Bahaya Hutang Negara Yang Terus Meroket

Pemerintahan Jokowi mengaku senantiasa melakukan pengelolaan risiko utang dengan hati-hati dan terukur. Hal itu termasuk menjaga risiko pembiayaan kembali, risiko tingkat bunga, dan risiko nilai tukar dalam posisi yang terkendali.

Meskipun begitu, pada September 2017 lalu, indikator risiko utang seperti rasio variable rate sudah berada pada level 10,8% dan refixing rate pada level 19,2%. Porsi utang dalam mata uang asing berada pada level 40,9%, sedangkan average time to maturity (ATM) berada pada level 9,0 tahun. Indikator jatuh tempo utang dengan tenor hingga lima tahun mengalami kenaikan dari 39,2% menjadi 39,7% dari total out-standing  utang.

Utang pemerintahan Jokowi, baik itu pinjaman maupun SBN, rasionya terhadap PDB juga cenderung meningkat. Pada 2014, rasio utang sudah 24,7% PDB. Pada 2015, naik menjadi 27,4% PDB. Pada 2016, naik lagi menjadi 28,3% PDB. Berdasarkan proyeksi posisi akhir 2017, besaran utang sudah 28,6% PDB.

Rasio utang pemerintahan Jokowi, berdasarkan Debt Services Framework (DSF) IMF dan Bank Dunia, tidak bisa disebut baik-baik saja. Menurut IMF dan Bank Dunia, batas (threshold ) atas yang aman untuk rasio utang terhadap ekspor adalah sebesar 25%.

Perbandingan dengan negara-negara peer, sesama negara berkembang di kawasan Asia Tenggara, rasio utang terhadap ekspor Indonesia menempati yang tertinggi, yakni mencapai 39,6%. Ini jauh melampaui batas aman DSF sebagaimana ditentukan IMF dan Bank Dunia. Apabila perbandingannya Indonesia dengan sesama negara-negara berpenduduk besar di kawasan Asia, seperti China, India, Pakistan, dan Bangladesh, rasio utang terhadap ekspor Indonesia masih yang tertinggi di antara kelima negara berpopulasi terbesar di kawasan Asia. Dari indikator tersebut, utang pemerintahan Jokowi yang menggunung dalam tiga tahun terakhir sudah memasuki batas bahaya.