Puasa di Negeri Sakura (10): "Ramadhan Kendali Kemarahan"

Kerusuhan di London menjalar ke kota-kota besar lain di Inggris. Ramadhan yang khidmad dan damai bagi muslim Inggris tercemar dengan terbunuhnya 3 orang muslim di Birmingham. Banyak pengamat mencoba menjelaskan sebab-sebab kerusuhan sosial yang semakin luas menjalar ini, seperti arogansi polisi yang telah membunuh sembarangan tanpa mau mengakui kesalahannya, kesenjangan sosial dan ekonomi yang semakin menganga antara si miskin dan si kaya, sampai pada masalah-masalah rasial.

Dari semua analisis yang muncul ke permukaan, ada pandangan menarik yang disampaikan oleh professor John Pitts. Menanggapi kerusuhan yang terjadi di Inggris saat ini, John Pitts, seorang kriminolog dan penasihat pemerintah lokal London, mengatakan bahwa sebagian besar perusuh berasal dari kantong-kantong kemiskinan, mereka tak punya karier yang harus dipikirkan, mereka hidup di pinggiran, marah, kecewa, mereka tidak takut kehilangan apa pun.

Keberanian para perusuh, yang umumnya adalah remaja, lahir karena mereka tidak memiliki beban apapun yang dikhawatirkan akan hilang jika mereka “mengekspresikan” kebebasannya. Mereka tidak memiliki pekerjaan apalagi karir, sehingga mereka tidak takut ada pemecatan karena memang mereka tidak memiliki bos yang akan memecat mereka.

Dalam konteks ini, kelas menengah yang selama ini selalu dianggap sebagai kelompok yang paling efektif untuk melakukan perubahan-perubahan boleh dipertanyakan ulang. Realitas di London menunjukkan bahwa kemarahan rakyat yang termobilisasi bisa terjadi di semua kelas, termasuk kelas bawah yang selama ini termarjinalkan dan termiskinkan.

Tentu mobilisasi kerusuhan yang didemonstrasikan dengan aksi penjarahan dan kekerasan sama sekali bukanlah tindakan yang dapat dibenarkan, baik oleh hukum sosial maupun hukum agama manapun.

Namun jika kita melihat jumlah orang yang berpartisipasi yang melebihi angka 1000 orang, tentu hal ini bukanlah kejadian biasa yang tanpa pesan dan makna. Setiap gejala sosial yang di luar kebiasaan selalu memberikan tanda yang mesti direspon dengan tepat.

Kesalahan menangkap pesan yang melahirkan kesalahan respon akan menyebabkan eskalasi kerusuhan menjadi tak terkendali. Kerusuhan di Libya dan Syiria memberi pesan bahwa rakyat sudah bosan mengalami penindasan, dan hari ini mereka melakukan perlawanan. Eskalasi perlawanan semakin meningkat dan menjadi sulit dibendung karena pemerintahan yang bebal tak mampu dan tak mau menangkap pesan yang disampaikan.

Di Indonesia, kita juga memiliki pengalaman serupa pada tahun 1998. Orde Baru yang semakin menua ketika itu tak mampu menangkap pesan dari gerakan massa. Kerusuhanpun pecah dan tuntutan massa menjadi tak terkendali sehingga rezim harus diganti.

Kerusuhan di Inggris memberi pesan bahwa kemiskinan yang diabaikan pada akhirnya melahirkan remaja-remaja pemberang, remaja-remaja yang tidak memiliki beban untuk memobilisasi penjarahan untuk mengekspresikan perlawanannya terhadap ketidakadilan ekonomi. Lihatlah pesan yang disebar untuk memobilisasi kemarahan massa.

Para inisiator mengatakan,”Jika kamu hendak mencari uang, maka kami akan meluncur ke timur London. Saya tidak peduli dari mana kamu, kami mengundangmu untuk datang. Polisi telah melakukan hal buruk terlalu lama dan saya tidak tahu mengapa kita harus menunggu lama untuk mewujudkan ini. Kami butuh minimum 200 orang lapar”.

Sepuluh hari pertama puasa di negeri sakura pada tahun 1432H ini ditutup dengan keprihatinan dan kekhawatiran pada berbagai kerusuhan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Semoga kerusuhan sosial yang terjadi di negera-negara timur tengah dan Eropa tidak menular ke Indonesia, meski sebab-sebab potensial untuk pecahnya sebuah kerusuhan sosial sudah mulai terlihat. Ketidakadilan ekonomi sebagaimana yang terjadi di Inggris dan pemerintahan yang abai terhadap aspirasi rakyat sebagaimana yang terjadi di negara-negara timur tengah sudah tersedia di Indonesia.

Semoga ramadhan mampu mengendalikan potensi kemarahan massa atas ketidakadilan ekonomi dan hukum yang selalu dipertontonkan secara demonstratif oleh elit-elit pengelola negara. Dan semoga ramadhan mampu melahirkan kesadaran baru dari elit-elit pengelola negara agar tidak salah menangkap pesan publik dan melaksanakannya secara efektif. Semoga (Mukhamad Najib)