Lulusan Madrasah di Bangladesh Protes Kebijakan Diskriminatif Dhaka University

Dhaka University, salah satu universitas tertua dan paling bergengsi di Bangladesh, dikecam karena memberlakukan aturan yang menutup pintu bagi para lulusan madrasah untuk mendaftarkan diri ke tujuh jurusan di universitas tersebut. Padahal setiap tahunnya, ribuan siswa lulusan madrasah mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa di universitas tersebut.

Tahun ini jumlah pendaftar mencapai 124.991 orang, sedangkan daya tampung universitas terbesar di Bangladesh itu hanya 5.614 kursi. Tapi tahun ini, tujuh departemen antara lain fakultas ekonomi, fakultas Bahasa Inggris, fakultas Bangla, fakultas komunikasi massa, hubungan internasional, studi gender dan perempuan serta fakultas linguistik menerapkan aturan baru yang tidak memungkinkan calon mahasiswa lulusan madrasah mendaftar ke salah satu jurusan tersebut.

Aturan baru itu mengharuskan calon mahasiswa mendapatkan skor 200 dalam bahasa Bangla dan bahasa Inggris dari sekolah umum atau yang disebut Higher Secondary Certificate (HSC) atau yang setaraf dengan sekolah itu sebagai syarat pendaftaran. Aturan ini secara otomatis menutup kesempatan bagi mereka yang lulusan madarasah karena skor untuk bahasa Bangla dan bahasa Inggris di sekolah ini maksimal hanya 100.

Mohammad Moniruzzaman dari lembaga Madrasah Student Right Preservation Committee (MSRPC) yang memprotes aturan baru tersebut mengatakan, pendaftaran seharusnya berdasarkan prestasi dan hasil tes masuk. "Permintaan kami sederhana, jangan ada diskriminasi antara pelajar dari madrasah dan sekolah umum dalam pendidikan tinggi," kata Moniruzzaman.

Organisasi-organisasi pelajar yang mewakili lulusan madrasah beberapa hari ini menggelar aksi unjuk rasa dengan membuat rantai manusia dan melakukan aksi damai di kampus Dhaka University, memprotes kriteria baru pendaftaran calon mahasiswa tersebut.

Selam bertahun-tahun, sekolah-sekolah madrasah bisa berjalan bersisian dengan sekolah-sekolah umum dalam sektor pendidikan di Bangladesh. Di negara ini, ada lebih dari 25.000 madrasah, sementara jumlah pelajarnya tidak lebih dari 5 juta orang.

Peraturan pendaftaran yang baru itu, juga menuai kritik dari pemerhati pendidikan di Bangladesh. Dekan Fakultas Seni di Dhaka University Profesor Sadrul Samin menyatakan, peraturan baru yang diberlakukan saat ini sudah diskriminatif terhadap pada pelajar lulusan madrasah.

Menurutnya, departemen-departemen yang memberlakukan aturan baru tersebut tidak mendiskusikannya terlebih dulu pada pihak Komite Pendaftaran Universitas. "Para dosen dan pengawas, tidak senang dengan proses pendaftaran baru ini dan saya sudah meminta agar kriteria baru tersebut dihapus," kata Profesor Samin.

"Persoalannya, bukan siapa yang berasal dari sekolah umum dan siapa yang dari madrasah. Yang terpenting adalah, semua warga negara punya hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang layak," tambah Mahmudul Hasan, asistan profesor di Jurusan Bahasa Inggris.

Ia mengungkapkan bahwa para lulusan madrasah tidak menuntut perlakuan istimewa tapi hanya meminta agar mereka juga diberi kesempatan berkompetisi dengan jujur dan terbuka, lewat test masuk seperti yang dilakukan universitas-universitas lain pada umumnya.

Pengadilan tinggi Bangladesh, juga meminta otoritas universitas untuk menjelaskan filosofi aturan baru tersebut setelah lima orang pendaftar membawa kasus ini ke pengadilan. Namun, Profesor Harun Ar-Rashid, dekan Fakultas ilmu Sosial yang membawahi hampir tujuh universitas di atas, berkeras untuk tetap memberlakukan kriteria pendaftaran yang baru dengan alasan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Dhaka University. (ln/iol)