Dibalik “Kemenangan” Liberalis (1)

Walau hasil real-count Pilpres 2009 baru akan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) beberapa hari lagi, namun hasil quick-count dari berbagai lembaga survei—baik yang independen maupun yang pesanan, juga hasil perhitungan sementara KPU—telah menunjukkan jika pasangan capres-cawapres nomor 2, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono, meraih suara terbanyak yang berarti negeri ini lima tahun ke depan, 2009-2014, akan dipimpin lagi oleh SBY dengan wakilnya yang baru, Boediono.

Terlepas dari proses pemilihan umum yang memang banyak kecurangan di sana-sini, ketidaknetralan KPU yang lebih memihak incumbent dalam berbagai kasus, dan juga kelemahan internal dari para pesaing nomor 1 (Mega Prabowo) dan nomor 3 (JK-Wiranto), maka rakyat Indonesia—anggap saja—telah memilih SBY-Boediono sebagai presiden dan wakil presiden yang baru. Hal ini bagaimana pun harus diterima sebagai kenyataan, baik de facto maupun, nantinya, de jure. Suka atau pun tidak. Lima tahun ke depan, satu periode yang sangat krusial dan kritis bagi perjalanan bangsa ini, Negara Kesatuan Republik Indonesia akan melanjutkan program-program SBY dengan Tim Ekonominya yang berhaluan pasar (baca: Kapitalistik). NKRI yang merupakan negeri mayoritas Muslim terbesar di dunia akan dipimpin lima tahun ke depan oleh satu kelompok yang didominasi oleh para hamba Washington yang terdiri dari gabungan para ekonom NeoLib dan gerakan Liberal, seperti halnya Jaringan Islam Liberal (JIL).

Kenyataan ini tentunya sangat menyedihkan bagi para pejuang nasionalis, yang menginginkan Indonesia yang besar dan kaya raya ini bisa tumbuh menjadi negara mandiri, berdaulat, bermartabat, dan sejahtera dengan berkeadilan bagi rakyatnya.

Kenyataan ini tentunya sangat menyedihkan bagi para pejuang agama tauhid ini, para pejuang syariah Islam, yang menginginkan Indonesia yang diperjuangkan kemerdekaannya oleh jutaan syuhada bisa tumbuh menjadi satu negeri yang bertauhid, yang Baldatun Thoyyibatun WaRobbun Ghofur, yang memerangi kesesatan dan menegakkan kalimat tauhid. SBY jelas bukan tipe pemimpin yang mau berjuang menegakan kalimat Allah SWT di bumi Indonesia. Bukankah untuk membubarkan kelompok sesat Ahmadiyah saja dia tidak mau?

Para mujahid di negeri ini pastilah tengah berdoa sekuat tenaga, berpuasa sunnah, agar Allah SWT tidak menjadikan negeri ini sebagai Baldatun La’natun wa Robbun Ghodobun, satu negeri yang dilaknat Allah dengan silih-bergantinya bencana, seperti yang terjadi selama lima tahun terakhir ini.

Selama masa kampanye pilpres, rakyat Indonesia telah menyaksikan adu program di antara para kandidat, bukan sekadar janji kampanye yang selalu manis. Bahkan berbeda dengan dua kandidat lainnya, pasangan nomor 1, Mega-Prabowo, tidak lagi sekadar berjanji kepada rakyat namun telah membuat banyak sekali kontrak politik, sebuah janji yang ditorehkan di atas sehelai kertas bermaterai yang di sisi hukum sangat kuat dan rakyat bisa menggugatnya jika janji yang diberikan ternyata palsu. Salah satunya adalah dengan berjanji untuk mencabut UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang nyata-nyata kapitalistis.

Berbeda dengan Pemilu sebelumnya, dalam kampanye Pilpres 2009 ini, rakyat disuguhkan fakta baru yang selama ini hanya milik kaum akademisi, yakni kenyataan jika haluan perekonomian bangsa ini sesungguhnya salah. Konstitusi negara yang tertuang dalam pasal 33 UUD 1945 jelas-jelas mengamanahkan para pemimpin jika semua kekayaan alam beserta isinya harus dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk dijual ke pihak asing seperti yang terjadi sejak tahun 1967 sampai detik ini. Banyak rakyat jadi paham dengan tanda tanya besar yang telah memusingkan kepala mereka selama puluhan tahun, mengapa sebuah negeri besar seperti Indonesia yang dianugerahi kekayaan alam yang sangat banyak, iklim yang sanat bersahabat, letak yang sangat strategis, namun rakyatnya masih teramat banyak yang miskin melarat. Semua itu adalah akibat jiwa pelacur yang dimiliki para pemimpin negeri ini sejak 1967 hingga sekarang, yang tega menjual kekayaan alam bangsa ini kepada pihak asing, asalkan mereka dan keluarga mereka bisa hidup dengan senang dan mewah.

Pilpres 2009-lah yang telah mengenalkan istilah “NeoLib” kepada rakyat banyak negeri ini. Namun walau demikian, rakyat Indonesia ternyata telah memilih untuk melanjutkan kondisi negara ini yang seperti sekarang. Sebuah pilihan yang menurut sistem demokrasi-prosedural mungkin tidaklah salah, namun dalam sisi pejuangan kebenaran yang hakiki sangat-sangat harus disayangkan dan ditangisi.

Banyak kalangan bertanya, mengapa rakyat yang sudah mengalami sendiri betapa sulitnya bertahan hidup di bawah rezim Liberal, antek kekuatan Imperialisme Asing, namun masih saja mau-maunya menetapkan pilihan pada sang penindas, dengan suka rela pula. Mengapa rakyat yang tertindas malah terpesona pada sosok Sang Penindas?

Max Horkheimer dari Frankfurt Institute menyebutkan jika hal tersebut disebabkan oleh operasi pengebirian akal budi yang dilancarkan secara diam-diam oleh elit penguasa kepada rakyatnya selama puluhan tahun. Marcuse menyebutnya sebagai manipulasi kesadaran dan alienasi kebutuhan. Salah satu cara kerja sistem kapitalisme memanglah demikian.  

Rangkaian tulisan ini mencoba untuk menelusuri dan mencari tahu apa jawaban atas pertanyaan di atas. Herbert Marcuse dari Sekolah Frankfurt, salah satu kiblat bagi gerakan aktivis dunia penentang imperialisme dan kolonialisme baru, pernah menggambarkan secara cerdas situasi kondisi masyarakat atau bangsa seperti yang terjadi di Indonesia sekarang. Marcuse menulis:

“Masyarakat industri modern bagaikan sebuah bus besar yang bagus, dengan peralatan teknis yang serba lengkap dan mewah, berjalan lancar dan nyaman, para penumpangnya pun merasa puas. Tetapi orang banyak yang tidak menyadari lagi kemanakah bus itu mengarah. Orang sudah terbius dengan kenikmatan untuk tinggal di dalamnya. Bahkan pengemudinya pun terbawa saja oleh mekanisme gerak motor yang memutar roda bus tadi pada porosnya, terus maju seturut jalan satu-satunya yang membawa bus tadi, tanpa sadar bahwa jalan tersebut menuju ke jurang kebinasaan.” (M. Sastrapratedja, ed; Manusia Multi Dimensional, Sebuah Renungan Filsafat; 1983; h.139). Inilah gambaran bangsa Indonesia sekarang.

Kini, saya, Anda, dan kita semua, entah harus menangis atau malah sujud syukur atas “kemenangan” mesin NeoLib dan Liberal atas negeri yang sama-sama kita cintai ini. Tulisan ini mencoba untuk menelusuri mengapa kita dan rakyat negeri ini yang tengah ditindas, masih sudi memilih dan terpesona oleh para penindas kita. Mengapa semua itu bisa terjadi dan bagaimana cara kerjanya? Lantas, bagaimana hubungan semua itu dengan kepentingan imperialistik Amerika Serikat yang memang sangat bernafsu untuk menguasai dunia setelah meraih kemenangan dalam Perang Dunia II tehadap fasisme, dan kian bernafsu setelah melenggang sendirian paska keruntuhan imperium Merah Soviet Uni di awal 1990-an. Di mana letak Indonesia dalam pertarungan global seperti ini? (bersambung/ridyasmara)