Ekonomi AS dan Eropa Ambruk, Resesi Dunia di Depan Mata

Bursa saham AS terjungkal setelah Menteri Keuangan Henry Paulson mengatakan bahwa ia tidak akan menggunakan lagi dana penyelamatan ekonomi AS sebesar 700 milyar dollar untuk menyelamatkan bank-bank yang terlilit hutang, tapi ia akan menggunakan dana itu untuk memberikan modal bagi institusi-institusi non perbankan.

Pernyataan Paulson ternyata menimbulkan repon negatif di bursa AS, karena kebijakan itu dikhawatirkan justru akan makin menambah rumit persoalan ekonomi yang sedang dialami AS. Diantara saham yang harganya jatuh adalah saham American Express Co. Perusahaan kartu kredit terbesar ini sekarang membutuhkan dana bantuan sebesar 3,5 milyar dollar dari pemerintah untuk menambah modal mereka.

Saham lainnya yang juga merosot adalah saham Morgan Stanley, yang turun sebesar 6 persen. Pada saat yang sama, salah seorang Presiden Morgan Stanley, James Gorman dalam sebuah konferensi di New York mengatakan, perusahaannya berencana melakukan pemangkasan jumlah tenaga kerja termasuk asset-asset unit manajemennya.

Meski pemerintah AS sudah mengeluarkan dana penyelamatan, situasi perekonomian Negeri Paman Sam itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan pulih, bahkan makin memburuk. Terpilihnya Barack Obama sebagai presiden baru AS, juga tidak mampu memacu sentimen pasar.

Resesi ekonomi nampaknya sudah tak terbendung lagi, karena situasi serupa juga dialami negara-negara besar lainnya di Eropa dan Asia. Jerman bahkan sudah dikatagorikan mengalami resesi ekonomi, karena perekonomiannya hanya berkontraksi sebesar 0,5 persen memasuki kuartal ketiga tahun ini dan itu sudah berlangsung selama dua semester berturut-turut. Sehingga secara teknis, Jerman dikatakan sudah mengalami resesi ekonomi.

Pergerakan ekonomi yang nyaris stagnan itu, merupakan resesi ekonomi terburuk yang dialami negara Jerman selama 12 tahun belakangan ini. Para ekonom mengingatkan, akibat krisis keuangan global, pertumbuhan ekonomi kemungkinan akan terhenti tahun depan

Analis pasar di BGC Partners, David Bulk pada Aljazeera mengatakan, "Seluruh dunia, dari AS sampai ke Timur, berusaha menyangkalnya selama tiga bulan terakhir. Tapi data-data yang ada di lembaga-lembaga regulasi sejak bulan September kemarin menunjukkan indikasi jelas bahwa kondisi perekonomian semua negara sudah jatuh dan ini semua disebabkan oleh kredit atau kurangnya kredit."

"Bank-bank tidak mau menawarkan uang karena mereka berjuang agar neraca keuangan mereka tetap seimbang. Kecuali pasar antar bank membaik, Anda akan melihat kehancuran ekonomi di negara Jerman, Prancis, Inggris Raya dan seluruh Eropa," papar Bulk.

Di kawasan Asia, macan-macan Asia seperti China dan Jepang juga mengalami krisis ekonomi. China mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Sementara Jepang nilai ekspornya turun hampir 10 persen pada bulan Oktober dan tingkat kebangkrutan perusahan-perusahaan di Negara Matahari Terbit itu melonjak hingga 13,4 persen.

Pertemuan G20 dan Proteksionisme

Kini, para investor sedang menunggu pertemuan tingkat tingga para pemimpin negara G20 yang rencananya akan berlangsung di Washington hari Sabtu lusa. Mereka menantikan solusi baru apa yang bakal ditawarkan G20 untuk mengatasi krisis perekonomian dunia, selain penurunan suku bunga dan rekapitalisasi perbankan yang sudah dilakukan sejumlah negara dan menelan biaya lebih dari 4 triliun dollar.

"Kami memerlukan kebijakan moneter dan fiskal yang lebih terkordinasi di seluruh dunia … sebuah respon yang luas dan konkrit," kata Perdana Menteri Inggris Gordon Brown dalam keterangan persnya.

"Prioritas kedua, adalah kesepakatan untuk membuat jadwal bagi langkah-langkah yang akan dilakukan untuk memperbaiki kegagalan dalam sistem perbankan kita," sambung Brown.

Menjelang pertemuan G20, para penasehat Presiden Bush berjanji pertemuan itu akan menggelar diskusi-diskusi yang mendalam dan hasil-hasil yang konkrit. Namun mereka tidak bisa menjanjikan pemulihan bisa berlangsung cepat.

Presiden Bush menyatakan akan menekankan pada peserta pertemuan bahwa reformasi ekonomi tidak akan berhasil jika tidak dibarengi dengan sistem pasar bebas dan persaingan.

"Retorika proteksionisme untuk melindungi pasar atau perusahaan tidak akan membantu stabilitas pasar. Hal itu hanya akan menimbulkan ketidakpastian," kata Dan Price, deputi penasehat keamanan nasional Bush bidang hubungan ekonomi internasional.

Kita lihat saja, apakah negara-negara penganut sistem ekonomi kapitalis ini mampu mengatasi kegagalan sistem kapitalisme yang selama ini mereka agung-agungkan, tapi ternyata hanya menimbulkan kehancuran ekonomi dunia dan penderitaan bagi banyak orang. (ln/Reuters/Prtv/Aljz)