Campur Tangan AS di Timur Tengah Untuk Kepentingan Israel

Sebuah laporan strategis mengungkap kebijakan-kebijakan politik pemerintahan AS dibawah pemerintahan Presiden Barack Obama di Timur Tengah, terutama kebijakan AS dalam konflik Israel-Palestina. Dari laporan itu terungkap bahwa Gedung Putih akan menerapkan metode untuk melibatkan diri secara langsung dalam proyek-peroyek di Timur Tengah dan dalam konflik Israel-Palestina, namun AS akan melakukannya semata-mata untuk kepentingan Israel.

Laporan tersebut dibuat oleh lembaga studi dan konsultasi Zaituna Center bulan Desember lalu, yang menyebutkan bahwa Obama telah menegaskan di hari pertama pemerintahannya sebagai presiden baru AS bahwa ia akan melibatkan diri langsung dalam konflik Arab-Israel. Disebutkan pula bawa pemerintahan AS menjadi konflik Arab-Israel sebagai persoalan penting yang akan menjadi salah satu prioritas mereka.

Dari laporan itu juga diketahui bahwa Obama akan mengadopsi cara-cara yang pernah dilakukan mantan presiden Bill Clinton dalam melibatkan AS secara langsung dalam konflik tersebut, namun Obama akan lebih berhati-hati dalam melakukannya agar kesalahan Clinton yang membuat negosiasi selama delapan tahun gagal, tidak terulang lagi. Itulah sebabnya, Obama menunjuk George Mitchell sebagai utusannya untuk masalah Timur Tengah.

Mitchell, kata laporan tersebut, memiliki kepribadian yang pragmatis dan realistis dan bisa menghindari diri untuk tidak membuat penilaian-penilaian ideologis. Selain itu, Mitchell dianggap memiliki track-record yang cukup baik ketika menangani konflik antara Inggris dan kelompok pemberontak Irlandia Utara (IRA) sehingga berhasil mencapai kesepakatan damai pada tahun 1998. Tapi di sisi lain, menurut laporan itu, kelompok lobi Zionis di AS khawatir sikap Micthell yang realistis akan menyulitkan posisi Israel di AS.

Laporan itu juga menyebutkan bahwa Obama mendengarkan masukkan-masukkan dari banyak pejabat tak resmi seperti mantan presiden Jimmy Carter dan mantan penasehat keamanan nasionalnya Zbigniew Brzezinkski. Dua tokoh di luar lingkaran pemerintahan Obama, yang tidak segan-segan mengkritik Israel yang bisa jadi akan memberikan kontribusi bagi hasil-hasil kesepakatan yang sedikitnya memberi peluang bagi kepentingan Palestina.

Hamas dan Gencatan Senjata

Sementara itu, mediasi Mesir antara Israel-Hamas untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata sudah hampir menemui titik temu, tinggal menunggu pernyataan resmi dari pihak Israel. Pihak Hamas, melalui juru bicaranya Fawzi Barhoum mengatakan, gencatan senjata jangka panjang tinggal menunggu waktu saja jika upaya negosiasi yang dilakukan Mesir ke Israel sukses.

Jika kami menerima jawaban-jawaban yang meyakinkan dari Israel melalui Mesir, kami berharap kesepakatan gencatan senjata jangka panjang akan tercapai dalam beberapa hari mendatang," kata Barhoum.

Hamas tetap pada persyaratannya berupa pencabutan blokade, penghentikan agresi dan pembukan kembali perbatasan-perbatasan yang ditutup Isrel dalam negosiasi tersebut. Dan menurut surat kabar Israel Haaretz melaporkan, draft kesepakatan gencatan senjata selama 18 bulan sudah tercapai.

Kabar itu tersiar setelah pimpinan senior Hamas di Gaza Mahmoud Al-Zahar kembali ke Mesir hari Sabtu kemarin untuk membahas masalah Gaza. "Kami sepakat untuk menyatukan sikap, semuanya tergantung pada otoritas Mesir dan kami akan menyampaikan respon mereka pada pimpinan kami di Damaskus, setelah itu kami akan kembali ke Cairo," kata Zahar dalam pemunculan pertamanya setelah agresi brutal Israel ke Gaza.

Perkembangan baru juga terjadi dalam kasus Gilad Shalit, prajurit Israel yang tertangkap dan ditawan pejuang Palestina di Gaza. Laporan televisi Turki menyebutkan bahwa kesepakatan tentang pertukaran tawanan antara Hamas dan Israel dipekirakan akan tercapai hari Selasa lusa.

Dalam pernyataannya di saluran televisi Israel Channel 1, Menhan Israel Ehud Barak mengatakan bahwa pihaknya melakukan upaya-upaya maksimum untuk segera membebaskan Shalit. Tapi kali ini Barak mengakui pertukaran Shalit membutuhkan "biaya tinggi".

"Kami tahu Shalit masih hidup dan kondisi yang baik-baik saja. Tapi kami harus membawanya dari Gaza ke sini (Israel)," kata Barak.

Dari Turki dilaporkan, delegasi Turki yang memediasi kesepakatan antara Israel dan Hamas untuk membebaskan Shalit dengan cara pertukaran tahanan, sudah berangkat ke Suriah untuk memediasi kesepakatan itu. Selain Turki, Qatar juga berperang dalam upaya kesepakatan pertukaran tawanan antara Israel-Palestina. (ln/iol/aby)