Piagam Jakarta, Isu Ideologi Transnasional, dan Makar Kelompok Sekular (2)

Perda-Perda Bernuansa Syariat

Banyaknya perda bernuansa Islam yang lahir secara demokratis dan konstitusional juga tidak dianggap oleh kalangan sekular sebagai langkah elegan partai-partai Islam yang berusaha menggunakan mekanisme konstitusional dalam menyalurkan aspirasinya.Dalam buku ini, PKS malah dituding menjadikan demokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang tidak demokratis. Sebuah logika yang aneh dan dangkal.

Perda bernuansa syariah, seperti dikatakan Gus Dur dalam buku ini, adalah “kudeta konstitusi” yang harus dibatalkan. Padahal, semua perda yang dituding bernuansa syariah lahir dan saluran-saluran yang sangat konstitusional. Selain itu, fakta menunjukkan bahwa sebagian besar daerah yang menerapkan perda bernuansa syariah adalah wilayah yang suara partai Islam sangat kecil atau tokoh-tokoh partai Islam tidak menduduki posisi strategis dalam wilayah itu.

Abdurrahman Wahid cs dalam buku ini juga mengutip tulisan Sadanand Dhume dalam buku berjudul My Friend the Fanatic: Travels with an Indonesian Islamist, yang menyatakan bahwa PKS adalah ancaman terbesar bagi demokrasi di bandingkan dengan Jamaah Islamiyah. Dhume adalah seorang mantan wartawan the Far Eastern Economic Review (FEER) yang pernah mengadakan perjalanan meneliti gerakan-gerakan Islam di Indonesia bersama seorang wartawan dari majalah Islam terkemuka di negeri ini. Dalam sebuah tulisan di Majalah FEER, Dhume juga pernah menyebut PKS sebagai kelompok radikal yang terus merangkak dan menentukan masa depan Indonesia.

PKS sebagai partai yang dianggap mengusung ideologi transnasional atau dalam istilah buku ini juga disebut sebagai pengusung “wahabisasi global”, dianggap sukses menempatkan para kadernya menjadi birokrat di pusat dan daerah. Bahkan, pendiri PKS Hidayat Nurwahid berhasil duduk di posisi puncak dalam pemerintahan dengan menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Inilah yang menjadi kegelisahan para gerombolan sepilis dalam buku ini. Padahal, selama Hidayat Nurwahid memimpin MPR, tak ada satupun kebijakan yang diskriminatif terhadap non-muslim.

Selain PKS dan HTI, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga ‘kena semprot’ buku ini. Mengutip hasil penelitian The Wahid Institute, buku ini menyebut MUI yang telah mengeluarkan fatwa haram bagi sekularisme, liberalisme, dan pluralisme agama, sebagai tempat berlindung atau bunker bagi gerakan dan organisasi-organisasi Islam garis keras.

Dalam prolognya, Syafi’i Ma’arif yang dikenal gencar menolak formalisasi syariat Islam menyebut golongan fundamentalis yang ingin menegakkan syariat Islam sebagai kelompok “miskin peta sosiologis Indonesia” sehingga mengambil jalan pintas untuk memperoleh keadilan dengan memaksa berlakunya syariat Islam. “Jika secara nasional belum mungkin, maka diupayakan melalui Perda-Perda (Peraturan Daerah). Dibayangkan dengan pelaksanaan syariah ini, Tuhan akan meridhai Indonesia.”

Perhatikan kalimat “Dibayangkan dengan pelaksanaan syariah ini, Tuhan akan meridhai Indonesia” yang ditulis Syafi’i dalam prolog tersebut. Kalimat itu, selain bertentangan dengan nash al-Qur’an juga melecehkan para pejuang penegakkan syariat di negeri ini. Padahal dalam al-Qur’an sangat jelas dinyatakan, barang siapa yang mencari selain Islam sebagai ad-dien (aturan/sistem hidup) maka tidak akan diterima oleh Allah SWT (QS. Ali Imran:85). Jelaslah, siapa saja yang mencari selain Islam sebagai aturan hidup maka tidak akan diridhai Allah SWT. Sebaliknya, mereka yang berada di atas ad-dienul Islam, dan berupaya menegakkannya dalam kehidupan secara menyeluruh tentu akan mendapat ridha Allah SWT.

Sebelumnya, masih dalam prolog di buku yang sama, Syafi’i juga menyebut kelompok fundamentalis yang ada pada saat ini muncul karena ketidakberdayaan menghadapi “arus panas” modernitas sehingga “menghibur” diri dengan mencari-cari dalil agama. “Jika sekadar “menghibur”, barangkali tidak akan menimbulkan banyak masalah. Tetapi sekali mereka menyusun kekuatan politik untuk melawan modernitas melalui berbagai cara, maka benturan dengan golongan Muslim yang tidak setuju dengan cara-cara mereka tidak dapat dihindari,” tulisnya.

Dari tulisan itu, apakah upaya menegakkan syariat Islam bagi Syafi’i adalah bagian dari cara ”menghibur diri” dari arus besar modernitas? Apakah upaya menghalau paham sekularisme, pluralisme, liberalisme, bagi Syafi’i adalah cara kuno untuk menghindar dari modernitas? Pemikiran Syafi’i Ma’arif tentu sangat berbeda dengan para pendahulunya yang pernah menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimejo yang akan diceritakan dalam tulisan ini selanjutnya.

Kelompok Islam yang dituding sebagai pengusung gerakan transnasional menanggapi ringan isi buku ini. Bagi umat Islam, tak ada yang salah dari istilah Islam transnasional. Karena Islam adalah ajaran atau nilai-nilai yang hadir melintasi berbagai belahan dunia. Persaudaraan Islam adalah persaudaraan lintas dunia. Ajaran Islam yang melingkupi segala aturan dalam hidup ini adalah rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi semesta. Lintas benua, lintas dunia. Apanya yang salah?

Ironisnya, sebagian tokoh liberal di Indonesia, jika melihat ada kelompok, gerakan atau aliran sesat tumbuh subur di negeri ini, mereka menganggap hal yang biasa, lumrah, karena globalisasi meniscayakan adanya pasar bebas ide-ide (free market of ideas). Mereka juga mengedepankan teori seleksi alam, dimana setiap yang tidak disukai masyarakat akan tereliminasi dengan sendirinya. Sebaliknya, jika mereka melihat ada kelompok atau gerakan Islam yang berupaya menegakkan syariat Islam, mereka menyebutnya sebagai ancaman yang harus diwaspadai, kalau perlu diberangus. Seolah-olah tak ada tempat bagi nilai-nilai Islam dalam globalisasi atau free market of ideas tersebut.

Kepada mereka yang menebar isu ideologi transnasional kita patut mengajukan pertanyaan, bukankah liberalisme, sosialisme, kapitalisme, sekularisme, dan isme-isme kufur lainnya yang kerap dijajakan oleh para pengasong paham sepilis ini juga masuk dalam kategori ideologi transnasional? Bukankah ide-ide sekular dan Marxis yang dipelajari dan diambil Soekarno dari Mustafa Kemal At-Taturk (bapak sekluarisme Turki yang juga anggota Freemasonry), Sun Yat Sen (Tokoh Komunis dari Cina yang juga anggota Freemasonry), dan Karl Marx (Yahudi Jerman pengasas ideologi Marxisme/anggota illuminati), juga masuk dalam kategori ideologi transnasional?

Aktivis PKS yang juga Direktur Central Indonesia for Reform (CIR), Sapto Waluyo, menyebut kelemahan mendasar dari buku ini adalah gagal mendefinisikan “Gerakan Islam Transnasional” dan melakukan tindakan gebyah uyah, tidak mengedepankan cara-cara yang obyektif dan ilmiah. Karena, tentu saja, semangat dari penelitian ini adalah memberikan stigma negatif terhadap gerakan Islam.(Bersambung)

=====================

Biodata singkat penulis: Artawijaya dilahirkan di Jakarta, 6 Februari 1979. Mantan redaktur Majalah Islam Sabili (2003-2008). Saat ini bekerja sebagai redaktur Majalah Al-Mujtama’ dan dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mohammad Natsir Jakarta. Pernah menulis buku berjudul: Dilema Mayoritas: Pertarungan Ideologis Umat Islam Indonesia Menghadapi Kelompok Sekular, Komunis, dan Kristen Radikal (2008), Mohammad Natsir Sang Maestro Dakwah (Kumpulan tulisan 2009).