Ngotot Beli Heli Impor, Mending PTDI Dibubarkan Saja

joko helikEramuslim.com – Ribut soal pembelian helikopter mewah, membuat Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin angkat bicara. Dia menolak membeli heli tersebut karena selain melanggar Undang-undang, rencana pembelian helikopter dari Italia itu justru berpotensi merugikan negara.
Menurutnya, sesuai dengan rencana strategis (renstra) pengadaan helikopter tahun 2009, DPR menyetujui pengadaan itu dari produk PT Dirgantara Indonesia sebanyak 16 unit (satu squadron), yang terdiri dari helikopter angkut/SAR dan helikopter angkut VVIP.
“Dari 16 unit itu, diprogram dalam 2 tahap yaitu renstra 2009/2014 dan renstra 2015/2019, semua direncanakan akan dibeli dari dalam negeri produk PT DI. Dalam renstra 2009/2014 telah terpenuhi sebanyak 6 unit heli Super Puma dan sisanya 10 unit lagi akan diselesaikan dalam renstra 2015/2019,” ujar TB Hasanuddin Minggu (29/11) di Jakarta.
Hasanuddin bilang, TNI AU harusnya konsisten menggunakan produk dalam negeri sesuai dengan UU Nomor 16/2012 tentang Industri Pertahanan. Untuk memenuhi 10 unit lagi, demi kelancaran produksi dan percaya pada komitmen TNI AU saat itu, PT DI telah melakukan investasi dalam rangka persiapan pembuatan kesepuluh helikopter itu.
“Tapi sangat disesalkan kalau kemudian muncul ide merubah pembelian helikopter Super Puma produk PT DI menjadi Agusta Westland AW101 buatan Italia-Inggris. Disamping merugikan negara dalam hal ini PT DI yang sudah berinvestasi banyak, juga telah melanggar UU Nomor 16/2012 Pasal 43 Ayat 1; bahwa pengguna wajib menggunakan alat peralatan pertahanan produksi dalam negeri,” tegas dia.
Kebijakan mengganti Super Puma dengan AW 101 lanjut dia, sejatinya tidak sesimple seperti penjelasan KASAU Agus Supriyanta. Karena Agusta Italia harus menggandeng industri dalam negeri sesuai Pasal 43 Ayat 5, yaitu harus mengikut sertakan industri pertahanan dalam negeri, kewajiban alih technologi, imbal dagang, mengikuti ketentuan kandungan lokal, aturan ofset dan lain-lainnya.
“Untuk ini semua, harus mendapat izin dari Presiden karena Presiden adalah Ketua KKIP (Komite Kebujakan Industri Pertahanan) sesuai Pasal 22 dalam UU tersebut,” tegas mantan Sekretaris Kepresidenan 2001-2005 itu. (ts/pm)