Tsunami Politik Mesir

Oleh Fahmi Salim, MA, Direktur Lembaga Kajian Islam dan Arab (LEMKIA) Universitas Islam As-Syafiiyah.

Setelah rakyat Tunisia sukses menumbangkan rezim Presiden Zine Alabidin ben Ali pada 15 Januari 2011 melalui Revolusi Melati, tampaknya dunia politik Timur Tengah tak henti digoyang oleh gempa politik yang luar biasa. Para pengamat internasional memprediksikan gempa politik Tunisia akan melahirkan tsunami politik yang akan menyapu bersih rezim-rezim renta yang korup dan berkolaborasi dengan AS-Israel.

Teranyar, pada 25 Januari lalu meletus protes anti Rezim Hosni Mubarak di Kairo yang menjalar ke seluruh pelosok negeri hingga hari ini. Mesir dengan perkapita kurang dari 1500 USD dilanda kesulitan ekonomi yang parah, dengan tingkat angka kemiskinan mencapai 40%. Selain itu juga menghadapi problem serius seputar demokratisasi dan agenda reformasi politik seperti penentangan wacana Tawrits (pewarisan tahta kekuasaan) dari Presiden Mubarak kepada putranya Jamal sejak tahun 2004 saat isu itu berhembus kencang.

Gerakan Kawula Muda
Meski banyak kalangan mengakui bahwa aksi protes dan demonstrasi besar menentang
Mubarak ini dipicu oleh kesuksesan aksi protes di Tunisia, namun sebenarnya gerakan penentangan terhadap Mubarak telah dimulai jauh sebelum Tunisia bergolak. Kebencian terhadap Mubarak dan rezimnya mulai mencuat pada tahun 2000, saat ia mencalonkan diri kembali menjadi presiden dengan sistem referendum.

Sukses dalam pilpres ala referendum yang tidak demokratis itu, eskalasi kebencian terhadapnya mencuat sepanjang tahun 2004 seiring dengan lahirnya Gerakan ‘Kefaya’ (Cukup Sudah Jadi Presiden) yang dimotori oleh aktifis HAM lintas ideologi politik seperti George Ishak.

Demo-demo lokal Gerakan ‘Kefaya’ yang dijaga ketat kepolisian di sekitar gedung Asosiasi Wartawan (Niqabat Shahafiyyin) dan Asosiasi Advokat (Niqabat Muhamin) di pusat kota Kairo hampir terjadi tiap hari seperti yang penulis saksikan sendiri saat menimba ilmu di Mesir.

Memasuki tahun 2005 sebagai tahun pemilu parlemen dan pilpres Mesir, situasi politik tambah memanas. Saat itu pemerintah menolak usulan amandemen terhadap UU Pemilu terutama pada pasal 76 dan 77. Kedua pasal itu oleh kaum oposisi yang terdiri dari Nasseris, Buruh, Al-Wafd, Al-Ghad, dan Ikhwanul Muslimin dinilai sangat tidak adil dan munculnya multi kandidat presiden menjadi sesuatu yang mustahil. Hal itu diperparah dengan tiadanya pengawasan independen pemilu baik dari dalam maupun luar negeri.

Sehingga Mubarak dan partainya menang mutlak dalam pemilu parlemen dan pilpres, meski calon-calon independen dari Ikhwanul Muslimin sanggup meraup 80 kursi parlemen atau setara 20% kursi parlemen. Sejak saat itu kehidupan politik di Mesir terus mengalami guncangan, namun rezim masih dapat meredamnya.

Jika aksi-aksi protes dan mogok sepanjang tahun 2004-2005 didominasi oleh kalangan yang mapan dan well educated seperti kalangan aktifis HAM, advokat, asosiasi wartawan dan insinyur. Demonstrasi anti rezim Mubarak saat ini betul-betul digerakkan oleh para pemuda dan pelajar yang selama ini jarang tersentuh isu-isu politik yang dilakukan oleh kaum professional Mesir.

Tahun 2008 merupakan suatu titik balik krusial yang diperankan kawula muda terpelajar di Mesir. Diilhami dari gerakan dukungan kepada aksi mogok massal para buruh di kawasan industri Mehallat Kubra di pinggiran Delta Nil, pada musim semi tahun 2008, para pemuda Mesir membuat account facebook yang disebut dengan ‘Gerakan Pemuda 6 April’. Gerakan ini berhasil menjaring 100 ribu facebooker kawula muda yang menyuarakan perubahan politik dan reformasi total.

Ikon tokoh muda gerakan ini adalah Asmaa Mahfouz, Ahmad Maher, Israa Abdel Fattah, Muhammad Adel Umar Aly. Rata-rata usia mereka dibawah 30 tahun. Israa bahkan sempat menghadiri Bali Democracy Forum pada tahun 2009 untuk berbagi pengalaman upaya demokratisasi di negaranya. Lalu pada Juli 2010 gerakan ini meningkatkan kritik tajam kepada partai berkuasa NDP dengan slogan Mesir adalah Tanah Air Kami bukan
Tanah Air Mereka (Mishr Ardhuna wa laysat Ardhahum) karena langkah privatisasi besar-besaran yang dilakukan menteri-menteri ekonomi yang dekat dengan Jamal Mubarak.

Gerakan kawula muda ini semakin dilengkapi oleh senior mereka Mohamed Elbaradei, mantan Direktur IAEA (International Atomic Energy Association) dan peraih Nobel Perdamaian tahun 2005, yang bersama-sama dengan 30 orang cendikiawan, aktifis
politik dan HAM, dan perwakilan faksi-faksi politik membentuk Asosiasi Nasional untuk Perubahan (Al-Jam’iyyah Al-Wathaniyyah li At-Taghyir) pada Februari 2010.

Tampaknya kesabaran rakyat Mesir sudah habis setelah pemilu parlemen terakhir pada November 2010mutlak dimenangi oleh partai Mubarak yang berkuasa. Dengan hanya menyisakan 15 kursi untuk oposisi, setelah periode sebelumnya oposisi meraup lebih dari 100 kursi termasuk 80 untuk aktifis Ikhwan. Disinyalir kuat pemilu tersebut sarat dengan kecurangan dan rekayasa politik untuk memuluskan rencana Mubarak yang akan mewariskan tahtanya pada September 2011 ini. Sehingga meletuslah revolusi rakyat Mesir yang mematikan seperti terlihat di layar kaca.

Nasib Perdamaian Arab-Israel
Mesir adalah negara Arab pertama yang menandatangani perjanjian damai dengan Israel, pada tahun 1979. Pemerintah AS sadarbahwa instabilitas politik di Mesir akan mengancam kepentingan keamanan AS di kawasan. Disisi lain, AS tetap ingin tampil sebagai pembela demokrasi. Oleh sebab itu Washington setidaknya terpaksa menunjukkan sikap seolah berpihak kepada rakyat Mesir.

AS sangat berkepentingan untuk memastikan adanya pemimpin baru pasca Mubarak yang dinilai kooperatif untuk terus berkoalisi dengan Washington, mengadopsi sistem ekonomi kapitalis, dan komitmen dengan perjanjian damai dengan Israel.

Para analis menilai bahwa AS tak akan menentang secara terbuka tuntutan reformasi agar Mesir menjadi demokratis sepenuhnya. Sebab AS tak ingin mengulangi kekeliruan yang sama saat terjadi Revolusi Islam Iran yang menumbangkan Syah Iran dari kekuasaan pada tahun 1979.

Revolusi itu melahirkan rezim mullah yang menjadi musuh besar bagi kepentingan AS di kawasan. Dalam situasi geopolitik Iran yang mulai menunjukkan supremasinya di Timteng, maka instabilitas politik di Mesir akan meningkatkan beban bagi problem-problem yang ditanggung AS di kawasan itu.

AS dan Israel sebagai pemain kunci di Timteng takut jika rejim Mubarak jatuh. Mengapa Israel khawatir Mubarak tumbang? Setidaknya faktor Ikhwanul Muslimin adalah salah satu alasan utama mengapa Israel tampaknya mendukung Mubarak begitu tajam.

Organisasi yang dilarang ini dianggap sebagai gerakan politik yang paling populer di Mesir dan dunia Arab, dan posisinya mengenai perjanjian damai dengan Israel adalah jelas, mereka ingin itu segera dicabut.

Selain itu, potensi radikalisasi Gaza akan makin menjadi ancaman jika angin politik di Mesir berubah. Gaza kini dikuasai faksi Hamas yang tak diakui Israel. Dan secara ideologis Hamas sangat dekat dan bahkan dibawah patron Ikhwanul Muslimin di Mesir yang amat mungkin jika pemilu, baik parlemen dan presiden, digelar saat ini akan memiliki suara dukungan yang signifikan.

Babak akhir dari revolusi rakyat Mesir ini belum dapat kita ketahui hasilnya. Namun, jika rezim Mubarak tumbang, dan melalui pemilu yang demokratis di era reformasi Mesir ternyata menghasilkan kelompok Islam memegang tampuk kekuasaan, maka AS dan Israel harus bersiap meninjau kembali kalkulasi politiknya di Timteng. Terutama sekali Israel akan dikepung oleh Hamas, Hizbullah, Suriah, Iran dan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Apalagi jika situasi politik Jordania menyusul Mesir, maka tak akanada lagi poros moderat dalam konstelasi politik Timteng yang mendukung agenda-agenda AS dan Israel di Timteng. Wallahu A’lam.