Fatwa MUI Golput Haram, Tak Efektif Tingkatkan Jumlah Pemilih

Ijtima Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menghasilkan fatwa tentang golput haram ditanggapi beragama. Fatwa tersebut menimbulkan pro kontra, Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono menilai, fatwa tentang golput haram tidak akan efektif berpengaruh pada pemilu mendatang, sebab golput merupakan pilihan politik.

"Kalau MUI memberikan fatwa, saya kira ini bukan masalah agama, ini betul-betul masalah politik. Bahwa pemilu meskipun dianjurkan dan didorong, untuk sebaik-baiknya, tapi itu tetap saja hak politik dan bukan kewajiban. Saya kira itu tidak efektif (fatwa MUI)," katanya.

Cara terbaik agar tidak banyak masyarakat yang golput pada saat pemilu, menurutnya, dengan mengelola penyelenggaraan pemilu yang baik, dan itu juga dilakukan oleh seluruh peserta pemilu. Disamping, cara untuk meningkatkan partisipasi pemilih itu harus dilandasi dengan upaya meningkatkan kepercayaan kepada pemilu sendiri.

Agung pun merasa keberatan pengkaitan antara fatwa MUI yang erat dengan masalah agama itu dengan partisipasi politik dalam pemilu, sebab memilih dalam pemilu adalah wilayah politik semua orang, dan tidak bisa dipaksakan.

"Ini kan wilayah politik. Ini hak politik semua orang yang tidak boleh dipaksakan, dan tidak dikait-kaitkan dengan masalah agama. Walaupun itu tidak disebutkan agama, tapi setidaknya MUI adalah lembaga yang sangat berkaitan dengan keberadaanya dengan masalah agama, maka kesannya seperti itu," tandasnya.

Sementara itu, Pengamat Politik dan Ekonomi Ichsanuddin Noorsy menilai, MUI tidak konsisten dalam berpijak mengeluarkan fatwa, dalam menetapkan sebuah fatwa landasan yang digunakan adalah Al Quran dan Hadist, bukan terpengaruh dengan pemikiran demokrasi liberal dari barat. Sebab, pemilu yang dilakukan dengan basis individual atau demokrasi liberal merupakan pemikiran barat. "MUI basisnya Al Quran dan hadist. Maka, dasar pemikiran fatwa bertentangan satu sama lain. MUI tidak mempunyai rujukan jelas tentang golput," jelasnya.

Menurutnya, golput merupakan sikap politik untuk tidak memilih atau memilih, tapi mencontreng semua calon atau parpol. Karenanya, golput bisa terjadi karena beberapa alasan yang mendasarinya, yaitu alasan teknis seperti tidak menerima surat pemilih, panggilan memilih tidak sampai, saat memilih tidak berada di tempat.

Alasan kedua, alasan psikologis yaitu sakit hati, tidak berkenan, malas karena merasa tidak ada gunanya. Ketiga, alasan politis yaitu tidak satu pun calon atau parpol yang dianggap mampu mewakilinya. Keempat, alasan strategis atau ideologis, karena calon atau parpol berbeda tujuan dengan pemilih.

Karenanya, Noorsy menambahkan, alasan dan argumen rasional MUI lemah. Padahal, agama juga ditujukan untuk orang berpikir sekaligus mengunakan kekuatan qolbu (hati). "Maka, fatwa golput haram merupakan fatwa yang mempermalukan lembaganya sendiri. MUI masuk ke wilayah politik praktis, padahal fatwa mestinya tentang pemikiran," ujarnya.

Berbeda dengan itu, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lukman Hakim Saefuddin menyatakan bahwa PPP mendukung penuh fatwa MUI itu. Bagi PPP, adanya pemimpin itu wajib hukumnya karena jika tidak ada pemimpin maka akan timbul kekacauan.

"Pemilu adalah satu-satunya sarana yang disepakati bersama untuk mendapatkan pemimpin. Karenanya tidak memilih pemimpin dengan sengaja itu menjadi haram, sebab dapat menimbulkan anarkis sebaba tidak adanya pemimpin. Disinilah makna wajib dan haram dalam perkara memilih dalam pemilu," tandas Lukman. (novel)