Puasa di Negeri Sakura (9): "Jalan Tuhan Jalan Keterasingan"

Suatu hari teman saya pernah mengatakan, “kalau ada birokrat yang bersih pasti dia mahluk langka”. Dewan Pembina Partai Demokrat, Ahmad Mubarok mengatakan dalam acara Jakarta Lawyers Club “politik tidak mungkin bersih-bersih sekali”. Jadi kesimpulannya, kalau ada politisi yang mengambil jalan bersih yang notabene adalah jalan Tuhan, boleh dibilang politisi semacam ini akan menjadi politisi kesepian, politisi langka yang dijamin tidak akan dinominasikan lagi oleh partainya di pemilihan umum yang akan datang. Para pebisnis terlebih lagi para pemburu proyek dipemerintahan juga sering mengatakan,”kalau terlalu jujur susah dapat keuntungan”.

Hal-hal di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa memilih jalan Tuhan di tengah kehidupan modern seringkali dianggap memilih keterasingan. Dalam tataran ucapan, jutaan rakyat ingin kejujuran dan keterbukaan, namun dalam hal tindakan kejujuran dan keterbukaan menjadi hal yang menakutkan sehingga seringkali tidak diinginkan. Tentu kita masih ingat pada tragedi di desa Gadel Surabaya, dimana siswa dan keluarga yang mempertahankan kejujurannya dengan menolak rancana nyontek massal yang direncakan sekolah malah menjadi musuh bersama dari seluruh warga desa. Di sini jelas, menjadi baik saja ternyata tidak cukup. Komitmen pada kebaikan, komitmen pada ajaran-ajaran Tuhan harus juga disertai dengan keberanian dan kesabaran.

Puasa di tengah mayoritas orang yang tidak berpuasa juga membutuhkan keberanian dan kesabaran, karena keterasingan bisa jadi akan sangat dirasakan. Paling tidak inilah yang dirasakan anak-anak saya saat kami berada di Tokyo dome city sore tadi. Anak saya bilang, “enak ya, orang-orang jepang itu bisa makan kapan aja, nanti kalau sekolah udah masuk Mas gak puasa ya”. Saya tanya dia mengapa tidak mau puasa. Anak saya bilang,”kan malu, semua orang makan, masa cuma Mas yang gak makan”.

Puasa di tengah orang tidak berpuasa tentu memberikan tantangan tersendiri, tantangan untuk berani berbeda, tantangan untuk mengendalikan diri dari rasa tidak enak atau rasa minder karena sendirian, tantangan untuk menjadi manusia yang terasing di tengah keramaian. Begitulah memegang ajaran Tuhan di tengah “kegelapan” peradaban, sungguh sangat berat sekali. Bahkan Rasulullah mengibaratkan laksana memegang bara, dipegang panas terbakar, dilepas gulita menghadang. Di Jepang ini masih jauh lebih baik keadaannya bila dibanding dengan negeri-negeri Eropa dan Amerika yang memiliki sentimen agama yang luar biasa. Kebencian mereka terhadap Islam terekspresikan di Belanda oleh politisi semacam Wilder, terlembagakan di Prancis dengan undang-undang pelarangan Jilbab, menjadi budaya di Denmark dengan kebebasannya menghujat nabi lewat lukisan. Menjadi Islam di negeri-negeri Eropa tentu membutuhkan keberanian dan kesabaran yang luar biasa.

Menjadi asing atau bahkan diasingkan oleh lingkungan adalah hal biasa bagi mereka-mereka yang komit pada jalan Tuhan, apalagi di akhir zaman. Rasulullah SAW sendiri pernah mengatakan bahwa Islam pertama kali datang dianggap asing dan kelak akan kembali dianggap asing. Dianggap asing karena memilh jalan Tuhan yang benar dengan sepenuh-penuhnya kesadaran tentu bukanlah persoalan. Malah Rasulullah menganggap beruntung orang-orang yang dianggap asing karena memegang kebenaran.

Dalam konteks ini, seorang yang sedang meniti jalan impian, seorang yang tengah mengejar tujuan dan cita-cita kemenangan yang besar tidak perlu memaksakan diri untuk selalu melakukan tindakan populis hanya demi memuaskan orang kebanyakan jika memang hal tersebut sama sekali tidak terkait dengan impian besar yang sedang dikejar. Tidak sedikit kita menemukan saudara-saudara kita, dengan alasan “menghormati” teman yang hobi minum wine mereka minum wine, atasnama persahabatan mereka rela meninggalkan Islam, karena alasan pekerjaan mereka melupakan perintah Tuhan.

Diasingkan sesungguhnya bukanlah persoalan, yang menjadi soal adalah jika kita sengaja lari menuju alam “pengasingan”, alias menyepi, mencari jalan kenikmatan syurgawi sendiri. Tentu hal ini bukanlah ajaran para nabi. Ketika berpegang pada jalan Tuhan dianggap sebagai suatu keanehan, justru kita harus datang, harus hadir di tengah-tengah keramaian dengan membawa keyakinan kita akan kebenaran. Jika kita memilih jalan pengasingan, bagaimana kebenaran bisa tersampaikan? Sekali lagi, tentu hal ini membutuhkan keberanian dan kesabaran, karena memang tidak jarang kita menemukan orang-orang yang sangat takut diasingkan oleh lingkungan sehingga mereka lebih memilih menjadi manusia-manusia yang terasing di jalan Tuhan. Semoga kita tidak seperti itu. (Mukhamad Najib)