Akankah Kompas TV Menjadi Corong Agenda Islam Liberal?

Satu lagi media televisi akan ikut menyemarakkan dunia media di tanah Air, yakni Kompas TV. Pemirsa di Tanah Air sudah bisa menikmati konten Kompas TV di saluran ktv (28 UHF) untuk wilayah Jabodetabek, stv (34 UHF) Bandung, btv (47 UHF) Semarang, atv (32 UHF) Batu-Malang Raya, bctv (40 UHF) Surabaya, mostv (52 UHF) Palembang, khatulistiwatv (39 UHF) Pontianak, makassartv (23 UHF) Makassar, dan dewatatv (23 UHF) Bali.

Dengan mengambil motto: Inspirasi Indonesia, Direktur Pelaksana KompasTV Bimo Setiawan di Jakarta mengatakan, pada Jumat, 9 September 2011, Kompas TV akan resmi mengudara. Ini ditandai dengan peluncuran KompasTV di Jakarta Convention Center, Jakarta.

”Tanggal 9 September menjadi tanda kehadiran pertama kalinya kerja sama Kompas TV dengan lembaga penyiaran daerah,” kata Bimo. Sejauh ini, berbagai persiapan untuk peluncuran KompasTV terus dilakukan.

Bimo mengatakan, mulai 30 Agustus 2011 hingga 8 September 2011, KompasTV sedang melakukan simulasi operasi on-air, simulasi operasi teknik, dan simulasi untuk fungsi lainnya. ”Kami akan mengudara secara penuh pada 9 September,” kata Bimo.

Sejauh ini, menurut Bimo, sudah ada kerja sama KompasTV dengan sembilan lembaga penyiaran daerah. ”Permintaan kerja sama terus mengalir,” katanya. Komposisi siaran terbagi dalam 70 persen nasional dan 30 persen lokal.

Adapun komposisi program Kompas TV adalah 60 persen berita dan inspiring knowledge serta 40 persen hiburan (entertainment). Daftar program-program yang sudah siap tayang dapat dilihat di situs web.

Kompas dan Tulisan Liberal

Kompas terkenal sebagai salah satu harian terkemuka, kerap memuat tulisan dengan agenda Liberalisme pemikiran Islam.Ulil Abshar Abdalla, misalnya. Politisi Partai Demokrat yang pernah menjadi Koordinator Jaringan Islam Liberal ini pernah menulis sebuah artikel kontroversial di harian Kompas, pada hari Senin, 18 November 2002 dengan judul ‘Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Dalam sebuah paragraf ia menulis,

"Islam itu kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan kita tidak diwajibkan mengikutinya.

Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab."

Menanggapi omongan Ulil tersebut, Ustadz Hartono Ahmad Jaiz langsung mengatakan bahwa artikel di Kompas tersebut telah menghantam Islam dan mengajarkan kesyirikan. Dalam tulisannya, "Selamatkan Masyarakat Kita dari Fatwa yang Berdasar Hawa Nafs", ia memberi komentar,

"Artikel itu menghantam Islam dan ummat Islam secara semaunya. Arahnya adalah pluralisme agama, menyamakan Islam agama Tauhid dengan agama-agama lain yang berseberangan bahkan bertentangan dengan Tauhid, yaitu syirik, menyekutukan Allah swt dengan selain-Nya. Resiko dari keberanian menyejajarkan agama Tauhid dengan kemusyrikan itu sampai-sampai Ulil Abshar Abdalla "memfatwakan" tidak berlakunya lagi larangan pernikahan antara Muslim/ Muslimah dengan non Muslim. Dia karang-karang bahwa larangan atau keharamannya dalam Al-Qur’an tidak jelas. Lebih dari itu, seluruh hukum dalam Al-Qur’an yang menyangkut mu’amalah (pergaulan antar manusia) tidak perlu diikuti lagi di zaman modern ini. Sehingga Ulil Abshar Abdalla menegas-negaskan hawa nafsunya berkali-kali bahwa dia tidak percaya adanya hukum Tuhan."

Ternyata wajah liberalisme di Kompas juga diamini oleh Atep Afia. Namun Penulis dan Pengelola PantonaNews.com lebih menyoroti muatan tulisan yang ada di Kompasiana, sebagai salah satu lini kompas di dunia maya. Pada artikel di Kompasiana yang berjudul, "Jika Kompas Moderat, Maka Kompasiana Cendrung Liberal?" tertanggal 28 Juni 2011, Atep menyatakan,

"Kalau diperhatikan secara seksama, banyak penyumbang tulisan di Kompasiana (Kompasioner) yang sekedar mencari populeritas dan mengejar rating. Untuk memenuhi hasratnya itu tidak jarang judul dibuat sedemikian rupa, sehingga sering menyimpang dari etika dan norma yang berlaku di masyarakat. Kesannya hanya mencari sensasi tanpa mempedulikan dampak dari tulisannya. Padahal tak sedikit Kompasioner berusia belia, yang kondisi kejiwaan dan pemikirannya masih rapuh. Dengan sendirinya menjadi mudah terpengaruh tulisan-tulisan yang cenderung “menyimpang”."

Jika Harian Kompas dan Kompasiana sendiri sudah banyak mendapatkan kritik tajam terkait agenda Islam Liberal, akankah Kompas TV menjadi corong agenda Islam Liberal? Dan menambah daftar pekat televisi-televisi lainnya yang juga menampung pemikiran nyeleneh tersebut? Kita tunggu saja. (pz/dbs)