"Poligami Club" Tuai Kontroversi di Malaysia

Peluncuran sebuah klub untuk mempromosikan poligami telah menghidupkan kembali perdebatan tentang isu panas di kalangan Muslim Malaysia. Para pendukung poligami mengatakan bahwa poligami justru untuk menolong para wanita dan menghindari adanya perzinahan sedangkan kubu yang kontra poligami mengatakan hal tersebut lebih merupakan sebuah perbuatan yang melanggar hak-hak perempuan.

"Kami ingin mengubah cara orang melihat poligami, sehingga poligami akan terlihat sebagai sesuatu yang indah dan bukan sesuatu yang menjijikkan," kata Hatijah Aam, pendiri dari "Poligami Club", kepada The Canadian Press pada hari Senin kemarin.

"Apa yang salah dengan berbagi suami? Aku sudah melakukannya selama hampir 30 tahun. "

Klub yang memiliki 300 suami dan 700 istri, bertujuan untuk membantu para ibu tunggal, mantan pelacur dan wanita yang telah berumur namun belum menikah.

Pendiri berharap proyek ini akan memberikan contoh rumah tangga yang bahagia untuk melawan aktivis hak-hak perempuan yang mengatakan beberapa pasangan dan anak-anak menderita dalam perkawinan poligami.

"Beberapa orang memperlakukan poligami sebagai bahan tertawaan karena mereka tidak sepenuhnya memahami hal itu," kata seorang suami Ikramullah Hatijah, yang berprofesi sebagai pengusaha.

"Tapi bagi sebuah komunitas yang mempraktekkan hal itu akan tahu bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang aneh."

Kartini Maarof, seorang pengacara, percaya bahwa poligami dapat melayani seorang ibu yang bercerai dengan baik.

Satu dekade yang lalu, ia telah mengatur pernikahan suaminya dengan seorang kliennya yang telah bercerai, seorang ibu dengan tujuh orang anak.

"Tentu saja pada awalnya anda akan kehilangan suami anda dan ada perasaan berkompetisi dan kecemburuan yang mendalam," kata Kartini.

"Tapi setelah beberapa saat, anda mencoba untuk menjadi teman dan Anda akan belajar bagaimana saling berbagi masalah satu sama lain."

Poligami merupakan hal yang legal bagi umat Islam.

"(Poligami) adalah sebuah budaya yang tidak dianjurkan dalam masyarakat kami," kata Shahrizat Abdul Jalil, menteri perempuan Muslim yang bertanggung jawab atas kebijakan keluarga.

Oposisi

"Sisters in Islam", sebuah kelompok advokasi berkampanye menentang poligami, sambil membantah argumen masyarakat yang pro-poligami.

"Jika orang memilih untuk monogami, ada cukup pria untuk setiap wanita," katanya dalam sebuah pernyataan.

Sharifah, 42 tahun, eksekutif bisnis, merupakan salah satu contoh.

Dia punya pengalaman pribadi dengan masalah poligami ketika suaminya 15 tahun yang lalu menceritakan berencana menikahi seorang ibu dari tiga yang telah bercerai.

"Saya merasa seperti dongeng saya telah berakhir," kata Sharifah, seorang ibu dari dua anak ini mengenang.

"Dia adalah belahan jiwaku … Saya tak percaya hal itu terjadi. Lalu saya mulai berteriak kepadanya."

Suami akhirnya menyerah untuk memiliki istri kedua setelah mengalami beberapa konseling perkawinan.

"Perempuan harus tetap berdiri. Kita harus lebih progresif. Kita tahu hak-hak kita," kata Sharifah.

"Saya tidak akan masuk ke dalam perkawinan poligami. Saya tahu saya pantas menerima yang lebih baik."

Islam melihat poligami sebagai jawaban yang realistis untuk beberapa kesengsaraan sosial seperti perkara perzinahan dan menyelamatkan kondisi hidup seorang janda atau seorang perempuan yang diceraikan.

Seorang Muslim yang mencari istri kedua atau istri ketiga bagaimanapun harus dipastikan dapat memperlakukan mereka semua secara adil dan setara.(fq/iol)