Jejak Badan Intelijen CIA di Indonesia (2)

Eramuslim.com – Atas sikap keras kepala Soekarno yang tidak mau tunduk pada keinginan AS guna membentuk Pax-Pacific untuk melawan kekuatan komunisme, dan di sisi lain juga berarti menentang tunduk pada sistem kapitalisme yang merupakan induk dari kolonialisme dan imperialisme di mana AS menjadi panglimanya, maka tidak ada jalan lain bagi Amerika untuk menundukkan Soekarno kecuali menyingkirkannya.

Sejak akhir 1940-an, AS sesungguhnya sudah mengamati gerak-gerik dua tokoh PSI bernama Soemitro Djojohadikusumo dan Soedjatmoko yang berasal dari kalangan elit.  AS mengetahui jika keduanya menentang sikap Soekarno. Baik Soedjatmoko maupun Sumitro diketahui menyambut baik Marshall Plan. Bahkan Soedjatmoko berkata, “Strategi Marshall Plan untuk Eropa tergantung pada dapat dipergunakannya sumber-sumber alam Asia.” Koko, demikian panggilan Soedjatmoko, bahkan menawarkan suatu model Indonesia yang terbuka untuk bersekutu dengan Barat.  Awal 1949, Sumitro di School of Advanced International Studies yang dibiayai Ford Foundation menerangkan jika pihaknya memiliki model sosialisme yang membolehkan dieksploitasinya kekayaan alam Indonesia oleh Barat ditambah dengan sejumlah insentif bagi modal asing (Suroso; Bung Karno, Korban Perang Dingin; 2008.p.301. Lihat juga Weisman dan Djojohadikoesoemo 1949: 9).

David Ransom dalam “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia: Kuda  Troya  Baru  dari  Universitas-Universitas  di AS Masuk  ke  Indonesia” (Ramparts; 1971) menulis:

“Di New York, keduanya dibesarkan oleh satu kelompok yang berhubungan erat dengan  apa yang biasa disebut Vietnam Lobby, yang menempatkan Ngo Dinh Diem sebagai Kepala Negara Vietnam yang pro AS. Lobi tersebut, di antaranya ada Norman Thomas, terdiri dari anggota-anggota Komite Kemerdekaan untuk Vietnam dan juga Liga India.  Mereka merupakan pelopor Sosialis Kanan (Soska) dunia. “Kita harus berusaha agar  usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan AS untuk membentuk pemerintah non-komunis di Asia paska PD II jangan sampai ketahuan ketidakwajarannya”,  ujar Robert  Delson, anggota  Liga  yang  juga Lawyer di Park Avenue. Delson adalah penasehat hukum untuk Indonesia di AS.”

Orang ini, tulis Ransom, selalu menemani dan membawa Sumitro dan Koko keliling AS dan memperkenalkannya kepada sahabat-sahabatnya di Americans for Democratic Action (ADA) yang juga Soska dan berpengaruh dalam sikap polittik luar negeri AS.

Usai KMB 1949, Sumitro pulang ke Jakarta dan diangkat sebagai Menteri Perdagangan  dan Industri, dan kemudian juga sebagai Menteri Keuangan dan Dekan Fakultas ekonomi Universitas Indonesia. Sikap Sumitro dan kawan-kawan PSI-nya yang mendukung investasi Belanda di Indonesia merdeka tidak populer di mata rakyat yang nasionalismenya tengah bergelora. Akhirnya pada Pemilu 1955, PSI hanya mendapat suara yang kecil.

Pada 1957, untuk memperkuat perekonomian nasional, Bung Karno mengambil langkah berani dengan menasionalisasi aset-aset milik Belanda. Rakyat mendukung penuh langkah ini. Namun Soemitro dan rekan-rekannya dengan berani menentang Bung Karno dan malah bergabung dengan para pemberontak PRRI/PERMESTA yang didukung penuh CIA.

Edisi Koleksi Angkasa berjudul “Dirty War, Mesiu di Balik Skandal Politik dan Obat Bius” (juga buku David Wise & Thomas B. Ross: Pemerintah ‘Bayangan’ Amerika Serikat: 2007)  memaparkan keterlibatan CIA dalam peristiwa ini: Dalam waktu bersamaan, November 1957, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno yang dikenal dengan peristiwa Cikini. Bung Karno selamat namun 9 orang tewas dan 45 orang disekelilingnya luka. Pemerintah kala itu mendeteksi jika tindakan makar tersebut didalangi oleh komplotan ektrem kanan yang dimotori Letkol Zulkifli Loebis, pendiri Badan Rahasia Negara Indonesia (BraNI), cikal bakal BIN, dan didukung CIA. Dengan tegas Bung Karno mengatakan jika CIA berada di belakang usaha-usaha pembunuhan terhadap dirinya.

Tudingan Bung Karno terbukti. Dalam satu sesi pertemuan Komite Intelijen Senat AS yang diketuai Senator Frank Church dengan Richard Bissel Jr—mantan wakil Direktur CIA bidang perencanaan operasi—22 tahun kemudian terungkap jika saat itu nama Soekarno memang sudah masuk dalam target operasi Direktur CIA, Allan Dulles.

Dalam operasi mendukung PRRI/PERMESTA, AS menurunkan kekuatan yang tidak main-main. CIA menjadikan Singapura, Filipina (Pangkalan AS Subic & Clark), Taiwan, dan Korea Selatan sebagai pos suplai dan pelatihan bagi pemberontak. Dari Singapura, pejabat Konsulat AS yang berkedudukan di Medan, dengan intensif berkoordinasi dengan Kol. Simbolon, Sumitro, dan Letkol Ventje Soemoeal.

Dalam artikel berjudul “PRRI-PERMESTA, Pemberontakan Para Kolonel” yang ditulis Santoso Purwoadi (Angkasa: Dirty War) dipaparkan jika pada malam hari, 7 Desember 1957, Panglima Operasi AL-AS Laksamana Arleigh Burke memerintahkan Panglima Armada ke-7 (Pacific) Laksamana Felix Stump menggerakkan kekuatan AL-AS yang berbasis di Teluk Subic untuk merapat ke Indonesia dengan kecepatan penuh tanpa boleh berhenti di mana pun. Satu divisi pasukan elit AS, US-Marine, di bawah pengawalan sejumlah kapal penjelajah dan kapal perusak disertakan dalam misi tersebut. Dalih AS, pasukan itu untuk mengamankan instalasi perusahaan minyak AS, Caltex, di Pekanbaru, Riau.

Kepada para pemberontak, selain memberikan ribuan pucuk senjata api dan mesin, lengkap dengan amunisi dan aneka granat, CIA juga mendrop sejumlah alat perang berat seperti meriam artileri, truk-truk pengangkut pasukan, aneka jeep, pesawat tempur dan pembom, dan sebagainya. Bahkan sejumlah pesawat tempur AU-Filipina dan AU-Taiwan seperti pesawat F-51D Mustang, pengebom B-26 Invader, AT-11 Kansan, pesawat transport Beechcraft, pesawat amfibi PBY 5 Catalina dipinjamkan CIA kepada pemberontak. Sebab itulah, pemberontak bisa memiliki angkatan udaranya sendiri yang dinamakan AUREV (AU Revolusioner). Beberapa pilot pesawat tempur tersebut bahkan dikendalikan sendiri oleh personil militer AS, Korea Selatan, Taiwan, dan juga Filipina.(bersambung/rizki ridyasmara)