Indonesia Di bawah Panji NeoLib (1)

Hari-hari ini sampai dengan tanggal 21 Oktober nanti, Presiden dan Wakil Presiden Terpilih 2009-2014, Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono, tengah sibuk menyusun Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2. Media massa negeri ini, dengan atau tanpa lembaga survei, ramai-ramai memprediksi siapa saja yang akan diajak SBY-Budiono untuk menjadi pembantunya.

Dan lucunya, sejumlah menteri yang masih aktif membawahi berbagai departemen, dengan gencar mengiklankan dirinya di layar teve. Salah satunya yang paling gencar adalah iklan “Sekolah Gratis” (yang ternyata sama sekali tidak gratis) dan iklan “SMK Pasti Bisa”, keduanya menampilkan Mendiknas Bambang Soedibyo. Dan tentu, untuk iklan ini Depdiknas harus membayar uang dalam jumlah besar kepada stasiun teve. Uangnya, tentu saja, berasal dari uang rakyat. Banyak orang tertawa sinis dan mengatakan jika iklan itu merupakan kampanye sang menteri agar dilirik kembali oleh presiden. Kampanye pribadi dengan uang rakyat. Menyedihkan, memang.

Yang kedua, sejak sebulan ini sejumlah tokoh yang biasa menulis dengan lantang dan cukup vokal di media massa seakan tiarap. Rencana kedatangan Miyabi saja yang amat kontroversial, hanya Front Pembela Islam (FPI) dan Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta yang berani vokal, sedangkan tokoh-tokoh yang selama ini mengaku sebagai “pejuang anti pornografi” diam seribu bahasa.

Atau kasus penyebaran “pin Nabi Muhamad SAW” yang asalnya dari Iran, tidak ada satu pun tokoh bangsa ini yang bersuara lantang. Padahal, di hari-hari biasa—bukan hari-hari menjelang penyusunan kabinet—mereka paling aktif bersuara. Namun sekarang mereka seperti sedang bertapa atau puasa bicara.

Seorang pengamat politik, Tjipta Lesmana, dalam satu acara di Jakarta kemarin (15/10) menyinggung hal ini. “Beberapa hari terakhir, saya tanya kepada beberapa tokoh yang biasa menulis vokal di koran, mengapa sekarang kok tulisannya tidak ada. Mereka mengaku sedang istirahat dulu, menunggu sampai hari pengumuman anggota kabinet…,” ujar Pak Tjip disertai derai tawanya yang khas.

Menurut jadwal resmi, Sby dan Budiono akan mengumumkan anggota kabinetnya tanggal 21 Oktober dan besoknya akan diselenggarakan pelantikan. Banyak nama yang diprediksi, namun banyak pula orang yang sudah dapat menerka kemana arah yang akan dilakukan oleh rezim ini lima tahun ke depan. Walau demikian kita semua pasti menanti-nantikan seperti apa bentuk Kabinet Indonesia Bersatu jilid II nantinya. Apakah kadar NeoLib-nya berkurang atau malah kian mengental.

Kiblat Bernama Washington  

Sambil menunggu pengumuman kabinet, ada baiknya kita flashback dulu pada pasangan Sby-Budiono di saat kampanye pilpres kemarin. Dengan konsultan pencitraan dari Fox, pasangan ini mengcopy-paste gaya kampanye Obama saat Pilpres Amerika beberapa waktu lalu. Bahkan lagu Indonesia Raya, aransemennya sempat dibuat mirip dengan lagu kebangsaan Amerika Serikat, Star Spangled Banner, yang kemudian menimbulkan kontroversi yang kemudian menguap begitu saja, walau hal ini jelas melanggar undang-undang tentang lagu kebangsaan.

Apakah Sby-Budiono akan meniru juga Obama di saat pembentukan kabinetnya? Ternyata tidak. Nah, disinilah ironisnya. Mengapa demikian?

Semua kita tentu mafhum jika dewasa ini Amerika Serikat merupakan satu negara benua terkuat di dunia dan terkaya, dengan GDP terbesar dunia senilai US$14 triliun. Namun dengan wilayah yang sangat luas, mengurus pemerintahan yang sangat besar dengan hegemoni meliputi hampir seluruh dunia, Presiden Barrack Obama ternyata hanya membutuhkan 15 orang menteri ditambah dengan 6 jabatan setingkat menteri. Jika mau ditotal ada 21 orang pembantu presiden AS. Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia adalah negara terkebelakang dengan GDP hanya US$468 miliar namun presidennya sampai memerlukan 34 orang menteri! Ini jelas tidak masuk akal. Mengurus Amerika Serikat jelas jauh lebih berat ketimbang mengurus Indonesia. Namun hal yang tak masuk akal sehat ini tetap saja terjadi. Walau negara terkaya dunia, Amerika Serikat tetap menerapkan efektivitas dan efisiensi dalam mengelola pemerintahannya. Beda dengan Indonesia, walau pun negara miskin namun untuk urusan bagi-bagi jabatan mampu untuk mengalahkan super power sekali pun!

Belum lagi untuk urusan fasilitas untuk para pejabatnya. Sudah menjadi kelaziman di Indonesia jika seorang pejabat baru selalu mendapat kendaraan dinas baru, rumah dinas baru, bahkan seperti yang kemarin terjadi, ratusan anggota DPR yang belum dilantik pun untuk pindah ke Jakarta ternyata harus ditanggung dengan uang rakyat! Coba kita sekarang melihat apakah hal yang sama berlaku untuk negara maju seperti Belanda?

Ternyata, para pejabat bahkan menteri di Belanda tidak pernah mendapat kendaraan dinas dan rumah dinas baru. Padahal Belanda adalah salah satu negara yang memberikan utang pada Indonesia. Para menteri atau anggota parlemen di Belanda biasa pergi ke kantor dengan naik kendaraan umum atau kendaraan milik pribadi.

Inilah satu contoh lagi betapa pejabat Indonesia ternyata kelewat manja dan aji-mumpung. Sebab itu ada satire, jika orang di Amerika (dan juga negara maju) harus kaya raya dulu untuk bisa jadi pejabat, beda dengan Indonesia. Orang Indonesia harus jadi pejabat dulu baru bisa kaya raya.

Sby-Budiono sering membandingkan segala sesuatu dengan Amerika Serikat, seperti dalam gaya kampanyenya, namun mengapa dalam penyusunan slot kabinet, mereka tidak mencontoh efisiensi dan efektivitas yang dilakukan Presiden Obama? Ini menjadi pertanyaan yang menarik.

Di tengah keterpurukan bangsa ini, seharusnya jumlah slot menteri juga harus dipangkas. Jika Presiden Obama saja bisa bekerja mengurus Amerika dengan 21 orang pembantunya, mengapa Presiden Sby sampai harus membutuhkan 34 pembantu untuk mengurus Indonesia yang jauh lebih sederhana dan jauh lebih miskin ketimbang Amerika? Secara logika sederhana, pembantu presiden di Indonesia sebenarnya bisa dibuat lebih ringkas, di bawah angka 20. Ini jika dibandingkan dengan Amerika.

Yang juga menarik, kita tengok masa Khalifah Umar bin Khattab (634-644 M/ 13-23 H). Di masa Khalif Umar bin Khattab, wilayah kekhalifahan Islam membentang dari Jazirah Arab hingga Persia dan Roma, namun untuk mengurus wilayah seluas itu, Umar r.a. hanya memerlukan pembantu sembilan orang (!). Umar bin Khattab pun tidak punya istana atau rumah dinas. Penguasa wilayah yang sangat luas dan kaya raya itu tetap tinggal di rumahnya yang sangat sederhana, di tengah-tengah kampung, tanpa pengawal, dan berbaur dengan rakyatnya.

Bandingkan dengan para pejabat Indonesia sekarang! Untuk sekelas bupati yang “wilayah kekuasaannya” tak sampai seujung kuku wilayah kekuasaan Umar bin Khattab, mereka punya rumah dinas mewah, kantor bagus, kendaraan dinas baru, beserta pengawal dan pelayannya. Bahkan seorang bupati yang dekat dengan Jakarta, untuk membangun pagar rumahnya saja sampai harus menelan biaya sampai miliaran rupiah. Tentu saja, lagi-lagi, dari uang rakyat!.

Dari fakta yang terjadi di atas, kita setidaknya bisa merenung dan introspeksi diri. Sudah benarkah kita punya pemimpin? (bersambung/ridyasmara)