Dakwah kepada Artis atau Politisi Sama Saja

Kadang kita dibuat takjub dengan artis yang tiba-tiba berubah. Seorang artis yang dulunya dikenal hura-hura, tiba-tiba berubah drastis menjadi sangat Islami. Ada yang tiba-tiba mengenakan jilbab, ada yang tiba-tiba sangat relijius, dan sebagainya.

Selain hidayah Allah tentunya, tidak sedikit orang yang ingin tahu siapa di balik perubahan relijius itu. Salah seorang Ustadz yang kerap dihubung-hubungkan dengan perubahan baik itu adalah Ustadz Muhammad Ridwan. Benarkah?

Berikut petikan wawancara Eramuslim dengan Ustadz yang sejak lajang memang sudah terjun ke dunia seni.

Belum lama ini, Ustadz ikut membidani lahirnya wadah para seniman dan budayawan, MBR (Majelis Budaya Rakyat). Apa visi dan misinya?

Visinya dalam rangka memberikan salah satu alternatif budaya yang lebih sehat, yang lebih baik sesuai dengan tuntutan moral. Terutama, moral Islam tentunya.

Kita sudah mengkalkulasi bahwa kita akan berhadapan dengan arus besar kapitalisme, budaya hedonisme yang begitu besar; yang pengaruhnya begitu besar dalam masyarakat kita.

Apa saja kegiatan MBR yang sudah dilakukan, terutama kaitannya dengan dakwah Islam?

Kegiatan kami yang berhubungan dengan dakwah sudah ada beberapa yang digulirkan ke masyarakat. Di antaranya album nasyid anak-anak Islam, buku ‘Rumahku, Sekolahku’ yang ditulis oleh Tri Wiratno, buku ‘Bagaimana Menjadi Artis’ yang ditulis oleh Jack Sorga, dan film ‘Sang Murobbi’ yang alhamdulillah sudah laku 30 ribu keping DVD dan VCD.

Bagaimana daya tarik atau pengaruhnya wadah ini terhadap seniman dan budayawan yang ingin kenal Islam?

Sebenarnya, kita harus menyikapi objek dakwah itu secara sama. Mau dia seniman, politikus, ekonom, budayawan, apa saja. Orang-orang itu adalah objek dakwah. Jadi, perlakuannya juga sama. Tidak ada yang istimewa. Mungkin pola pendekatannya saja yang agak berbeda. Prinsipnya, setiap orang berhak mendapat sentuhan dakwah.

Memang untuk kalangan seniman, kalau kita sudah menikmati pergaulan dengan mereka, sebenarnya seniman itu orang-orang yang cepat welcome menerima nilai-nilai kebaikan. Karena mereka bermainnya di hati nurani, perasaan. Sehingga kalau kita masuk dengan nilai-nilai Islam, mereka menjadi jauh lebih komit.

Itu saya simpulkan dari bertahun-tahun berinteraksi dengan seniman, mulai dari yang sangat senior sampai seniman jalanan. Karena itu, prospek dakwahnya sangat luar biasa. Asal kita mendekatinya cocok dengan kecenderungan mereka. Tidak menggurui. Yang penting, kita bergaul baik dengan mereka.

Umumnya orang tahu bahwa para artis itu glamour, suatu dunia yang sulit sekali dipertemukan dengan nilai-nilai Islam. Mungkin ada trik tersendiri mendekati mereka?

Seperti yang saya bilang tadi, para artis juga seorang manusia yang ingin diapresiasi sebagaimana layaknya. Nah, mungkin kita bisa masuk lewat bagaimana mengapresiasi mereka.

Dan yang paling penting dalam konteks dakwah itu adalah tadhiyah (pengorbanan, red) kita sebenarnya. Pelayanan. Kita berkorban waktu, perasaan. Karena mereka sukanya ngobrol, diskusi, sambil ngopi membahas sesuatu. Itu cara pendekatan yang paling mereka suka. Kalau itu kita lakukan secara istimror (kontinyu), mereka akan sangat apresiatif. Dan itu tidak terlalu rumit. Sama aja.

Kalau soal glamour, sebenarnya tidak semua seniman seperti itu. Ada artis yang secara materi sangat mumpuni, tapi dia tetap egaliter. Penampilannya tetap sederhana.

Dan soal glamour bukan hanya para artis. Politisi juga glamour. Bahkan, banyak politisi yang jadi selebriti dan lebih genit dari selebriti sendiri. He…he…

Ada hambatan selama ini? Mungkin dari kelompok kiri yang ingin menjegal laju dakwah di kalangan artis.

Dunia ini kan arena kompetisi. Ya, kita berkompetisi aja. Mau dari kanan, kiri, kiri luar, kanan dalem; biarin aje. Kita nggak ada urusan. Yang penting, kita tidak sikapi mereka sebagai lawan. Kalau mereka mau membuka pintu dialog, kita dialog. Dan selama ini saya biasa-biasa saja dengan mereka. Ngobrol bareng.

Ada pendekatan khusus yang membedakan objek dakwah lain dengan para artis?

Nggak ada yang khusus. Sama saja dengan objek dakwah yang lain. Soalnya, ini masalah hidayah yang merupakan rahasia Allah.

Dakwah fardiyah, misalnya?

Oh kalau itu memang harus. Tapi, itu kan sama saja. Untuk komunitas lain juga mesti begitu.

Memang, ada sih target khusus untuk kalangan petinggi mereka. Istilahnya, kalau kepalanya kita pegang, bawahnya juga ikut. Pokoknya, kita menyediakan waktu 24 jam buat mereka.

Saat ini, ada pengajian-pengajian rutin di komunitas artis yang Ustadz kelola?

Alhamdulillah ada, banyak. Pertama, di wisma Lyna di Jalan KH Abdullah Syafii. Yang hadir di sini bukan hanya artis, tapi juga para pekerja seni. Ada sutradara, penulis skenario, pemain, dan lain-lain. Itu dua pekan sekali.

Ada yang lebih khusus lagi, orang film. Ngajinya sudah lebih serius. (Sayangnya, Ustadz Ridwan tidak mau menyebutkan nama-nama mereka, red).

Ada juga yang baru-baru ini mau ngaji serius. Para artis muda berbakat. (Lagi-lagi, Ustadz Ridwan tidak mau menyebutkan nama-nama mereka, red). Nanti juga tahu sendiri lah.

Ada juga di Bulungan. Mereka para seniman teater, musik, dan lain-lain. Alhamdulillah, hampir tiap pekan ada pengajian.

Yang penting, Ustadznya jangan ikut-ikutan jadi artis. Cukup artisnya aja yang jadi artis. Ustadznya jangan. He..he…

Nah, gimana cara membangun idealisme diri dalam dakwah di kalangan mereka, Ustadz?

Pertama, Islam mengajarkan kita untuk selalu berjamaah. Supaya banyak orang yang bilangin, banyak yang negor kalau-kalau kita mulai melenceng.

Soalnya, daya pikat dunia artis itu luar biasa. Karena memang banyak kenikmatan di situ. Kenikmatan mata, telinga. Kalau tidak ada saling tausiyah yang konstan dari orang lain terhadap kita, kemungkinan kita terseret menjadi artis menjadi sangat mungkin. Akhirnya, bukan kita yang mewarnai, kita yang justru terwarnai. Malah kadang-kadang, ustadznya lebih genit dari artisnya.

Sebenarnya, bagaimana latar belakang Ustadz sehingga bisa terjun ke dakwah artis dan seniman?

Waduh, ceritanya panjang. Wallahu a’lam, mungkin dari keturunan. Babe saya selain pensiunan tentara, juga pemain selo. Dulu, kakek saya punya orkes keroncong di Kwitang.

Selain itu, lingkungan rumah saya dulu di Tanah Tinggi, banyak tinggal seniman besar. Ada Bing Slamet almarhum, Oma Irama dulu tahun 70 an juga mainnya di sana. Sewaktu masih bujangan, saya sudah ikut teater. Waktu itu tahun 75 an.

Saya lupa tahun berapa, Allah juga mempertemukan saya dengan komunitas seniman besar di daerah Kepu (dekat stasiun Senen, red). Di antara mereka ada Sumantiasa, pencipta lagu Si Doel Anak Betawi. Nah, di situlah saya ikut pengajian para seniman senior. Di situ ada Khairul Umam, dan lain-lain.

Dari pengalaman ikut pengajian itu, akhirnya saya dapat tugas dari para seniman senior untuk mengelola pengajian generasi berikutnya. Kurang lebih sekitar 20 tahun, Allah mentakdirkan saya terjun di dunia dakwah itu.

Biodata
Nama: Muhammad Ridwan
Alamat: Jl. H. Usman Kelapa Dua, Keb. Jeruk, Jakarta Barat.
Keluarga: satu isteri dan enam anak.
Pendidikan Terakhir: S1 Ushuluddin.
Pekerjaan: Pembina Al-Azhar Syifa Budi Jakarta.
Kegiatan/Organisasi:
– Ketua Departeman Seni dan Budaya DPP PKS
– Pembina Majelis Budaya Rakyat, MBR
– Pembina Asosiasi Nasyid Nusantara, ANN
– Pembina Keagamaan Teater Kanvas
– Pembina Komunitas Pengajian Seniman Film dan Sinetron
– Penasihat Keagamaan Film ‘Ketika Cinta Bertasbih’, KCB
– Pembina Pesantren Audisi ‘Ketika Cinta Bertasbih’, KCB
– Penasihat Keagamaan Komunitas Penyanyi Jalanan, KPJ