Skandal Century, Masih Layakkah Mengharapkan KPK?

Rapat kerja Tim Pengawas Century DPR dengan Kejagung, KPK dan Polri pada tanggal 9 Juni 2010 antara lain menyimpulkan tidak adanya tindak pidana korupsi dalam skandal Bank Century (BC). Jaksa Agung Hendarman Supandji antara lain mengatakan belum terjadi korupsi, kecuali dalam proses pengucuran itu ada orang yang disuap, sehingga walaupun Sri Mulyani atau Boediono dipanggil seribu kalipun hasilnya tetap sama.

Wakil Ketua KPK M. Yasin menyebutkan belum menemukan bukti terjadinya korupsi meskipun telah menyelidiki 111 orang saksi. Sedang Kabareskrim Ito Sumardi dari Polri menyatakan belum bisa bertindak banyak karena tidak ditemukannya pemalsuan keterangan oleh saksi-saksi. Bagaimanakah kelanjutan skandal BC dan apakah kita masih layak berharap, khususnya kepada KPK?

Skandal BC menjadi topik pembahasan publik dan bangsa selama 11 bulan terakhir. Hampir seluruh lembaga negara terkait di ekskutif dan yudikatif, apalagi legisltif, telah bekerja ekstra untuk mengungkap skandal BC. DPR membentuk pansus; BPK melakukan audit investigatif khusus; PPATK “mengusut” aliran dana; Polri dan Kejagung sibuk mengumpulkan data; KPK yang pertama kali mencium bau busuk skandal BC juga terus melakukan penyelidikan; para pakar, LSM, mahasiswa, ormas-ormas, partai-partai dan akademisi, tak ketinggalan ikut melakukan advokasi.

Setelah mengetahui hasil rapat kerja tim pengawas DPR di atas, energi bangsa yang telah begitu banyak terkuras tampaknya akan terbuang sia-sia, menyisakan skandal BC yang tak pernah tuntas.

Kerugian negara akibat korupsi BC mencapai Rp 6,7 triliun, jauh lebih besar dibanding perkara KPU (Nazaruddin Syamsudin yang dihukum 7 tahun) atau kasus Dana YPPI (Burhanudin Abdullah yang dihukum 5 tahun). Dua lembaga tinggi negara, BPK dan DPR pun telah menyatakan adanya indikasi korupsi.

Dalam laporannya BPK menemukan 9 indikasi tipikor. Rapat kordinasi KPK, Polri dan Kejaksaan Desember 2009 menyepakati 9 indikasi korupsi ini dipilah menjadi 4, yaitu korupsi, pencucian uang, perbankan dan pidana umum. Sedang Pansus Angket BC DPR menemukan 60 jenis pelanggaran dalam proses bail out, FPJP dan PMS. Temuan pansus angket ini telah ditetapkan sebagai sikap resmi DPR sebagai lembaga tinggi negara.

Dengan fakta-fakta yang yang demikian meyakinkan, seharusnya orang-orang yang diduga terlibat sudah bisa disidik atau dijadikan tersangka. Presiden SBY pun pada bulan Nopember 2009 pernah mengatakan agar yang berbuat bisa mempertanggung-jawabkan. “Saya ingin Bank Century dibedah agar jika ada crime ditangani dengan adil, juga ingin tahu aliran dana…. buka semuanya”, tutur SBY. Namun, sikap ketiga lembaga hukum di atas justru berbeda sehingga tampaknya para koruptor akan lolos dari jerat hukum dan kerugian Rp 6,7 triliun akan menjadi beban rakyat. Adakah kekuatan yang mempengaruhi sikap ketiga lembaga tersebut? Mari kita lihat satu per satu.

Sikap KPK

Pada tanggal 5 Januari 2010, Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dalam diskusi di Hotel Borobudur, pernah menyatakan bahwa KPK telah menemukan 5 indikasi tipikor dalam skandal BC. Pertama, dalam penentuan BC sebagai bank gagal, kedua, dalam penyerahan BC kepada LPS, ketiga, saat penanganan BC oleh LPS tanpa perhitungan, keempat, dalam proses pembayaran dana pihak ketiga dan kelima, penggelapan dana kas valas pemecahan 247 negotiable certificate of deposit (NCD).

Ternyata setelah hampir setahun menyelidiki skandal BC, KPK menyatakan belum menemukan dugaan tipikor. Mestinya sebagai lembaga yang pertama kali meminta audit atas BC, KPK-lah yang berada di depan memeroses berbagai indikasi korupsi yang ditemukan. Ternyata KPK hanya berjalan di tempat dan terkesan mengulur-ulur waktu. Mengapa?

KPK tampaknya sedang mendapat beban berat dan tidak berdaya menghadapi tekanan. Sejauh ini jika KPK sudah meningkatkan status suatu kasus ke tahap penyidikan dan penuntutan, maka prosesnya selalu berujung pada vonis pidana. Oknum penguasa sangat khawatir jika status skandal BC ditingkatkan. Hal ini harus dicegah sejak dini.

Karena itu, tak heran jika KPK mengalami demikian banyak gangguan, agar gagal memeroses skandal BC. Faktanya, KPK justru terus dihadang dengan berbagai cara, termasuk upaya mengurangi wewenang, penarikan personil oleh oleh lembaga lain, gugatan atas UU yang memayungi KPK, hingga upaya kriminalisasi pimpinan KPK.

Banyak pihak meyakini bahwa kasus krimialisasi pimpinan KPK berupa tuduhan pemerasan oleh Bibit-Chandra mempunyai hubungan yang berkaitan sangat kuat dengan skandal BC. Hal ini terlihat dari naik-turunnya status penuntutan (SKPP) Bibit-Chandra di pengadilan dengan progres penanganan skandal BC oleh KPK. Sepanjang penanganan skandal BC dianggap masih mengancam, maka kelihatannya status Bibit-Chandra juga akan terus dipelihara menggantung tanpa putusan, minimal waktunya perlu diulur.

ondisi seperti ini jelas tidak sejalan dengan niat awal DPR untuk menuntaskan skandal BC dan juga bertentangan dengan ucapan Presiden SBY pada bulan Nopember 2009 yang mengnginkan agar kasus BC dibuka dengan terang dan adil. Marwan Batubara-KPK-N

Sikap Kejaksaan Agung

Selain KPK, Kejaksaan Agung yang seharusnya bisa berperan aktif, minimal untuk kejahatan perbankan, ternyata juga bersikap sama. Memang Kejaksaan Agung sudah menuntut Robert Tantular, Rafat Ali Rizvi dan Hesham al-Warraq. Namun untuk kasus lain yang melibatkan perubahan berbagai peraturan BI dan terkait pemberian FPJP atau PMS, Kejaksaan Agung tampaknya tidak “berminat” mengusut. Bahkan tanpa menunggu diterbitkannya hasil audit KPK, Jampidsus Marwan Effendy, pada bulan Oktober 2009 pernah mengatakan bahwa bailout BC tidak memiliki unsur melawan hukum.

Selanjutnya, proses di Kejaksaan ternyata memang berjalan tidak sesuai harapan. Jaksa Agung menyatakan telah terjadi berbagai penyimpangan sejak proses merger hingga bailout, tetapi Kejaksaan belum menemukan bukti korupsi yang harus memenuhi empat unsur, yaitu merugikan negara, memperkaya diri sendiri atau orang lain, serta perbuatan melawan hukum. Dalam hal FPJP dan PMS, dikatakan belum terpenuhinya unsur korupsi karena jangka waktu pengembalian belum berakhir. Selain itu, dari laporan BPK yang diterima, Kejaksaan menyatakan tidak adanya penyebutan kerugian negara.

Sikap aneh Kejaksaan Agung terkait kriminalisasi pimpinan KPK semakin memperjelas posisi lembaga ini dalam penuntasan skandal BC. Pertama ketika Presiden memerintahkan agar kasus Bibit-Chandra diselesaikan di luar pengadilan, ternyata Kejaksaan malah mengeluarkan SKPP. Kedua, setelah kalah di PT, Jaksa Agung melakukan langkah PK. Dengan langkah kedua ini, bukan dengan langkah deponeering, maka Bibit-Chandra akan menjadi tersangka, harus non-aktif sehingga diperkirakan penanganan kasus-kasus korupsi, terutama kasus BC akan gagal terlaksana. Kesimpulannya, Kejaksaan terkesan ingin memendam skandal BC: baik pada awal mencuatnya kasus, setelah menerima laporan BPK dan hasil kerja Pansus Angket DPR yang demikian komprehensif, maupun ketika berperan dalam perkara kriminalisasi Bibit-Chandra. Mengapa Kejaksaan Agung bisa bertindak demikian?
Kami yakin bahwa Kejaksaan tidak akan berani bertindak berbeda dengan keinginan atasannya. Buktinya, pada tanggal 6 Juni 2010 Jaksa Agung mengatakan bahwa sikap Kejaksaan atas putusan banding PT DKI terhadap perkara Bibit-Chandra telah disampaikan kepada Presiden. “Tentuya ada petunjuk karena dulu ada amanah. Setelah ada petunjuk atau atau pengarahan, nanti saya sampaikan”, kata Hendarman. Hal ini bisa menjelaskan bahwa penyikapan Kejaksaan terhadap hal-hal penting seperti penerbitan SKPP, PK atau pernyataan tidak terjadinya korupsi dalam skandal BC, ditengarai tidak lepas dari petunjuk atasan.

Berdasarkan Pasal 35 UU No.16/2004 tentang Kejaksaan RI, atasan Jaksa Agung adalah Presiden; sedang Pasal 19 UU yang sama menyebutkan bahwa Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Dengan ketentuan pada kedua pasal UU ini maka sangat logis jika orang berfikir bahwa sikap Kejaksaan Agus atas kasus kriminalisasi Bibit-Chandra atau skandal BC merupakan sikap dari Presiden. Orang juga dapat berprasangka bahwa selama ini pucuk pimpinan kekuasaan hanya bersandiwara sehingga skandal BC tetap tidak dapat dituntaskan oleh KPK. Argumentasinya adalah tidak akan ada bawahan yang berani melawan atasan kecuali jika yang bersangkutan siap dilengserkan atau dikriminalisasi seperti pengalaman Susno Duadji.

Sikap Kepolisian RI

Sama dengan KPK dan Kejaksaan, sikap Polri menangani skandal BC juga memprihatinkan. Kabareskrim Komjen Ito Sumardi menyatakan belum bisa bertindak banyak dalam kasus BC. Padahal mantan Kabareskrim Susno Duadji dalam testimoni di hadapan Pansus Angket BC DPR pernah menyatakan bahwa untuk membuktikan adanya krorupsi dalam kasus penyertaan modal dari LPS senilai Rp 6,7 triliun ke BC tidaklah terlalu sulit. Saat itu, menurut Susno, Bareskrim Polri tidak memerioritaskan penyelidikan skandal BC karena ada anggota KSSK (diduga Boediono) yang saat itu sedang menunggu persiapan pelantikan, yang jika langsung disidik akan menimbulkan kehebohan.

Terkait perkara Bibit-Chandra, Susno mengatakan bahwa penyidikannya dipimpin langsung oleh Kapolri. “Penyidikan langsung di-handle Kapolri dan melaporkan hasilnya kepada Presiden”, ungkap Susno. Hal ini sama dengan sikap Jaksa Agung yang menunggu arahan Persiden dalam PK kasus Bibit-Cahndra. Kapolri memang harus melapor dan mendapat arahan karena Presiden adalah atasan dan juga mengangkatnya. Pasal 8 UU N0.2/2002 menyebutkan bahwa Polri berada di bawah Presiden; sedang Pasal 11 berisi ketentuan, Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Oleh sebab itu, wajar jika ada yang berprasangka, sikap Polri yang jauh dari harapan rakyat dalam menangani skandal sebesar dan sepenting skandal BC memang merupakan sikap Presiden.

Penutup

Harapan rakyat akan terwujudnya pengadilan skandal BC mungkin hanya utopia. Di ranah politik, barter kasus antar partai yang berkepentingan diduga telah berhasil menihilkan temuan BPK dan hasil Pansus Angket BC yang demikian lengkap dan kredibel. Di ranah hukum, kedua lembaga penegak hukum, Kejaksaan dan Polri telah takluk karena memang berada di bawah kendali “atasan” tertinggi. Banyak orang yang yakin bahwa pimpinan kedua lembaga penegak hukum ini telah dijinakkan oleh atasannya agar tidak menuntaskan skandal BC. Benteng terakhir penegakan hukum, KPK, ternyata juga telah dimandulkan, dikriminalisasi dan diancam oleh banyak pihak, sehingga “tidak (belum) menemukan” adanya korupsi dalam skandal BC. Oleh sebab itu, masih layakkah rakyat berharap?

Mungkin harapan penuntasan masih ada sepanjang kedua lembaga penegak hukum di bawah eksekutif tersebut berani bertindak objektif dan bebas dari sikap hipokrit. Sejalan dengan itu, prasangka negatif tentang sikap hipokrit ini perlu segera diluruskan dengan berbagai langkah pembuktian praktis oleh Presiden. Selanjutnya, KPK diharap tegar berjihad mengusut skandal BC, sekaligus untuk membuktikan bahwa KPK memang layak mendapat dukungan rakyat dan pimpinannya tidak korup. Kecuali memang KPK juga bermasalah. Yang tak kalah pentingnya adalah kita sebagai rakyat harus meningkatkan langkah-langkah advokasi, termasuk mendukung keberadaan dan penjuangan lembaga KPK. Siapa tahu dengan pimpinan yang baru nanti, KPK kembali bertindak optimal seperti sebelumnya. []