Kematian Usamah dan Strategi Geopolitik Washington (1)

Jumat, 29 April 2011, sebuah informasi TOP SECRET sampai di tangan Presiden AS Barrack Obama. Isinya tentu sangat penting, namun kali ini benar-benar penting: Tempat persembunyian Usamah telah diketahui.

Sesuai dengan prosedur standar Gedung Putih yang rumit, sejumlah petinggi Washington kemudian telah berkumpul dalam tempo yang sangat singkat, di antaranya Kepala Staf Gabungan, penasehat senior masalah keamanan negara, pucuk tertinggi dinas intelijen, dan Obama sendiri. Secepat kilat mereka menggelar rapat dan akhirnya Obama memerintahkan Kepala Staf Gabungan agar secepatnya mengirimkan tentaranya ke satu titik merah di luar Islamabad, Pakistan.

Kepala Staf Gabungan memanggil para Kepala Staf Angkatan Bersenjata dan memberikan perintahnya. Para Kepala Staf kemudian menetapkan parameter operasi, kali ini sangat rahasia. Kemudian perintah operasi dan rencana mulai mengalir turun ke bawah, dari para jenderal kepada para kolonel lalu terus hingga para kapten.

Rencana-rencana ini cukup lengkap, yang memperinci “skema manuver” dan “konsep penembakan”—yang akan dilakukan setiap unit atau unit terpilih, peralatan apa yang akan dipakai, bagaimana jalur penggantian amunisi, satuan pendukung, jalur serang dan jalur pelarian, dan sebagainya. Perintah-perintah itu menggelinding bagaikan bola salju yang dari atas tampak sangat global dan tiba di bawah, dalam tataran praktis, sangatlah detail.

Angkatan Darat, Laut, dan Udara Amerika menggunakan energi yang cukup besar untuk perencanaan, dan prosesnya tersebut secara terus-menerus selalu saja diperbaiki selama bertahun-tahun. Sistem yang panjang dan rumit ini, namun harus diteruskan secepat kilat dengan tingkat kesalahan Zero-Tolerance, merupakan keajaiban komunikasi. Namun walau bagaimana pun, tetap ada satu kekurangan: Rencana-rencana tersebut yang sangat komplit, seringkali malah tidak berguna jika sudah berada di lapangan.

“Ungkapan yang selalu kami gunakan adalah Tidak ada rencana yang bertahan jika berhadapan dengan musuh,” tegas Kolonel Tom Kolditz, Kepala Divisi Ilmu Perilaku di Akademi Militer West Point. Sebab itulah, selain rencana yang komplit, sistematis, dan lengkap, angkatan bersenjata Amerika juga mengeluarkan Commander’s Intent (CI), yang merupakan perintah pucuk pimpinan tentara yang berisikan sasaran rencana dan keadaan akhir dari suatu operasi. Semakin ke bawah, CI semakin detail, namun tidak membatasi improvisasi para prajurit yang bertugas di lapangan.

Sebab itu, untuk tugas maha penting kali ini, dikirimlah satuan kecil tentara elit Navi SEAL yang benar-benar telah mumpuni lulus dari The Combat Maneuver Training Center dengan prestasi yang mengagumkan.

Dalam waktu yang sangat cepat, satu tim kecil pasukan Navy SEAL bergerak menyusup ke daerah luar Islamabad, Pakistan, tepatnya Abbodtabad, 35 mil di luar Islamabad, di sebuah bangunan besar yang dikelilingi tembok tinggi dengan kawat berduri di atasnya. Tanpa diketahui pejabat lokal negara itu. Washington berdebar menanti kabar selanjutnya. Apakah serangan kali ini akan berhasil atau mengulang kisah-kisah terdahulu yang selalu saja luput menangkap atau menghabisi musuh Amerika nomor satu sejak peristiwa 11 September 2001 tersebut. Namun sejumlah petinggi militer, CIA, termasuk Direktur CIA Leon Panetta, dan pejabat tinggi Washington lainnya menonton secara real-time operasi ini di sebuah ruang konferensi di kantor pusat CIA di Langley, Virginia.

“Ketika disebutkan operasi itu sukses, pejabat CIA di ruang konferensi bertepuk tangan cukup meriah,” ujar seorang pejabat seperti dilansir Reuters (2/5).

Operasi sukses besar. Satuan kecil Navy SEAL yang dikirim berhasil membunuh Usamah bin Ladin. Korban di pihak Amerika konon tidak ada. Hanya ada sebuah helikopter tempur, yang belum dikonfirmasi jenisnya, yang sengaja dihancurkan pasukan AS karena mengalami kegagalan mekanis. Informasi ini telah dikonfirmasi dengan lengkap. Akhirnya pada tanggal 1 Mei, Presiden Barrack Obama menyampaikan kabar ini dengan resmi. Para sekutu Amerika, kaum Zionis, dan pelayan-pelayan Washington di seluruh dunia yang hidup dari remah-remah Amerika menyambut gembira.

Dan sebaliknya, ungkapan bela sungkawa datang dari pihak-pihak yang berseberangan dengan Washington.

Pemerintah Obama tentu saja menyadari bahwa kematian Usamah bin Ladin akan menimbulkan gejolak dan juga ancaman. Sebab itu, dengan cepat Washington mengeluarkan Travel Warning ke seluruh dunia dan memperketat penjagaan seluruh kedutaan besarnya, dan juga lembaga-lembaga yang berafiliasi dengan mereka.

Namun di sisi lain, kematian Usamah bin Ladin juga dengan sendirinya menghapus alasan Amerika menggelar operasi besar Perang melawan Terror yang telah digelar sejak Oktober 2001. Hal ini ditegaskan Jamaah Ikhwanul Muslimin Mesir yang mengatakan jika tentara AS harus ditarik dari Afghanistan dan Irak secepatnya karena Usamah bin Ladin telah tiada.

“Dengan kematian Usamah Bin Ladin, tidak ada lagi alasan Amerika untuk menggelar kekerasan di Afghanistan dan Irak,” tegas Issam al-Arian, petinggi jamaah Ikhwanul Muslimin kepada Reuters. “Inilah saatnya bagi Obama untuk menarik diri dari Afghanistan dan Irak dan mengakhiri pendudukan AS dan pasukan Barat di seluruh dunia, di mana negara-negara Muslim begitu lama dirugikan oleh tindak tanduk AS,” ujarnya.

Sikap resmi Washington sendiri belum ada. Tentara AS sebelumnya memang direncanakan angkat kaki dari Irak akhir tahun ini, dengan jaminan keamanan Bagdad, namun apakah perang melawan teror sendiri akan ikut diakhiri atau tidak, ini masih menjadi persoalan tersendiri. Karena perang bagi AS adalah bisnis. Tidak ada perang maka tidak ada bisnis, tidak ada perang, tidak ada lagi profit. Sebab itu, kemungkinan besar perang tetap akan berlanjut. Dimanakah panggung selanjutnya dan siapakah common-enemy berikutnya? [bersambung/rizki]