Demokrasi lebih baik dibanding Khilafah, ujar Luthfie Assyaukanie, Sesepuh JIL

Salah satu gembong pengusung ide liberal, Luthfie Assyaukanie sesumbar mengklaim bahwa saat ini, tidak ada satu pun negara mayoritas Muslim di dunia yang memimpikan sistem khilafah karena dianggap sebagai sistem teokrasi yang otoriter. Umat Islam sekarang justru menganggap demokrasi sebagai sistem politik yang paling tepat bagi dunia modern.

“Gagasan khilafah menjadi sesuatu yang ‘obsolete’, kuno, dan ditinggalkan kaum Muslim. Tak ada lagi perasaan berdosa bagi kaum Muslim karena meninggalkan khilafah,” kata salah satu pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) sekaligus pengajar Universitas Paramadina Jakarta, Luthfi Assyaukanie, dalam ceramah “Islam dalam Transisi Demokrasi di Indonesia” di Jakarta, Kamis (11/4/2013). Acara ini bagian dari peringatan 12 tahun berdirinya JIL.

Luthfi Assyaukanie menjelaskan, para pembaru Muslim di Indonesia kemudian mencarikan alternatif dari sistem khilafah. Sebagian mereka merasa cocok dengan negara yang netral dari agama (seperti yang dilakukan Soekarno). Sebagian lain memilih “negara Islam” yang demokratis. Para tokoh Masyumi seperti Muhammad Natsir, Muhammad Roem, dan Syafruddin Prawiranegara, yakin betul bahwa bukan khilafah yang cocok bagi kaum Muslim di Indonesia, tapi sebuah sistem baru negara bangsa yang mengkombinasikan nilai-nilai demokrasi dan keislaman.

Penolakan kaum Muslim terhadap khilafah dan penerimaan mereka terhadap sistem demokrasi bukan semata-mata dilandasi kesadaran pentingnya me­reaktualisasikan ajaran-ajaran Islam, tapi juga karena kesadaran pentingnya mendorong kaum Muslim untuk terlibat aktif dengan realitas di dunia modern.

“Anjuran untuk mengadopsi sistem demokrasi didasari oleh keinginan mulia agar umat Islam menjadi dinamis, meng­ikuti perkembangan, berpartisipasi dengan dunia luar, serta berikhtiar untuk membangun kehidupan yang lebih baik,” katanya.

Negara Islam yang demokratis, adalah alternatif terbaik yang dimiliki kaum Muslim Indonesia, ujar Luthfi meracau. Sekarang, umat Islam di negeri ini sudah sepenuhnya menerima demokrasi. Bahkan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, kita dianggap sebagai model yang mampu mendampingkan demokrasi dan Islam. Kita dimasukkan sebagai negara yang berperan mendorong gelombang keempat demokrasi di dunia.

Setelah menerima demokrasi, tantangan terbesarnya adalah bagaimana mengajak umat Islam diajak bersikap toleran di tengah budaya intoleransi dan menghormati hak-hak minoritas di tengah rasa percaya diri berlebih mayoritas. “Berbagai persoalan yang mengurangi kualitas demokrasi kita selama ini bersumber dari sikap-sikap semacam itu,” katanya.

Padahal apabila berbicara fakta, apa yang terjadi tidak seperti apa yang diklaim oleh antek-antek Amerika ini. Laporan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebut partisipasi pemilih di Pemilu dan Pilkada di Indonesia terus menurun.

“Sejak 10 tahun terakhir, angka golput meningkat dari hanya 20 persen, kini mencapai 60-70 persen,” ujar Direktur Politik Dalam Negeri Kementerian Dalam Negeri, Luthfi MTA, usai sebuah di Surabaya, Selasa 26 Maret 2013.

Hal ini, membuktikan bahwa demokrasi dengan segala gemerlap atribut pendukungnya justru semakin membuat jenuh masyarakat Indonesia, bahka lambat laun akan mulai ditinggalkan.

(annajah/eramuslim.com)