Mujahidah Suriah

Serangan udara biasanya dimulai pagi hari sekitar jam 09.00. Sesuai protap semua yang ada di klinik 6 lantai ini harus berkumpul di lantai paling bawah. Di antara mereka ada sepasang suami istri berpakaian putih-putih. Mereka, dr. Ibrahim dan istrinya yang apoteker, Fatimah. Bila terdengar raungan pesawat, Fatimah membenamkan kepala ke dada suaminya. Sang suami pun memeluk menenangkannya. Lalu… blaarrr, bom pun meledak mengguncang dinding tempat kami berlindung. Itulah rutinitas yang hampir tiap hari terjadi. Ibrahim dan Fatimah tiap hari jaga di klinik dari pagi hingga sore. Bagaimana seorang wanita bernama Fatimah bisa bertahan di tempat berbahaya seperti ini? Atas ijin suaminya, HASI berkesempatan mewancarainya.

Apa yang mendorong seorang wanita seperti Anda menerjuni pekerjaan yang berbahaya ini?

Pada umumnya wanita takut dengan kondisi seperti ini. Tapi justru kondisi seperti inilah yang memaksa seorang wanita bermental laki-laki. Sebagai orang yang dididik di dunia medis, tentu saya tidak akan menyia-nyiakan ilmu yang saya cintai ini untuk menolong saudara saya sesama Muslim. Apalagi ini kondisi jihad. Saya dan adik saya tentu akan meluangkan semua pekerjaan untuk itu. Semenjak belajar di bangku kuliah, saya sudah niatkan untuk ibadah. Lalu datang kesempatan jihad ini.  Apalagi, rata-rata dokter di sini fokus di penanganan trauma, tidak ada yang bertugas di farmasi. Karena itu, saya tidak akan menyia-nyiakan ilmu yang saya miliki.

Dalam pengabdian selama ini, kasus apa yang menurut Anda paling berkesan?

Kejadiannya ketika Anda dan kawan-kawan Indonesia baru dua hari di klinik ini. Ketika ada seorang warga yang terluka, sementara saya hanya satu-satunya paramedis yang waktu itu siaga di sini. Saya harus membersihkan darah dari wajahnya. Itulah pertama kali saya “berurusan” dengan darah. Sebetulnya itu bukan profesi saya untuk menanganinya. Tapi melihat darah keluar dari mata, hidung dan telinganya, sementara para dokter sedang sibuk mengurusi pasien lain, mau tidak mau saya menanganinya. Sebenarnya saya takut melihat luka. Tapi, Subhanallah, ketika saya mendengar pasien tersebut menjerit kesakitan karena lukanya, hilanglah rasa takut saya.

Bagaimana dengan dua orang yang meninggal pada serangan 19 Nop lalu?

Waktu itu saya berdiri di jendela melihatnya. Saya waktu itu hanya tepekur, “Apa dosanya sehingga ia harus meninggal dengan cara seperti itu?” Apakah hukuman tersebut hanya karena ia melafalkan Allahu Akbar? Asal Anda tahu, bahwa revolusi ini dimulai dengan teriakan Allahu Akbar. Lalu akibatnya mereka diserang dengan roket, mortar, bahkan senjata kimia. Apakah itu semua akibat suatu “dosa” bernama Allahu Akbar? Kalau memang demikian, sesungguhnya kami justru bergembira dengan hukuman ini, karena pasti kami akan ditolong Allah.

Bisa Anda sebutkan contoh tentara Bashar Asad menggunakan senjata kimia?

Pesawat-pesawat tentara sering berputar di atas pemukiman membentuk asap memutar seperti jaring laba-laba. Kemudian ditemukan serbuk putih di pepohonan, dan setelah itu penduduk setempat merasakan gatal-gatal pada kulitnya. Hingga sekarang kami belum tahu bagaimana cara mengobatinya.  Juga dalam kasus penyakit sesak nafas, dulu bisa kami tangani. Namun akhir-akhir ini ada beberapa kasus yang tidak kunjung sembuh meski telah kami tangani.

Jadi ada penyakit aneh yang belum bisa Anda dan kawan-kawan medis tangani?

Ya. Ada beberapa penyakit yang kami hanya bisa memberikan obat untuk meringankan efeknya saja, tidak sampai menyembuhkan.

Sebelumnya pernah membayangkan terjadi revolusi seperti ini?

Ketika terjadi revolusi di Tunis, saya sudah menduga hal serupa akan terjadi di Suriah.Namun saya tidak pernah menyangka kondisinya bisa setragis ini. Seringkali saya berharap,  apa yang kami alami ini hanyalah sekadar mimpi, bukan kenyataan.

Anda Muslimah berhijab, kuliah di Lattakia. Pernah mengalami perlakuan buruk dari kaum Alawiyyin?

Separoh penduduk Lattakia adalah kaum Alawiyin.  Saya sekolah hingga semester V. Ada mahasiswa yang tingkat intelektualnya tidak lebih baik, namun mereka mendapatkan prioritas melebihi saya, karena saya Muslimah yang berhijab. Di Lattakia, kehidupan yang kami alami sebagai Sunni berbeda dengan Alawiyyin. Orang-orang Alawiyin hidup dengan segala kemapanannya. Sebaliknya, polisi bisa datang sekonyong-konyong untuk memeriksa kami orang-orang Sunni. Apa yang kami alami seperti itu mungkin tidak dirasakan oleh orang-orang di Damaskus atau lainnya. Mereka tidak pernah hidup bercampur bersama kaum Alawiyyin.

Menngapa Anda memilih berada di tempat berisiko tinggi seperti di sini? Adakah keinginan pindah tempat aman misalnya Turki?

Saya dulu tinggal dan bekerja di Turki selama seminggu. Pada saat itu pesawat tempur menyerang desa saya. Ketika saya pulang, orang-orang mengatakan, “Kenapa kamu pulang, padahal desa kita sedang diserang? Sudahlah, tinggal saja di Turki bersama suamimu.” Saya tidak sanggup hidup di Turki satu malam saja, sementara keluarga saya di kampung diserang. Tidak patut bagi saya untuk hidup mapan, sedangkan keluarga saya dihujani bom. Sampai saat ini, keluarga saya tidak pernah meninggalkan rumah. Pernah suatu ketika sebuah roket meledak persis di belakang rumah. Bagi kami hanya ada dua pilihan; mati di kampung sendiri atau Allah mendatangkan kemenangan.

Dengan posisi seperti ini, apakah Anda merasa masuk DPO tentara Bashar Asad?

Jelas. Saya yakin nama saya masuk dalam target mereka. Karena itu saya tidak mau mengambil ijazah. Saya hanya mempunyai kartu tanda kelulusan, tapi belum mengambil ijazah. Kalau saya ambil, mereka pasti menangkap saya.

Yang kami dengar, paramedis menjadi salah satu target bunuh tentara pemerintah. Anda tidak takut?

Iya, saya tahu bahwa mereka akan membunuh petugas medis yang ada di klinik-klinik seperti ini. Namun, kami yang ada di klinik ini, yang kami inginkan adalah mati syahid. Orang yang menginginkan mati syahid tidak akan pernah takut segala risiko. Selain itu, di sini kami dikelilingi oleh para mujahidin yang siang-malam beribath di pegunungan dalam rangka menjaga kami. Mereka tidak pernah meninggalkan tempat itu, meskipun kondisinya terkepung. Sampai misalnya Ramadhan kemarin ketika keadaan genting, mereka meminta kami untuk menjauh dari tempat ini. Mereka kemudian mengamankan kami di setiap jalan yang kami lalui supaya kami terhindar dari serangan roket.  Mereka mengkhawatirkan kami sebagaimana kami mengkhawatirkan mereka. Mereka tidak mungkin membiarkan kami diserang. Mereka mempertaruhkan nyawa demi keselamatan kami.

Bagaimana peran istri secara umum dalam revolusi ini?

Kami selalu diserang dan dihujani bom. Tetapi tidak pernah ada seorang istri meninggalkan suaminya lari untuk menyelamatkan diri sendiri dari serangan tersebut.  Anda bisa melihat mujahidin yang baru datang dari pertempuran. Kadang-kadang selama sepekan mereka hidup di alam terbuka bersama hewan-hewan dan curahan air hujan. Bukankah para mujahid itu sebenarnya bisa memilih hidup enak di rumahnya yang hangat bersama keluarganya? Kami tidak pernah lari dari kewajiban dalam jihad ini.

Ada berapa muslimah yang khidmat di klinik ini?

Di sini, saya bersama dr. Aisah. Dulu pernah ada seorang perawat, tapi dia belum menikah. Kami belum bisa menerima paramedis yang belum mempunyai mahram atau wali yang mendampinginya. Sebab, akan menambah beban kami bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, terlebih bila keberadaannya bersama kami belum memperoleh ijin dari keluarganya.

Bagaimana reaksi keluarga terhadap pilihan amal Anda seperti ini?

Dulu ketika teman Anda (tim ke 2 HASI) mendapat serangan udara, saya bersama mereka di sini. Waktu itu kita terkepung dalam asap, kepingan roket dan puing-puing reruntuhan. Saya sudah menduga ajal saya sampai di sini. Namun Alhamdulillah, kami masih selamat. Mungkin karena saking sayangnya, saat itu ibu saya bilang, “Sudahlah, jangan bekerja di klinik darurat itu lagi.” Tetapi ayah saya menegaskan, “Lakukanlah apa yang bisa kamu kerjakan. Tidak sepatutnya kamu berada di rumah, sedangkan orang-orang membutuhkan pertolonganmu.”

Suami tentu mendukung, ya..

Suami saya orang yang sangat istimewa. Saya akan selalu berada di sampingnya ketika datang serangan, di manapun. Saya tidak akan tinggalkan ia sendirian. Kalau ia turun ke bawah, saya akan turun. Tapi kalau ia tetap di sini, saya pun tetap bersamanya.

Bagaimana pendapat teman-teman kuliah Anda?

DI kuliah, saya tergabung dalam lima sekawan. Tentu, kawan saya dari Ahlussunnah. Saya sendiri di sini, sementara mereka ber-empat berada di Lattakia. Mereka iri dengan keberadaan saya di sini. Mereka berpesan, “Jaga dirimu baik-baik. Insya Allah kita akan bertemu. Tunggulah, kami akan datang menemuimu.”

 

Kalau boleh tahu, dari mana Anda belajar prinsip jihad dan kematian seperti yang Anda ungkapkan di atas?

Alhamdulillah, Allah memberikan saya keluarga yang paham agama. Ayah, ibu, kakak dan adik serta keluarga saya secara umum adalah orang yang punya komitmen terhadap agama. Sebelum timbul revolusi ini, saya sudah merasakan terzalimi sebagai orang Sunni. Saya duduk di bangku kuliah saya merasa terusik dengan kedzaliman Israel terhadap saudara Muslim saya di Palestina. Saya merasakan perasaan yang sama dengan mereka, bahwa musuh mereka adalah musuh saya juga. Sebagaimana orang-orang Alawiyin dari bangsa kami memusuhi kami.

Palestina tidak pernah terlepas dari ingatan saya. Di sekolah saya mempunyai teman-teman Palestina. Saya mencintai mereka sebagaimana mencintai saudara sendiri. Kami sama-sama merasakan simpati Palestina. Saya berangan-angan mati di gerbang Al-Aqsha.

Pesan untuk muslimah Indonesia?

Saya mengharap kepada Muslimat di Indonesia untuk mendoakan kami dalam setiap shalat mereka. Kami sedang berada dalam kesulitan yang luar biasa, yang belum pernah kami rasakan sebelumnya. Bahkan saya tidak yakin ada kaum yang pernah merasakan kesulitan seperti yang kami rasakan seperti ini. Kami berada dalam didzalimi luar biasa. Kita berada dalam zaman, di mana Islam diserang dari segala penjuru. Saya berpesan agar Muslimah Indonesia dan keluarganya berpegang teguh kepada agamanya. Sesungguhnya tidak ada kemuliaan bagi kita kecuali dengan Islam. Jangan lupa mendoakan kami selalu. Alhamdulillah, meski kami dalam musibah besar, kami tidak lari dari Islam. Semoga apa yang kami lalui ini adalah langkah yang akan membawa kami ke pintu surga-Nya. [AY/OM-TIM3HASI]

 

Laporan Wawancara Tim Ketiga Relawan HASI, Jabal Akrod Suriah