Ketua DDII KH. Syuhada Bachri (1)

Pembaca, bulan Ramadhan 1428 hijriyah ini kami mengadakan silaturrahim ke beberapa tempat. Tujuannya untuk mempererat ukhuwah di antara sesama elemen umat Islam, selain juga mencari titik-titik temu agar dapat lebih bersinergi dalam berdakwah dan membangun umat.

Laporan silaturrahim yang pertama adalah pertemuan kami dengan pimpinan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), KH. Syuhada Bachri. Dalam kiprahnya selama hampir 30 tahun berdakwah di negeri yang paling besar umat Islamnya, DDII masih berdiri tegar dengan berbagai program.

Kami diterima dengan ramah oleh Ustadz Syuhada Bahri di ruang kerjanya di Kramat Raya Jakarta, Jumat sore (21/9). Banyak yang kami perbincangkan, sebagiannya kami turunkan untuk Anda.

Bagaimana masa awal DDII?

Di akhir masa orde lama, dakwah bisa dikatakan tidak ada, diberangus semua. Termasuk Pak Natsir di antaranya.

Kemudian masuk masa orde baru, di sisi lain ada kebaikan yang ada di orde baru. Banyak tahanan politik yang dibebaskan, termasuk juga pak Natsir.

Kala itu rekan-rekan pak Natsir menyarankan untuk pulang saja, sebab tahanan yang lain juga pada pulang. Tapi beliau tidak pulang melainkan menetap di Jakarta dan mendirikan Dewan Dakwah. Dan sejak tahun 1967 itu berdirilah lembaga yang dipimpin pak Natsir ini.

Apa yang pertama kali beliau lakukan saat itu?

Pekerjaaan pertama yang dilakukan DDII menyiapkan dan melatih para khatib, agar dapat menjadi penyampai ajaran Islam.

Yang kedua, beliau mengirim para kiyai untuk dikirim ke dunia kampus semacam UI, ITB, IPB dan lain-lain. Karena pelajaran agama tidak ada. Para mahasiswa yang dari latar belakang umum dibina agamanya oleh Pak Natsir, Pak Rasyidi dan yang lain di asrama haji Cempaka Putih.

Di antara kader pak Natsir dari dunia kampus umum adalah bang Imad (Imaduddin Abdurrachim) di masjid Salman ITB Bandung. Sejak itulah budaya pembinaan di kampus-kampus mulai semarak di berbagai kampus umum.

Kemudian?

Pekerjaan ketiga DDII adalah transmigrasi. Karena beliau berpikir bahwa yang ditransmigrasikan itu bukan hanya miskin harta, tetapi juga miskin ilmu dan iman. Akhirnya dilatih dai dan dikirim ke sana. Sampai-sampai ada dai yang khusus dilatih untuk ikut dalam program transmigrasi itu.

Berikutnya, DDII masuk ke daerah pedalaman. Secara kebetulan, salah satunya yang sering keluar masuk ke daerah pedalaman adalah saya. Makanya nyaris semua daerah pedalaman di seluruh Indonesia pernah saya kunjungi. Karena memang kristenisasi di sana sangat kuat.

Kemudian ketika pak Habibie banyak mengirim pelajar ke Eropa dan Amerika, kemudian pak Natsir juga berpikir untuk mengirim da’i ke sana juga. Kita kalau dakwah ke sana terkadang sampai satu bulan.

Makanya kalau banyak orang tua yang kaget anaknya pulang dari Eropa menjadi sangat dekat dengan agama, itulah salah satu dampaknya. Belajar matematika di Barat tapi pulang sampai di sini, puasa Senin Kamisnya jalan, tahajjudnya jalan.

Itu di awal orde baru, lalu berikutnya apa yang terjadi?

Sampai kemudian mengalami masa sulit, yaitu ketika pak Natsir menandatangani Petisi 50. Ketika itu pemerintah orde baru menyampaikan 5 paket kebijakan politik sampai kepada Asas Tunggal, bermula dari pidato pak Harto di Pekan Baru dan di Cijantung.

Apa dampaknya saat itu?

Setelah itu mulai ada kesulitan-kesulitan. Bahkan ada kebijakan NKK BKK yang melarang organisasi ekstra masuk ke kampus.

Untuk mengatasinya NKK BKK itu, pak Natsir saat itu berpikir untuk membikin Islamic Center atau masjid di dekat kampus. Ada di Salman Bandung, di IPB Bogor dan UI.

Menurut beliau Islam punya tiga kekuatan: kampus, pesantren dan masjid.

Jadi ketiga kekuatan itu yang kemudian digarap?

Dulu saat liburan saya dan kawan-kawan pernah mengajak mahasiswa dari ITB untuk nyantri selama sebulan di pesantren kiyai Noer Ali Bekasi. Sangat luar biasa hasilnya, para santri banyak diajari ilmu-ilmu umum dan para mahasiswa ITB banyak yang belajar ngaji dari para kiayi.

Terus pada akhirnya rezim orde baru melunak, bagaimana ceritanya?

Sepeninggal pak Natsir, kepemimpinan digantikan dengan pak Anwar Harjono. Saat itu secara politik telah terjadi perubahan sistem pemerintahan. Pak Harto sudah mulai ada kecondongan kepada Islam. Sehingga pola pendekatan DDII juga mengalami perubahan sampai sekarang.

Hubungan dengan penguasa membaik?

Jadi sempat lebih punya hubungan mesra dengan penguasa pada ujung akhir pemerintahan pak Harto.

Waktu itu sudah banyak Jenderal muda yang datang ke rumah. Dari situlah ada sinyal bahwa pak Harto ingin mempertemukan dua hijau, maksudnya antara TNI dan umat Islam. Sebelumnya kan keduanya dipertentangkan. Pak Harto juga mencopot ‘orang-orang salib’ dari posisi penting.

Walau pun justru dengan kebijakannya itu pak Harto kemudian malah mendapat masalah hingga harus lengser dari kekuasaan.

Jadi memang sampai sekarang DDII memang tidak lagi seperti masa lalu.

Sekarang sudah mesra dengan penguasa?

Sampai saat ini karena kita sudah mengambil konteks kebijakan bahwa di mana pun dakwah itu harus kita tegakkan. Terlebih kepada penguasa. Karena kehancuran sebuah bangsa kalau penguasanya hancur.

Ketika acara pemberian hadiah musabaqah penghafal Quran dan hadits di istana bulan Juni lalu, di mana Dewan Dakwah menjadi panitia, saya kan harus menyampaikan laporan. Saya tidak mau kalau hanya menyampaikan laporan, maka diujung laporan, saya juga menyampaikan taushiyah. Sampai SBY saat itu terharu. Itu yang saya katakan bahwa di mana saja ada pelunag dakwah, kita masuk.

Yang kedua, juga mudah-mudahan jadi pendorong juga buat ormas yang lain bahwa kalau diundang bukan hanya menyanjung-nyanjung tetapi sampaikan juga nasehat kepada penguasa. Itu yang penting. Sebab lima paket kebijakan politik itu kan mengasung kebebasan.

Waktu Soeharto lengser, muncul ephoria di bidang politik, sehingga muncullah partai sampai 48 buah. Posisioning DDII apakah menganggap Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai alat dakwah ataukah masalah itu urusan masing-masing?

Kita kan tadinya sangat berharap ada satu partai saja yang mewakili umat Islam. Tetapi ternyata tidak bisa. Sampai saat itu saya berpikir apa kita culik saja tokoh- tokoh Islam ini lalu kita paksa untuk membentuk satu partai saja.

Wah, kayak zaman kemerdekaan ya ustadz?

(Sambil tersenyum) Kita jerat lehernya dan kita bilang nggak boleh keluar sebelum bersatu.Tapi ternyata tidak bisa juga.

Sampai akhirnya saya katakan kalau memang harus ada banyak partai juga, coba deh upayakan kalau bikin rumah itu sama. Sehingga kalau ada umat Islam yang nyasar, jadi tidak bingung. Karena tetap merasa di dalam rumah sendiri. Tetapi ternyata tidak bisa juga. Itulah kenyataannya.

Memang yang ikut dalam proses untuk membentuk PBB adalah Dewan Dakwah bersama 20-an lembaga Islam saat itu. Waktu itu sempat ada pemikiran, ya sudah kita bersatunya di dalam PPP saja yang sudah ada, kenapa harus membuat partai baru.

Tapi yang lain bilang, wah nggak bisa, sebab katanya PPP itu kiblatnya salah. Yah, macam-macam lah pendapat saat itu, namanya ingin punya partai baru. Akhirnya disepakatilah kita membangun PBB, tapi bukan atas nama Dewan Dakwah.

(bersambung)