"Puasa Masyarakat Kita Masih Sebatas Budaya."

Sebagian aktivis masjid di kawasan Jabodetabek sudah tidak asing lagi dengan sosok ustadz yang identik dengan Masjid Al-Hikmah, Bangka, Mampang Prapatan, Jakarta. Beliau adalah Ustadz Abdul Hasib.

Anggota pendiri Rabithah Ma’ahid Quran Asia Pasifik ini, alhamdulillah, bisa berbagi taujih atau arahan dengan Eramuslim. Ditemui di rumahnya di jalan Bangka II, Ustadz Hasib, begitu nama akrab beliau, menyebutkan bahwa puasa masyarakat kita, sayangnya, masih sebatas kebiasaan, adat, dan budaya.

Berikut petikan wawancara beliau dengan Eramuslim.

Bagaimana menurut Ustadz, hikmah dari tarbiyah bulan Ramadhan untuk masyarakat kita?

Ramadhan adalah syahrun ‘azim, atau bulan yang agung. Bahkan, Rasulullah saw. mengatakan bahwa Ramadhan adalah syahrun ‘azim mubarok, bulan agung dan penuh berkah.

Pesan Rasulullah saw. ini mengandung pelajaran yang begitu luas. Maksudnya, sasaran utama dari bulan Ramadhan sebagai bulan peningkatan dan pembelajaran adalah pada sisi yang agung, yaitu pada keimanan atau ruhiyah kita. Dan di situlah keberkahan yang akan Allah berikan kepada kita.

Seperti apa realitasnya, Ustadz?

Seperti kita ketahui bahwa masyarakat kita saat ini terjebak dengan kehidupan yang serba materialis. Semua diukur dari materi. Dan orang-orang berlari menuju materi.

Di sinilah nilai yang ingin disampaikan dalam ibadah Ramadhan. Bagaimana pikiran-pikiran materialis bisa dibenahi menjadi kepada sesuatu yang agung, yaitu nilai iman dan ruhiyah.

Contoh sederhananya, pada soal makan. Kalau di bulan lain kita biasa makan tiga kali sehari, di bulan Ramadhan dikurangi menjadi hanya dua kali. Ini dimaksudkan agar fisik kita mengurangi tuntutan sisi materi, dan beralih kepada pemenuhan nilai iman yang diwujudkan dalam kesibukan ibadah.

Di situlah kemuliaannya seorang manusia. Karena itu, jika dilihat surah Al-Baqarah ayat 183, Allah memanggil keimanan kita dan ditujukan agar kita meningkat menjadi hamba-Nya yang bertakwa.

Seperti apa takwa yang dimaksudkan dalam puasa Ramadhan?

Takwa yang dimaksudkan dalam puasa Ramadhan punya dua sisi. Pertama, sisi pribadi. Bagaimana seorang mukmin menjadi pribadi yang taat dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhkan yang dilarang-Nya. La’allakum tattaqun. (surah Al-Baqarah ayat 183)

Sisi kedua adalah takwa dalam lingkup sosial. Bagaimana masyarakat mewujudkan ketakwaan pribadi-pribadi mereka dalam bentuk amal kolektif, baik pelaksana maupun objeknya. Dan inilah yang terkandung dalam akhir surah Al-Baqarah ayat 187, la’allahum yattaqun, agar mereka menjadi orang-orang yang bertakwa.

Karena itu, Rasulullah saw. juga menyebut bulan Ramadhan sebagai bulan santunan atau kepedulian.

Kalau dilihat dari kenyataan di masyarakat kita, Ramadhan terus berganti, tapi perubahan di masyarakat belum begitu terlihat. Mulai dari yang bawah hingga para elit. Apa yang menjadi kendala sehingga Ramadhan tidak sampai sasaran?

Ada beberapa sebab. Pertama, puasa yang dilakukan masyarakat kita umumnya masih sebatas kebiasaan, adat, atau budaya. Belum berangkat dari keimanan dan pemahaman yang benar tentang puasa.

Contohnya, umumnya orang menganggap bahwa puasa hanya menahan diri dari hawa nafsu pada makan dan minum. Sementara, perbuatan-perbuatan menyimpang lain seperti hiburan seronok, korupsi, gratifikasi, dan lain-lain masih saja berlangsung.

Bahkan, menjelang lebaran, orang seperti berlomba-lomba memenuhi kebutuhan materi mereka dengan cara-cara yang tidak baik.

Padahal, Rasulullah saw. mengatakan, "Barangsiapa yang tidak meninggalkan dusta dan perbuatan menyimpang, Allah tidak berhajat kepada puasanya."

Inilah sebabnya, kenapa beberapa menit setelah bulan Ramadhan berlalu, berlalu juga semangat keIslaman masyarakat kita. Subuh berjamaah di malam takbiran tiba-tiba berbeda dengan sehari sebelumnya. Hampir semuanya kena, mulai dari makmum sampai pada muadzin hingga imamnya.

Yang kedua?

Ada dua sayap menuju ketakwaan yang bisa diraih seseorang dalam ibadah puasa Ramadhan. Sayap pertama adalah pengendalian diri. Dan sayap kedua adalah pembiasaan dengan hal-hal yang positif.

Nah, orang sering lupa dengan sayap yang kedua itu. Sehingga pembiasaan kepada perbuatan yang positif menjadi hilang begitu saja. Mulai dari kebiasaan shalat berjamaah di masjid, tilawahnya, bangun malam, kepedulian kepada fakir miskin, kebersamaan dengan sesama mukmin, dan lain-lain.

Bagaimana dengan keteladanan?

Ini juga faktor lain yang ikut mempengaruhi perubahan masyarakat kita dalam tarbiyah atau pendidikan bulan Ramadhan.

Keteladanan di negeri ini begitu jarang. Langka. Di semua lini. Padahal, Rasulullah saw. sangat mengedepankan unsur keteladanan di semua kiprah baiknya. Misalnya, Rasul mengatakan, shalatlah kamu sebagaimana aku shalat.

Kalau kita perhatikan, beralihnya masyarakat kepada kehidupan materialisnya setelah digembleng di bulan Ramadhan, adalah juga karena contoh dari para tokoh di sekeliling mereka.

Bagaimana memulainya?

Kita mulai dari diri kita sendiri. Seorang kepala keluarga misalnya, ia harus membentuk dirinya agar bisa menjadi qudwah, teladan, untuk isteri dan anak-anaknya. Begitu pun dengan pimpinan masyarakat di sekitar rumah. Harus mulai ada pembenahan diri agar keteladanan mereka bisa menjadi perubahan yang baik.

Satu hal lagi, bahwa pembenahan keteladanan harus melihat dua sisi. Yaitu, sisi perilaku yang tampak, dan pada motivasi ketika ia ingin meneladani sesuatu kepada orang lain. Dan yang kedua ini harus menjadi yang utama.(mn)