Tambang Emas Freeport: Kekayaan Negara yang Terampas (3)

Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat’.

Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.

***

Freeport Menjadi Perusahaan Publik Tahun 1988

Pada awal berdirinya di tahun 1967 Freeport Indonesia Incorporated, subsidiary dari Freeport Minerals, Inc., merupakan perusahaan tertutup yang seluruh sahamnya dikuasai asing. Freeport mempunyai kebebasan untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi hingga pemasaran hasil tambang. Pada tahun 1981 Freeport Mineral, Inc. melakukan merger dengan McMoran Oil and Gas, Inc. dan membentuk Freeport Mineral, Inc. Aset utamanya adalah potensi besar tembaga,emas dan perak yang tersimpan di Gunung Ertsberg. Merger ini jelas mengakibatkan meningkatnya Net Asset Value dari perusahaan tersebut.

Pada tahun 1987 Freeport McMoran membentuk anak perusahaan bernama Freeport McMoran Copper Company, Inc dengan menjual 85,4% dari sahamnya pada PT Freeport Indonesia Inc. Setelah ditemukannya Grasberg (menyimpan deposit tembaga nomor 3 terbesar dan tambang emas terbesar di dunia) pada tahun 1988, Freeport McMoran Copper Company, Inc (FCX) mendaftarkan diri ke New York Stock Exchange (NYSE). Saat itu Freeport menjual 5.000.000 lembar saham (23,4%) melalui Initial Public Offering (IPO), dan memperoleh sebesar US$ 3,31 miliar. Kemudian pada bulan Januari 1991, anak perusahaan tersebut merubah namanya menjadi Freeport McMoran Copper & Gold Company, Inc.

Rakyat Indonesia harus menyadari pelajaran dan kebodohan dari kasus penjualan saham ini: bahwa sumberdaya alam milik negara dan rakyat telah dijual dan digadaikan oleh Freeport kepada para investor di pasar modal. Dari hasil penjualan itu Freeport memperoleh modal dan peningkatan value perusahaan yang sangat besar. Karena tidak memiliki saham signifikan dan otomatis tidak ikut mengelola perusahaan, keuntungan peningkatan modal dan value ini tidak turut dinikmati oleh bangsa Indonesia, meskipun pemilik sah sumberdaya tambang itu adalah negara dan rakyat.Rakyat hanya menjadi penonton atas kenikmatan yang diperoleh asing dan prilaku penjajahan ini.

Net investment Freeport yang direalisasikan di Irian Jaya hingga tahun 1995 berjumlah US$ 1,92 miliar. Padahal akumulasi net income selama 10 tahun terakhir saja telah mencapai US$ 1,5 miliar (1986-1995). Ini berarti keuntungan yang dinikmati Freeport dari penambangan di Irian Jaya sangat besar. Sebagai contoh, ROE atau return on equity yang merupakan indikator tingkat pengembalian modal, selama 10 tahun terakhir adalah 38%. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki kinerja yang sangat bagus dan tingkat pengembalian yang tinggi kepada para pemegang saham. Sehingga tidak mengherankan posisi modal FCX (equity outstanding) selama 10 tahun terakhir meningkat tajam sebesar 700% hingga mencapai US$ 881,7 juta (Econit, 1995).

FCX perusahaan induk dari PT Freeport Indonesia berkembang pesat selama 10 tahun terakhir. Dengan banyak ditemukannya cadangan-cadangan baru dan prospek penerimaan laba yang bagus, Freeport telah melakukan ekspansi untuk menambah kapasitas produksinya. Ekspansi ini dapat dilihat dari beberapa indikator, seperti pertambahan aset yang rata-rata 41,3% setiap tahunnya dan kenaikan produksi rata-rata 30% per tahun. Sekali lagi, segala keberhasilan dan kenikmatan yang dirasakan oleh Freeport ini, hanya dapat kita tonton tanpa ikut merasakan atau menikmatinya secara optimal, meskipun sumberdaya alam itu milik negara kita.

Operating income diperoleh FCX (yang sebagian berasal dari PT Freeport Indonesia) selama tahun 1986-1995 rata-rata meningkat sebesar 60 % perta tahun, dan pada tahun 1995 meningkat 112%. Pendapatan FCX rata-rata tumbuh sebesar 34% per tahun dan pada tahun 1995 naik 51 %. Sementara itu, net income selama 10 tahun terakhir rata-rata naik 56% per tahun dan pada tahun 1995 tumbuh 95%. FCX juga melakukan restrukturisasi untuk menekan biaya administrasi dan biaya produksi. Pada tahun 1989, total biaya produksinya per pound tembaga mencapai US$ 0,53, pada tahun 1995 biaya produksinya hanya 0,34 atau turun 36%. Sedang tahun 2008 hanya sekitar US$ 0,24.

Melihat kinerja FCX cukup bagus tersebut, tidak mengherankan bila earning per share (EPS) FCX cukup besar, yaitu mencapai US$ 0,38 pada tahun 1994 dan US$ 0,98 pada tahun 1995 dan menjadi U$ 1,375 tahun 2008. Demikian juga dengan saham FCX nilainya terus naik dari US$ 3,31 pada saat IPO tahun 1988 menjadi US$21,25 pada tahun 1994 dan US$ 93,16 pada tahun 2008. Peningkatan harga saham sebesar 642% ini dan berbagai pertumbuhan yang spektakuler dalam hal nilai aset, ROI, keuntungan dsb., ini hanya dinikmati oleh FCX, investor asing dan pemegang saham swasta tertentu di Indonesia. Berbagai pertumbuhan dan keuntungan tersebut tidak dinikmati oleh bangsa Indonesia.

Pendapatan Negara yang Kecil

Indonesia sewajarnya mendapat manfaat yang proposional dari tambang yang dimilki. Hal ini bisa dicapai jika KK yang ditandatangani antara lain berisi ketentuan-ketentuan yang adil, transparan, dan memihak kepentingan negara dan rakyat. Ternyata pemerintah pada masa lalu, hingga saat, ini tidak mampu mengambil manfaat optimal.

Dalam KK Generasi I, Freeport dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, royalti dan dividen sampai tahun 1976. Sementara dari tahun 1976-1983 pemerintah hanya mengenakan pajak penghasilan badan (PPh) sebesar 35% (pada saat tarif pajak yang berlaku 41, 75%). Setelah tahun 1983, PPh yang dikenakan meningkat menjadi 41,75%. Sepanjang tahun 1974-1984, renegosiasi ketentuan kontrak, terutama terkait pajak dan royalti, serta pemilikan saham, terus dilakukan. Hasil renegosiasi tersebut antara lain adalah diberlakukannya royalti sebesar 1,4%-3,5% atas penjualan bersih tembaga, dan royalti 1% atas penjualan emas dan perak. Kesepakatan tentang royalti ini tertuang dalam ketentuan KK Generasi V.

Pembayaran pajak Freeport kepada pemerintah, seperti tercermin dalam Laporan Keuangan Freeport McMoran Copper and Gold, Co. (FCX), mengalami evolusi dari tahun 1973 sampai 1995. Pada tahun 1986, misalnya pajak yang dibayarkan US$ 5,9 juta. Jumlah ini meningkat menjadi US$ 190, 7 juta pada tahun 1995. Pajak yang dibayarkan ini relatif kecil jika dibandingkan dengan pendapatan FCX. Pada tahun 1986 misalnya, pajak ini hanyalah 7% dari pendapatan FCX, sedangkan tahun 1995 jumlahnya 10% dari pendapatan FCX. Sementara itu, berdasarkan Kontrak Karya Generasi V, saham Indonesia di PT Freeport Indonesia mencapai 20% dan PT Freeport Indonesia diharuskan membayar pajak penghasilan badan sebesar 35% dan pajak deviden dan bunga sebesar 15%, serta royalti atas penjualan produknya.

Untuk deviden, pada tahun buku 2001, pemerintah hanya mendapatkan deviden sebesar Rp 38,2 miliar (US$ 4,49 juta) dari kepemilikan saham sebesar 9,36 persen. Sementara FCX mengantongi sebagian besar deviden dengan kepemilikan saham sekitar 81,28%, yakni sebsar US$ 38,99 juta. Jumlah deviden tersebut jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya (2000), pemerintah hanya meneima deviden sebesar US$ 5 juta (sekitar Rp 42, 5 miliar).

Berdasarkan laporan keuangan tahun 2008, total pendapatan Freeport (FCX) adalah US$ 3,703 miliar. Dari pendapatan tersebut, Freeport memperoleh keuntungan total sebesar US$ 1,415 miliar. Sedangkan pemerintah Indonesia, melalui pajak dan royalti hanya mendapat total penerimaan sebesar US$ 725 juta. Perbandingan penerimaan negara dan pendapatan atau pun keuntungan Freeport ini cukup jauh, pemerintah hanya mendapatkan setengah dari keuntungan Freeport. Padahal dalam membelanjakan kebutuhan operasi dan investasi perusahaan setiap tahun (capex dan opex), Freeport pasti telah mendapat keuntungan tambahan yang besar. Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh FCX tahun 2008 tidak hanya sebesar US$ 1,415 miliar, tetapi lebih besar dari itu, dan dapat saja mencapai US$ 2 miliar.

Kita telah melihat bahwa dari tahun ke tahun, penerimaan negara dari tambang di Timika selalu jauh lebih kecil dibanding keuntungan yang diperoleh Freeport. Tak dapat dipungkiri, kecilnya penerimaan negara tersebut berpangkal dari kebijakan dan kontrak yang salah dan tidak adil. Hal ini sangat mendesak untuk dikoreksi.

Kebijakan Pemerintah yang Bermasalah

Pemerintah Indonesia seharusnya menggunakan posisi tawar (bargaining position) yang tinggi untuk mendapatkan hasil eksploitasi sumberdaya yang optimal. Secara teoritis, eksploitasi sumberdaya alam akan menghasilkan rente ekonomi, atau keuntungan yang melebihi keuntungan normal (normal profit). Keuntungan normal dapat didefinisikan sebagai keuntungan yang diperoleh dari struktur pasar yang “fully competitive”. Sementara itu, rente ekonomi adalah keuntungan yang diperoleh dari suatu struktur pasar yang tidak kompetitif ataupun dari hasil akumulasi alamiah (natural acumulation).

Pemerintah dinilai kurang optimal mengelola sumberdaya alam mineral tambang di Irian Jaya. Hal ini dapat dilihat dari keputusan serta kebijakan pemerintah dalam KK I dan KK V. Meskipun dalam KK V posisi tawar pemerintah sedikit diuntungkan, namun hal ini dapat dikatakan sebagai hal yang wajar karena Indonesia adalah pemilik sumberdaya alam mineral tambang yang dikelola Freepot. Beralihnya KK I menjadi KK V mewajibkan Freeport mengalihkan saham ke pihak nasional Indonesia, dengan ketentuan:

• Pengalihan sampai dengan 51% saham kepada perusahaan/perorangan nasional dalam waktu 20 tahun;

• Jika 20% saham dijual di Bursa Efek Jakarta, kewajiban pengalihan hanya sampai 45% (dan bukan 51%); yang 25% lagi dapat dijual kepada perusahaan dan perorangan nasional;

• Lima tahun setelah penandatanganan kontrak Freeport 20% sahamnya sudah harus dimiliki pihak nasional Indonesia.

Ketentuan divestasi saham kepada pemerintah secara umum berlaku untuk semua perusahaan yang menandatangani KK Generasi V. Namun, pada saat itu semua perusahaan yang menandatangani KK Generasi V masih berada dalam tahap penyelidikan umum atau eksplorasi, kecuali Freeport yang sudah berada dalam tahap produksi. KK Generasi V Freeport menetapkan bahwa Freeport sudah harus mengalihkan sahamnya segera setelah penandatanganan KK, selambat-lambatnya lima (5) tahun setelah itu.

Saham Freeport yang harus dialihkan adalah sebesar 10%, atau kalau diambil time frame 5 tahun, maka harus ada pengalihan sebesar 2% setiap tahun. Karena dalam kurun waktu lima tahun setelah KK ditandatangani Freeport telah merencanakan untuk melakukan investasi besar-besaran di Grasberg, pihak Freeport berharap bahwa ketentuan divestasi dalam KK Generasi V dapat diperingan khusus bagi Freeport.

Ternyata Freeport berhasil! Presiden dan Anggota kabinetnya kemudian mengeluarkan PP No.20/1004 yang mengizinkan investasi asing secara penuh (100%). PP ini dikeluarkan pada tahun 1994 sedang KK V dengan Freeport ditandatangani pada bulan Desember tahun 1991, atau 3 tahun sebelum PP No.20 dikeluarkan. Pada waktu disusunnya KK Generasi V Freeport, sama sekali tidak terbayangkan akan keluar peraturan yang meringankan ketentuan divestasi tersebut. Dengan PP No.20 ini pula, kesempatan pemerintah untuk ikut memiliki saham mayoritas di Freeport (FCX) menjadi hilang.

Lebih lanjut kita mencatat bagaimana penguasa orba telah bertindak merugikan negara dengan sengaja tidak memanfaatkan kesempatan membeli 10% saham, yang merupakan kelanjutan program divestasi 20% saham Freeport. Pemerintah justru memberikan kesempatan itu kepada Grup Bakrie. Ketika itu, Menteri Keuangan hanya menyetujui peningkatan pemilikan saham Indonesia dari 9% menjadi 10%. Menteri Keuangan dengan sengaja tidak menghendaki saham pemerintah lebih dari 10%. Karena itu maka Freeport menjual sahamnya kepada grup Bakrie.
Masalah pembelian saham oleh Bakrie Brothers ini mendapat sorotan dari berbagai kalangan, antara lain dari Kejaksaan Agung. Namun, kelanjutan kasusnya hilang tak berbekas. Pemerintah antara lain beralasan bahwa ketentuan divestasi kepada nasional dalam KK V terutama untuk mendorong agar perusahaan pertambangan asing masuk ke dalam bursa saham di Indonesia sehingga dapat dimiliki oleh masyarakat luas. Hal ini jelas menghilangkan kesempatan bagi BUMN dan BUMD untukmendapat keuntungan.

Grup Bakrie telah menikmati keuntungan dari divestasi saham Freeport karena kebijakan pemerintah yang bermasalah. FCX juga diuntungkan dengan terbitnya PP No.20/1994. Kedua hal ini merupakan satu paket kebijakan yang diduga sarat KKN. Dalam jangka panjang Bakrie dan terutama FCX akan terus diuntungkan, kecuali ada kebijakan korektif. Terlepas dari itu, kita mencatat fakta bahwa ketentuan yang telah tercantum dalam kontrak bisa dirubah oleh ketentuan yang ada dalam PP No.20/1994. Oleh sebab itu, demi keadilan bagi seluruh rakyat, sebuah PP dari pemerintahan SBY sudah cukup untuk menghilangkan berbagai kerugian yang dalam KK Freeport dan untuk menjadikan BUMN dan BUMD menjadi pemegang saham mayoritas di Freeport/FCX.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Perusahaan asing Amerika, Freeport, baik pada saat masih menjadi perusahaan tertutup (1967-1988), maupun setelah terbuka di tahun 1988, telah mendapatkan keuntungan yang melimpah dari sumberdaya mineral di Timika Papua. Keuntungan tersebut telah menjadikan Freeport berubah dari perusahaan gurem tak dikenal menjadi perusahaan tambang raksasa di dunia hanya dalam waktu singkat. Namun, harap dicatat bahwa perubahan menjadi perusahaan raksasa ini diperoleh dengan berbagai penyelewengan, manipulasi, dugaan KKN, tekanan politik, dan jauh dari kaidah-kaidah bisnis dan pola hubungan bisnis dan negara yang terpuji dan beradab.

Di sisi lain, selama 42 tahun periode tambang (1967-2009) bangsa Indonesia tidak mendapatkan hasil yang optimal dan sebanding dari potensi Tambang Timika. Ketidakadilan ini tercermin pada penerimaan negara yang kecil dibanding keuntungan yang diperoleh Freeport dan ketimpangan yang terus berlangsung di sekitar wilayah operasi. Sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa di limbah Freeport. Dari tahun ke tahun Freeport terus menikmati keuntungan melimpah, dan jika tidak ada perubahan KK, akan terus mengeruk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia hingga tahun 2041.

Pemerintah tidak boleh terus membiarkan ketidakadilan ini. Pemerintah harus mengajiulang dan mengoreksi kebijakan dan peraturan, serta KK pertambangan tersebut. KK dengan Freeport harus diubah sehingga mengikuti amanat konstitusi dan lebih menguntungkan bagi Indonesia dan rakyat Papua khususnya. Pemerintah, melalui BUMN, harus menguasai sebagian saham Freeport agar dapat ikut mengelola jalannya perusahaan, mengamankan penerimaan negara lewat pajak, mengawasi seluruh proses produksi, dan memperoleh peningkatan pendapatan melalui deviden.

Upaya untuk melakukan koreksi dan perbaikan kontrak mungkin telah dilakukan, namun tanpa rencana dan desain komprehesif, tanpa perjuangan yang konsisten dan berkesinambungan, serta terdistorsi oleh berbagai oknum dan prilaku KKN sehingga berujung pada kegagalan. Kegagalan upaya tersebut, di satu sisi karena kita berhadapan dengan penjajah yang sangat kuat, dan di sisi lain belum bersatunya seluruh komponen bangsa, termasuk adanya komprador. Kita sebagai bangsa harus memulai langkah-langkah perbaikan saat ini juga, diawali dengan penerbitan sebuah PP/Keppres korektif, perubahan KK, pemilikan saham, hingga penguasaan perusahaan secara mayoritas oleh konsorsium BUMN dan BUMD milik Papua.[]

foto ilustrasi: safecom

*) Tentang Penulis:

Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.