Jejak Badan Intelijen CIA di Indonesia (5)

David Ransom, di dalam artikel “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia, Kuda  Troya  Baru  dari  Universitas-Universitas  di Amerika  Serikat Masuk  ke  Indonesia” (Ramparts; 1971), dengan jujur memaparkan bagaimana AS lewat CIA membangun satu kelompok elit baru guna memimpin satu Indonesia yang tunduk pada kepentingan kekuatan Neo-Imperialisme dan Neo-Kolonialisme Barat. Bahkan sesungguhnya, Amerikalah yang merancang dan menyusun strategi pembangunan nasional negeri ini yang dikenal dengan istilah Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) lewat satu tim asistensi CIA dan sejumlah think-tank AS yang bekerja di belakang para teknokrat dan birokrat rezim Orde Baru.

Para pejabat pendiri Orde Baru seperti Adam Malik, Sumitro, Soedjatmoko, dan sebagainya memang dikenal amat dekat dengan para pejabat AS, baik yang bekerja di Jakarta maupun Washington. Lewat CIA, AS telah memanfaatkan para pejabat Indonesia anti Soekarno ini untuk memuluskan kepentingannya. Bahkan Tim Werner dalam “Legacy of Ashes: A History of CIA” (2007) menulis jika Adam Malik telah direkrut menjadi agen CIA lewat pengakuan seorang mantan agen CIA bernama McAvoy. Walau yang terakhir ini sempat jadi polemik, namun kedekatan Adam Malik—dan kawan-kawan-dengan para pejabat AS saat itu adalah suatu fakta sejarah.

Pada Juli 1966, seorang pejabat CIA, bernama Clarence “Ed” Barbier mendarat di Jakarta. Jabatan resminya adalah Asisten Khusus Duta Besar AS. “Eufismisme diplomatik ini biasanya dikhususkan bagi Kepala Stasiun CIA yang secara terbuka menyatakan hal ini kepada negara penerima… Dua kepala stasiun sebelumnya tidak diberitahukan secara resmi kepada pemerintah Soekarno dan hanya terdaftar sebagai ‘Sekretaris Pertama/Politik’, suatu jabatan untuk menyamarkan kepala perwakilan ini di antara para diplomat resminya,” tulis Ken Conboy dalam “Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia” (2007; h. 47-48).

Barbier yang fasih Bahasa Jepang dan bekerja pada intelijen AL-AS pada Perang Dunia II sebelumnya bertugas di Pacific. Dari lembaga intel AL-AS, Barbier dipindahkan ke CIA di awal berdirinya dan bertugas mengawasi jalur komunikasi dinas intelijen Vietnam Selatan.

Salah satu operasi rahasia CIA di Indonesia di awal era Orde Baru adalah operasi HABRINK, yang berbasis di Konsulat AS di Surabaya. Saat itu, rezim Suharto ‘menerima’ warisan perlengkapan dan persenjataan perang dari negara-negara Blok Timur seperti Chekoslovakia dan Soviet. Kebetulan, AS tengah berperang di medan tempur Indocina dan menghadapi pihak lawan yang menggunakan peralatan perang seperti yang ada di Indonesia.

“Operasi rahasia yang digelar pada 1967 ini bertujuan untuk mendapatkan detil teknis dan juga contoh barang perlengkapan militer Soviet seperti Rudal SA-2, kapal selam kelas Whiskey, kapal perang jenis Riga, dan pesawat pembom Tu-16. Operasi ini dibuka kepada umum ketika salah seorang pejabat CIA yang terlibat dalam operasi ini, David Henry Bennet, dihukum pada 1980 karena diketahui telah menjual detil operasi ini kepada pihak Soviet. Hal ini berasal dari catatan Bakin Personnel File atau BPF dengan title ‘David Henry Barnett’”, tulis Conboy dalam bukunya (h.57).

Clarence Barbier, demikian tulis Conboy, bekerja dengan mulus di Indonesia disebabkan kesamaan agenda antara AS dengan rezim Suharto, yakni memerangi komunisme. Dalam tugasnya, Barbier merekrut sejumlah orang Indonesia, baik militer maupun sipil. Lewat hubungan yang amat baik dengan Kolonel CPM Nicklany Soedardjo, seorang perwira didikan AS (lulusan Fort Gordon, 1961), Barbier berhasil merekrut seorang tokoh Perti (Partai Tarbiyah Indonesia) bernama Suhaimi Munaf, yang oleh Suharto dianggap dekat dengan orang-orang komunis. Suhaimi sendiri pernah ditangkap pada Februari 1967 dengan tuduhan telah melakukan kejahatan politik.

Pada sekitar Agustus 1968, menjelang kebebasan Suhaimi Munaf, Barbier meminta kepada Kol. CPM Nicklany agar melakukan serangkaian tes psikologi terhadap Suhaimi. Hasil tes menunjukkan Suhaimi memiliki mental baja, keras kepala, dan tidak mudah dipengaruhi. Hasil yang sesuai dengan keinginan CIA. Singkat cerita, Munaf berhasil direkrut CIA dan dikirim ke Pulau Buru dengan menyandang nama sandi Friendly/1. Di pulau tempat pembuangan dan penahanan orang-orang komunis ini, Suhaimi mendapat tugas untuk menjalin hubungan lagi dengan kolega kirinya baik yang berada di dalam maupun luar negeri.

“Dengan memanfaatkan simpati atas penahanannya, ia mencari-cari pekerjaan di di kedutaan negara asing komunis… CIA telah menuai sukses awal dengan Friendly/1,” demikian Conboy.

Kerjasama Kol. Nicklany dengan Barbier tidak berhenti di sini saja. Pada awal 1968, Nicklany yang menjabat sebagai Asisten Intelijen Kopkamtib kepada orang-orang terdekatnya menyatakan ingin membentuk satuan tugas kontra intelijen asing, guna menangkap mata-mata asing yang beroperasi di Indonesia. “Mata-mata aing” di sini tentu saja memiliki arti sebagai mata-mata Blok Timur. Karena dengan CIA dan sekutunya, Nicklany malah bekerjasama.

Satuan tugas ini akhirnya terbentuk dengan anggota inti sebanyak enampuluh orang, sepuluh perwira aktif dan sisanya sipil, dan menyandang nama resmi “Satuan Khusus Pelaksana Intelijen” atau Satsus-Pintel, yang kemudian diringkas menjadi “Satuan Khusus Intelijen” atau Satsus-Intel.

Satuan ini mendapatkan dana dari CIA lewat Barbier termasuk gaji personelnya, lalu bantuan kendaraan untuk kegiatan pengamatan (surveilance), biaya sewa rumah-aman (safe house) di Jalan Jatinegara Timur-Jakarta, dan tape recorder mutakhir merk Sony TC-800 serta perangkat penyadap telepon canggih QTC-11. Hingga awal 1970, Satsus-Intel mendapat 16 sepeda motor, 3 sedan Mercedes, 2 Toyota Corolla, 3 Volkswagen, 1 Toyota Jeep, dan 1 Minibus Datsun dengan kaca belakang yang dilapisi penutup agar minibus ini digunakan untuk melakukan pemotretan rahasia. Semuanya dari CIA. (Conboy; h.57).

Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dengan terus terang menyatakan jika pihaknya memang menjalin kerjasama yang erat dengan MOSSAD Israel, CIA, dan juga MI-6 Inggris dalam hal penumpasan komunis. “Dalam hal ini, Pak Sutopo Yuwono, Pak Kharis Suhud, dan Nicklany. Tiga orang ini yang saya izinkan.” (Soemitro, Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib; 1994; h. 251). (Bersambung/rz)