Tidakkah kita yakin dengan mengikuti pentunjuk Allah kehidupan kita akan berbuah kemaslahatan?

“Mereka tidak lain hanya mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari tuhan mereka. Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehiduoan akhirat dan kehiduopn dunia” (An Najm 23-25)

“Tidakkah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (Al Israa: 85)

Allahua’lam. (Pz)

“Sengsara Membawa Nikmat": Ketika Arifinto (Sudah) Tidak Lagi Membuat Hukum Buatan Manusia

"Dengan seluruh kesadaran diri saya tanpa paksaan dari siapa pun dan pihak mana pun demi kehormatan diri dan partai saya, setelah pernyataan ini saya akan segera mengajukan kepada partai saya untuk mundur dari jabatan sebagai anggota DPR."

Kata-kata itulah yang menjadi saksi detik-detik Arifinto mundur menjadi Anggota DPR RI. Ulahnya membuka link video Porno saat sidang paripurna memang membawa petaka. Tapi sapa nyana, jika Pak Arifinto mau merenung, bisa jadi inilah jalan terbaik dari Allah. Ketika tanganNya menyelamatkannya dari dosa yang lebih besar lagi.

Melihat adegan porno memang haram dan sangat tercela. Allah begitu membenci tindakan zina penglihatan ketika kita merajut status seorang mukmin. Namun dosa membuat dan melanggengkan hukum buatan manusia beserta perangkat sistemnya yang menjadi jalan menandingi superioritas Allah, bisa jatuh lebih hina daripada sekedar zina mata.

“Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah ta’aala, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah ta’aala. BagiNyalah segala penentuan(hukum), dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS Al-Qashash ayat 88)

Kalau begini, berarti ini namanya "Sengsara membawa nikmat".

Arfinto dan Terbebasnya Dari Keharusan Membuat Hukum Buatan Manusia

Sudah ribuan tahun manusia tertipu oleh sebuah parlementer untuk mengangkat hukum buatan manusia sebagai pedoman hidup masyarakat muslim. Ia dijadikan dewa, kuasa, bahkan romantika. Manusia-manusia muslim itu amat yakin bahwa hukum yang dciptakannya adalah jalan untuk membumikan ajaran Allahuta’ala. Atas nama perjuangan “syiar Islam”, “dakwah rabbaniyah”, dan “jalan menumpas masyarakat jahiiyah”.

Namun sejarah membutikan perpaduan mengkoneksikan hukum dunia dengan hukum Ilahiyah di atas rel penghambaan sesama manusia (baca: demokrasi), hanya menjadi jalan menjauhkan manusia dari Allahuta’ala. Alih-alih membuka jalan menyulap manusia menuju satu akidah, ia malah tergelincir dari mempertuhankan Tuhan yang Satu menjadi mempertuhankan jabatan, kuasa, bahkan suara. Padahal Rasulullah SAW tidak pernah menegakkan Islam dengan kotak suara.

Dalam pada itu, kita menyaksikan bahwa mereka tergelincir dalam ruangan terbuka bernama kompromi-kompromi politik. Mereka yang dulu gigih menjadikan Islam sebagai nafasnya, kini akibat fitnah-fitnah itu mereka berubah dengan cara mengendurkan Ideologi Islam dengan alasan yang aneh pula: agar Islam bisa diterima masyarakat. Sungguh logika inilah yang tidak kita fahami.

Logika yang entah dari ayat apa Allahuta’ala menjelaskan maknanya. Padahal kita telah tahu, Allah, Tuhan Yang Maha Satu bagi kita semua dalam surat Asy Syura ayat 21, telah menyinggung umatNya akan hal itu.

“Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?”

Oleh karena itu, perkara memproduksi hukum buatan manusia bukanlah perkara sepele. Ia bukan masalah kecil hingga kita bisa dengan mudah menepisnya. Karena perkara halal dan haqq bisa jadi bathil dalam system penghambaan sesama hamba. Sebaliknya urusan yang jelas-jelas haram seperti riba bisa diperbolehkan sesuai kehendak masyarakat yang mereka namakan “cita-cita demokrasi”.

Belum lagi ketika umat berupaya menegakkan kesucian Allah dengan menumpas ajaran sesat seperti Ahmadiyah, demokrasi mencapnya sebagai pelaku kekerasan beragama atau lebih parahnya lagi: mengambil peran Tuhan. Padahal seperti sabda Rasulullah SAW urusan halal dan haram sudah jelas dan tidak bisa lagi dicampurkan.

“Perkara yang halal itu sudah jelas dan perkara yang haram juga sudah jelas.” (HR Bukhari)

Dan kita, umat muslim, justru kini berlomba-lomba ingin terjebak disana dan melanggengkannya. Bukankah telah sering, kita umat muslim, mendengar ucapan-ucapan dari para anggota dewan yang berkata “Ini semua demi stabilitas demokrasi”. La Haula Wala Quwwata Illa Billah. Tidakkah mereka malu ketika nyawa dan perangkat hukum yang mereka agung-agungkan itu dengan mudah mampu dihancurkan oleh Allah seperti termaktub dalam surat Al Qashash ayat 88.

Tidakkah mereka, -anggota-anggota parlemen itu yang selalu menagung-agungkan barang bukti,- belum cukup bukti ketika Allah menurunkan tiga ayatnya berturut-turut di surat Al Maidah ayat 44 sampai 47 sebagai jaminan atas kebathilan memproduksi hukum selainNya yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip syariat Islam.

"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir."(QS Al-Maidah ayat 44)

Dan permasalahan ini akan lebih konkret ketika kita menguji klaim-klaim umat yang terkena virus syubhat yakni sebuah tanya tentang negara yang berhasil menjadikan hukum-hukum kreasi hamba manusia itu sebagai jalan keadilan Islam? Tentang kisah Negara yang sukses menjamin masyarakatnya sejahtera secara tauhid dan kehidupan ketika “mencari-cari” legitimasi Qur’ani atas kiprah jahiliyah mereka?

Tipikal masyarakat muslim itulah yang menurut Sayyid Quthb dalam Ma’alim Fiththariq, tidak akan bisa terwujud sebelum manusia-manusia muslim masih menjadikan standar kebenaran menurut aturan Islam semata. Janji manis dari Isme-isme di luar Islam adalah jebakan halus agar umat Nabi Muhammad SAW ini berpaling dari hukum suci umat muslim yakni Al Qur’an dan Sunnah Nabi kepada tipu daya dunia bernama demokrasi.

Dalam pada hal itulah, sebuah entitas masyarakat belum bisa dikatakan masyarakat muslim kendati segala logika perkataannya “seakan-akan” mencerminkan kelompok muslim. Dengarlah petikan pena Sayyid Quthb pada Bab “Laa Ilaaha Illallaah Sebuah Pedoman Hidup” berikut ini:

“Masyarakat (muslim) ini tidak akan berdiri, sampai terbentuk satu kelompok manusia yang mengikrarkan bahwa penghambaan mereka hanyalah demi Allah dan mereka tidak menyembah apapun kepada selain Allah, baik itu dalam keyakinan dan pandangan hidup, perasaan maupun dalam sistem syariat.

Kemudian kelompok ini mulai menata kehidupan mereka di atas landasan penghambaan yang ikhlas ini. Membersihkan jiwa mereka dari segala keyakinan, ritual, dan sistem persyariatan yang bukan berasal dari Allah. Pada saat itulah, dan hanya pada saat itulah, kelompok ini mulai menjadi kelompik muslim. Kemudian secara perlahan, kelompok kecil ini berkembang menjadi sebuah masyarakar yang muslim.”

Akhirnya dengan keputusan Pak Arifinto (semoga diberi ampunan oleh Allah) mengundurkan diri menjadi anggota DPR, inilah jalan terbaik bagi seorang mukmin yang tertasbih dalam hatinya untuk berdakwah di jalan Allah. Dengan terbebasnya ia dari keharusan menandingi superioritas Allah dengan memproduksi hukum-hukum jahiliyah, Pak Arifinto sudah setahap lebih maju untuk bersama-sama berikhtiar membentuk kelompok mukmin sejati. Sayyid Quthb melanjutkan,

“Satu kelompok belum dinamakan sebagai kelompok muslim sebelum mengikrarkan penghambaan yang ikhlas kepada Allah dan sebelum mengatur kehidupan mereka dengan landasan di atas. Sebab, prinsip pertama yang menjadi pilar bagi Islam dan juga bagi masyarakat muslim, yaitu persaksian (syahadat) bahwasanya, ‘tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah’ belum secara riil ditegaskan.

Dengan demikian, sebelum merencanakan pendirian sistem sosial Islam dan masyarakat Islam yang didasarkan pada sistem ini, fokus utamanya harus diarahkan pada pemberantasan di dalam jiwa manusia segala penghambaan kepada selain Allah”

Inilah ciri mukmin sejati. Inilah karakteristik yang diwarisi generasi Rabbani yang menjadikan pengabdiannya kepada Allah secara totalitas dengan berhenti membuat hukum buatan manusia dan beralih ke hukum Allahuta’ala.

Oleh karena itu, jika Pak Arifinto menyadari kekhilafannya yang lebih besar dari kekhilafan menonton video itu, yakni membuat traktat dan konstitusi dunia, bukan tidak mungkin Allah akan menghapus segala dosa, sebagaimana firman Allahuta’ala,

”sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang yang ingat.” (QS Huud:114)

Tidak Lagi Menjadi Anggota DPR dan Kembali ke Jalan Allah

Mungkin dengan sederetan kasus belakangan ini dimana citra DPR semakin terpuruk. Ini adalah sebuah teguran dari Allah kepada seluruh umat untuk kembali ke JalanNya. Bumi sudah mendekati batas waktunya. Matahari pun bukan tidak mustahil tinggal menunggu waktu akan terbit dari barat dan tenggelam di timur. Di tengah senda gurau dunia ini, masihkah kita berlomba-lomba merasa beruntung karena memiliki status anggota dewan yang terhormat?

Semoga tidak hanya Pak Arifinto yang berhenti menjadi anggota DPR, namun juga diikuti yang lainnya. Kalau begitu nanti siapa yang memimpin umat ini? Disinilah tauhid kita akan diuji. Tidakkah kita yakin dengan mengikuti pentunjuk Allah kehidupan kita akan berbuah kemaslahatan?

“Mereka tidak lain hanya mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari tuhan mereka. Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehiduoan akhirat dan kehiduopn dunia” (An Najm 23-25)

“Tidakkah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (Al Israa: 85)

Allahua’lam. (Pz)