Puasa di Negeri Sakura (13): "Tauhid Melahirkan Keberanian dan Kemuliaan"

Sabtu, 13 Ramadhan 1432 H, berita-berita nasional masih di hebohkan oleh penangkapan Nazarudin yang beberapa bulan ini menjadi buronan negara dengan tuduhan kasus korupsi yang membelitnya. Nazarudin lari ke berbagai negara, bersembunyi dari kejaran polisi, menjadi manusia penakut yang tidak berani menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Jabatannya yang terhormat sebagai anggota dewan tidak membawanya menjadi manusia utama, menjadi manusia mulia yang bisa menjadi teladan bagi masyarakatnya. Malah sebaliknya Jabatan itu telah membawanya pada status yang hina di mata rakyat Indonesia. Kesuksesannya dalam politik dan bisnis tidak bisa dinikmatinya dalam waktu yang lama, malah sebaliknya, ancaman penjara sudah di depan mata.

Saya teringat pada ucapan HOS Cokroaminoto, pahlawan nasional yang telah memberikan seluruh hidupnya untuk perjuangan mengusir penindasan dan penjajahan di Indonesia. HOS Cokroaminoto mengatakan,”Tidak bisa manusia menjadi utama yang sesungguhnya, tidak bisa manusia menjadi besar dan mulia dalam arti kata yang sebenarnya, tidak bisa ia menjadi berani dengan keberanian yang suci dan utama, kalau ada banyak barang yang ditakuti dan disembahnya. Keutamaan, kebesaran, kemuliaan dan keberanian yang sedemikian itu hanyalah bisa tercipta karena tauhid saja. Tegasnya, menetapkan lahir bathin bahwa tidak ada sesembahan melainkan Allah saja”.

Pelajaran dasar dari tauhid dalam Islam adalah bagaimana kita membebaskan diri dari penghambaan selain hanya kepada Allah swt semata. Tauhid ini yang telah melahirkan keberanian seorang budak seperti Bilal bin Rabbah untuk hidup bersama Islam meski harus berhadapan dengan berbagai penyiksaan. Tauhid ini yang telah memuliakan Umar bin Khatab, seorang preman yang pernah mengubur anak perempuannya hidup-hidup, di kemudian hari di percaya untuk menjadi Khalifah, bahkan termasuk dalam jajaran khalifaurrasyidin.

Bagaimana Bilal dan Umar menjadi manusia yang berani dan mulia? Hal itu tidak lain karena mereka berhasil membebaskan dirinya dari keterikatan dan kecintaan pada hal lain selain pada Allah swt. Lihatlah doa umar ketika beliau mengatakan, “Ya Allah jadikanlah dunia dalam genggamanku, dan jangan kau jadikan dunia dalam hatiku”. Keterikatan pada Allah yang kuat dan bukan pada jabatan, menjadikan Umar sebagai penguasa yang tidak pernah takut dilengserkan dari singgasananya, oleh karenanya dia berusaha menjadi khalifah yang amanah, tegas dan adil. Dengan hanya menghambakan diri pada Allah, Umar tidak merasa harus mengambil harta negara untuk kemewahan hidupnya. Bahkan istana Umar dikenal hanyalah beratapkan langit, karena dia sering tertidur di bawah pohon.

Ya, orang-orang yang tidak memiliki tanggungan tidak akan memiliki beban apapun sehingga merasa merdeka, berani mengekspresikan pikiran dan tindakannya secara bebas tanpa perasaan takut kehilangan atau takut akan adanya tekanan-tekanan. Itulah mengapa mereka yang benar-benar bersih dari penghambaan pada harta dan tahta akan lantang bicara menyuarakan kebenaran. Sebaliknya, mereka yang masih terikat hatinya pada harta dan tahta akan kelu lidahnya jika harus bicara kebenaran, karena kebenaran justru dimaknai sebagai ancaman bagi dirinya.

Puasa melatih kita untuk secara tulus melakukan penghambaan hanya kepada Allah swt. Kita berpuasa sama sekali bukan atas tekanan manusia atau rasa sungkan pada siapapun melainkan karena benar-benar ingin menjalankan perintah Allah swt, karena memang tidak ada yang bisa memverifikasi kita sedang puasa atau tidak kecuali kita dan Allah saja. Puasa melatih kita untuk menjadi manusia yang merdeka, tidak terikat pada kecintaan yang berlebih pada harta maupun tahta. Semoga setelah ramadhan nanti kita benar-benar bisa menjadi manusia yang merdeka, manusia yang berani dan mulia. (Mukhamad Najib)