Jerome Starkey: Rakyat Kabul Selalu Bangga Akan Diri Mereka Sendiri

Menonton, dan atau membaca sebuah berita, apakah Anda berpikir tentang orang yang berdiri di depan kamera di negeri yang jauh? Bertanya-tanya bagaimana mereka sampai di sana dan mengapa mereka mempertaruhkan hidup mereka untuk memberi tahu kita apa yang terjadi bermil-mil jauhnya itu?

Saat ini di suatu tempat di Kabul , Jerome Starkey, 26, memutuskan untuk melakukan hal itu, menuju ke Afghanistan sebagai wartawan lepas tahun lalu. Dia telah memiliki banyak cerita di koran-koran besar, termasuk The Sun, The Daily Mail, The Mirror, The Independent dan The Times, serta reportasenya disiarkan di Sky News. Jika Anda pernah berpikir tentang apa yang membuat seorang jurnalis garis depan dan bagaimana mereka menjalani pekerjaannya, Strarkey adalah salah satu orangnya.

Sekarang ini, Strakey tengah menjadi pembicaraan banyak orang di seluruh dunia. Terutama karena pemberitaan-pemberitaannya yang hampir selalu bertentangan dengan media-media internasional secara umum. Terakhir adalah pemberitaan yang ditulisnya mengenai sepak-terjang NATO dan tentara AS di Afghanistan. Berikut ini adalah petikan wawancara dengannya:

Mengapa Anda memutuskan untuk menjadi seorang jurnalis garis depan?

Saya tidak begitu yakin sebenarnya. Ini sebuah petualangan. Pada satu titik, saya pikir saya ingin menjadi penulis perjalanan sampai saya menyadari betapa membosankannya menjadi penulis perjalanan itu. Saya ingat, saya benar-benar terpesona ketika usia saya masih sekitar tujuh tahun, oleh sebuah buku foto hitam-putih dari Perang Dunia Kedua. Ada satu foto khusus dari tawanan perang Australia yang berlutut di sebuah kuburan terbuka. Matanya tertutup dan tangannya terikat di belakang punggung, kepalanya tertunduk. Ada orang-orang mengelilingi dan ada seorang tentara Jepang dengan pedang terangkat di belakangnya.

Saya ingat betapa mengerikan dan sekaligus indah jika hal itu disaksikan. Saya ingin tahu lebih banyak tentang tentara itu, seperti dari mana ia berasal, apa yang telah dilakukannya, bagaimana ia tertangkap, bagaimana perasaannya dan apakah ia mati dengan cepat.

Mengapa Anda tidak tinggal di London dan bekerja untuk salah satu media di sana?

Jurnalisme mungkin hanya menarik ketika Anda liput. London begitu lengkap. Saya banyak berhadapan dengan situasi yang dekat dengan kematian, juga mengetuk pintu rumah selebriti untuk The Sun, yang baik-baik saja, tetapi itu tidak pernah berlangsung selamanya.

Kemana saja pekerjaan Anda membawa Anda sejauh ini?

Dalam pekerjaan ini, ke seluruh Afghanistan. Saya sudah pernah ke utara ke Mazar-e-Sharif, timur ke Jallalabad dan bahkan ke Khyber Pass di Peshawar. Baru-baru ini saya menghabiskan Natal di Helmand dengan Royal Marines.

Apa hal yang paling sulit dari pekerjaan Anda?

Tak ada air, atau listrik, bau pemanas bertenaga diesel di tempat tinggal kami, dan suhu minus dua puluh sekian di malam hari. Sumber daya yang lamban, perwira NATO yang bodoh dan juga pers merupakan tantangan yang sudah biasa.

Apa hal baiknya?

Sebuah berita di koran atau di TV.

Apa pendapat Anda tentang Kabul?

Saya mencintai Kabul. Sekarang kotor dan sesak, dan masih setengah hancur oleh perang. Orang-orang hidup dalam kemiskinan yang tak terbayangkan, tanpa air atau kekuatan. Anak-anak, perempuan berpakaian burqa, dan orang tua yang cacat, mengemis di antara lalu lintas yang macet, sementara pembesar dan pejabat korup menduduki kue pengantin yang sangat besar. Menteri-menterinya menutup jalan sehingga mereka bisa menerobos dengan konvoi Land Cruiser.

Tapi rakyatnya masih bangga, mereka selalu ramah dan siap dengan senyum dalam menghadapi segala kesulitan mereka.

Apakah Anda pikir itu lebih penting untuk menceritakan kisah-kisah rakyat biasa yang terjebak dalam konflik, atau untuk menulis tentang konflik itu sendiri?

Saya pikir keduanya. Tapi Anda tidak bisa benar-benar memberitahu seseorang tanpa memberitahu yang lainnya. (sa/smartgraduate)