Misrata : Seperti Hidup di Neraka

Sekalipun, para pemimpin Nato mengatakan, bahwa waktu buat Gadhafi sudah habis, tetapi tidak nampak pasukannya menghentikan tindakan pembumihangusan kota Misrata. Kota di barat ibukota Tripoli itu, siang malam dihujani senjata berat oleh pasukan yang setia kepada pemerintah Gadhafi.

Tak ada bangunan di Misrata yang tak terkoyak oleh hantaman peluru dan senjata berat. Semua dinding dan gedung tembok berlobang. Banyak bangunan yang runtuh, dan hancur, akibat tembakan senjata berat. Pasukan Gadhafi bertekat menghancurkan dan membumihanguskan kota itu sampai lumat.

Kilang-kilang minyak yang terletak dibibir pelabuhan berhari-hari menjadi lautan api. Semuanya dibakar oleh pasukan Gadhafi. Kota Misrata hanya terlihat dari kejauhan, yang berupa nyala-nyala api yang membumbung tinggi. Tak ada lagi yang mampu memadamkan kobaran api, yang menjulang. Apalagi, kilang-kilang minyak yang meledak dan disertai dengan bola api yang tinggi, sangat terasa panasnya di seputar wilayah itu. Misrata benar-benar menjadi sebuah neraka.

Orang-orang yang berada di kota itu menyingkir dan meninggalkan kota, mencari tempat yang aman. Pasukan Gadhafi sudah tidak bisa membedakan dan memilih, apakah mereka pasukan oposisi atau penduduk sipil. Siapa yang terlihat dibunuh. Rumah-rumah penduduk di sisir oleh pasukan yang setia kepada pemerintah. Mencari siapa saja yang masih ada di rumah atau bangunan. Tak ada belas kasihan. Semua pupus. Hanya dalam hitungan detik, senapan pasukan Gadhafi menyalak, dan nyawa penduduk Misrata itu meregang.

Di ruang Unite Intensive Care di Benghazi Medical Center yang luka-luka pada pasien yang mengerikan. Jumlah bertumpuk-tumpuk. Berjejal. Karena saking banyaknya korban yang luka dan tewas. Mereka semuanya korban penyisiran dari pasukan Gadhafi yang tak mau lagi menyisakan siapa saja, yang masih terlihat dikota itu.

Mereka yang bukan ikut berperang akan meninggalkan kota itu, dan mencari tempat yang aman. Tetapi, banyak diantara para penduduk yang terjebak dari keganasan perang perang, kemudian mereka menjadi korban. Seorang pasien melumpuh, karena di kepalanya bersarang peluru, yang lain hilang kaki kiri, memiliki kaki kanan patah, dan pula perutnya yang terkoyak akibat mortir. Lebih banyak yang mengalami luka bakar. Mereka tak sempat lagi menyelamatkan diri ketika perang berkecamuk, dan pasukan Gadhafi membakari kota itu, tanpa ampun.

Banyak orang cacat seumur hidup, terutama dari kubu oposisi, yang mereka masuk kota Misrata, tak dapat lagi keluar dari kepungan pasukan Gadhafi. Misrata kota yang pelabuhan minyak di Libaya, yang terbesar menjadi ajang pembantaian yang sangat mengerikan. Misrata menjadi ajang pertempuran yang paling ganas. Misrata menjadi tempat penentu antara kubu oposisi melawan pasukan Gadhafi. Pertempuran yang akan menentukan sejarah selanjutnya. Apakah Gadhafi akan dapat bertahan, atau oposisi yang akan menyerah kepada Gadhafi. Pasukan ingin memenangkan perang, dan terus masuk ibukota Tripoli, serta menggulingkan Gadhafi. Tetapi, segala tidak mudah, harus berhadapan dengan pasukan Gadhafi yang didukung peralatan militer yang kuat, termasuk pasukan lapis baja.

Hanay 800 orang yang berhasil keluar kota, melalui kapal bantuan yang disewa oleh Organisasi Internasional untuk Migrasi. Selebihnya, mereka harus hidup di tengah-tengah kepungan pasukan Gadhafi, yang terus menghancurkan kota itu dari segala arah.

"Mereka membersihkan pelabuan dan rumah-rumah penduduk sipil, dan militer Gadhafi bukan hanya melakukan operasi merebut Misrata, tetapi in operasi untuk membalas dendam," kata Al-Neairy, seorang anggota oposisi.

Seorang pasien Hana Mohammad yang sedang duduk dengan semua lengannya dibalut akibat korban penembakan. Dia memiliki luka pecahan peluru di seluruh tubuhnya. "Saya berada di rumah saya, dan berdoa ketika rudal pertama kali mendarat. Tak lama setelah itu, datang lagi rudal, satu demi satu, mulai menghantam rumah-rumah penduduk yang ada di kota itu. Setidaknya ada 10 rudal mendarat, setiap lima menit," kata Hana.

Salah satu rudal menghantam rumahnya di mana ia meringkuk dengan beberapa anggota keluarga besarnya. Tiga saudara tidak bisa keluar dengan hidup-hidup.

Dia dan suaminya selamat dan melihat sisa-sisa kota mereka, kemudian mereka mencari jalan menuju kapal yang membawanya ke Benghazi.

"Orang-orang takut. Setiap saat, dan hari, di mana kota ini dihujani rudal. Mereka mencari siapa saja, tidak peduli usia mereka : "Anak-anak, muda, tua, dan wanita – semua orang akan disisir oleh pasukan Gadhafi. Itu seperti film horor. Ya Tuhan itu seperti film horor," kata Hanan.

Mereka yang selamat, mengatakan bahwa mereka berjalan kaki menyusuri pantai Mediterania, yang menghabiskan waktu 16 jam, dan terus dihujani dengan tembakan tanpa akhir. Menurut saksi, kota Misrata telah luluh-lantak, dan menjadi puing", ujar mereka. "Ada darah di mana-mana. Aku melihat kehancuran di mana-mana. Kematian ada di mana-mana. Semuanya mengerikan," kata Hanan Mohamad. (mh/wb)