Dokumen Rahasia Buktikan Kejahatan Pemerintahan Tony Blair Pasca 9/11

Satu per satu dokumen-dokumen rahasia pemerintah Inggris terungkap ke publik, yang membuktikan bahwa pemerintah Inggris–pada masa pemerintahan Perdana Menteri Tony Blair–telah melakukan penangkapan secara ilegal dan melakukan penyiksaan terhadap warga negaranya sendiri yang dicurigai sebagai "teroris" setelah peristiwa serangan 11 September 2001 di AS.

Dokumen-dokumen yang dirahasiakan itu akhirnya terungkap setelah enam orang mantan tawanan di kamp penjara Guantanamo mengajukan gugutan hukum terhadap badan intelijen Inggris MI5 dan MI6, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri dan Kejaksaan Agung Inggris dengan dakwaan terlibat dalam penahanan ilegal dan penyiksaan terhadap keenam mantan tawanan kamp Guantanamo itu.

Perdana Menteri Inggris David Cameron, seminggu sebelumnya, sudah meminta agar semua dokumen yang bersifat rahasia terkait gugatan tersebut harus dibuka untuk keperluan proses pengadilan. Namun ia menjamin dokumen-dokumen itu tidak akan dibuka untuk umum. "Mari bersikap terbuka, bukan hal yang mustahil untuk membuka hal-hal yang selama ini dirahasiakan pada publik untuk keperluan penyelidikan menyeluruh. Semua bahan-bahan milik intelijen yang diberikan pada tim penyelidik tidak akan dibuka untuk umum dan atau pihak intelejien akan dituntut untuk membuka bukti itu secara terbuka pada publik," kata Cameron.

Diperkirakan ada 500 ribu dokumen yang relevan dengan kasus gugatan enam mantan tawanan Guantanamo, tapi baru 900 dokumen yang diserahkan berupa potongan berita dari media massa, laporan-laporan pemerintah, pers rilis yang dibuat tahun 2009, serta sebagian kecil dokumen yang masuk katagori rahasia milik pemerintah berupa email, memo dan arsip kebijakan-kebijakan pemerintah.

Dari kumpulan dokumen-dokumen itu menghasilkan gambaran bahwa pemerintah Inggris pada masa itu, bukan hanya bahu membahu dengan sekutunya AS dalam melakukan program "penculikan dan penangkapan" ilegal serta penyiksaan terhadap para tersangka terorisme pasca serangan 11 September 2001, tapi secara aktif ikut berpartisipasi dalam program tersebut.

Di antara dokumen-dokumen yang sudah berhasil dibuka oleh tim penyelidik, adalah sejumlah dokumen laporan interogasi yang dilakukan oleh para agen intelijen MI5 yang menunjukkan bahwa mereka telah mengkhianati warga negara Inggris sendiri, yang mengalami penyiksaan saat diinterogasi oleh pihak AS di basis Angkatan Udara AS di Afghanistan. Dari laporan tersebut diketahui bahwa para intelijen Inggris membiarkan perlakuan sewenang-wenang terhadap warga negara Inggris yang dicurigai sebagai "teroris".

Dokumen-dokumen lainnya menunjukkan antara lain:

*Pada bulan Januari 2002, Kantor Menteri Luar Negeri Inggris memutuskan untuk memindahkan warga negara Inggris yang ditahan di Afghanistan ke kamp penjara Guantanamo sebagai "pilihan yang paling disukai."

*Jack Straw (ketika itu sebagai menteri kehakiman) meminta agar pemindahan itu ditunda sampai MI5 menginterogasi semua warga negara Inggris yang menjadi "tersangka teroris".

*Kantor Perdana Menteri telah menolak upaya untuk menahan seorang warga negaranya di Zambia dengan dukungan kantor konsulatnya, untuk mencegah agar "tersangka" itu tidak kembali ke Inggris. Tapi Kantor Perdana Menteri memutuskan agar warga negaranya itu juga dikirim ke kamp Guantanamo.

Kuasa hukum lembaga pemerintah yang digugat oleh enam mantan tawanan Guantanamo sudah berupaya agar dokumen-dokumen rahasia yang mengungkap keterlibatan pemerintah Inggris dalam penangkapan ilegal dan penyiksaan para "tersangka teroris" pasca serangan 11 September terungkap dalam proses penyelidikan. Mereka mengupayakan mediasi dengan keenam mantan tawanan Guantanamo itu agar mereka membatalkan gugatannya, tapi upaya itu gagal. Tim kuasa hukum keenam mantan tawanan tersebut tetap ingin melanjutkan proses gugatan dan penyelidikan.

Bagi pemerintahan Inggris yang sekarang, kasus ini menjadi pertaruhan bagi kepercayaan publik terhadap badan-badan intelijen negara Inggris, MI5 dan Mi6, terutama dalam strategi pemerintah Inggris dalam melawan terorisme. (ln/guardian)