Kala Dering Alarm HP Jadi Pengganti Suara Adzan di Perbatasan Timor Leste

Mencapai pos perbatasan dari pusat Atambua, memakan waktu sekitar satu jam dengan kecepatan mobil stabil 80 kilometer per jam. Pengendara mobil juga harus berhati-hati, karena jalanan lingkar luar Atambua ini kebanyakan berkelok-kelok dan naik turun, lantaran memang jalan berada di bibir perbukitan.

Begitu pun untuk menuju masjid terdekat, jalanannya juga berkelok dan naik turun sehingga umat muslim di pos perbatasan memilih untuk shalat dalam ruangan yang mereka buat, dibanding harus shalat di masjid. “Kalau masjid di sini hanya satu, daerah Atapupu sana, kalau perjalanan kurang lebih 45 menit. Mushala kita buat sendiri di pos ini, kita-kita sendiri saja,” ujar Supendik.

Lagipula, mereka juga tidak diizinkan meninggalkan pos jaga mereka, kecuali pada hari Jumat saat mereka hendak melaksanakan shalat Jumat. Mereka bersama delapan anggota TNI AD lainnya yang beragama muslim, akan melakukan konvoi menuju satu-satunya masjid di Atapupu.

Ia menyebut memang anggota TNI AD yang beragama muslim ada delapan orang dari 14 orang yang bertugas di sana, yang beragama muslim ada juga yang berasal dari Lombok, NTB. “Kalau kita naik kendaraan itu pas hanya shalat Jumat saja, kita pakai mobil danki (komandan kompi) untuk konvoi ke masjid. Selain itu ya kita tak bisa, karena sudah jauh,” ujar lelaki berdarah Jawa itu tapi logat bicaranya sudah persis dengan masyarakat Atambua.

Tidak dibangunnya masjid ataupun mushala di sekitar perbatasan, memang dilarang oleh masyarakat setempat, lebih tepatnya tidak boleh membangun secara permanen. Masyarakat setempat hanya tidak boleh mendirikan bangunannya saja, tetapi boleh mendirikan shalat.